Tuesday, August 28, 2007

Sepotong Sayap di Luka Batu

Aku membenci kekerasan, tapi Mamat tidak. Dia sibuk memilih butir-butir batu di pinggiran jalan setapak kebun itu. Ditimangnya beberapa dari batu-batu itu sebelum di-masukkannya ke dalam saku celana. Dia menatapku seolah dia sedang mengancam seseorang yang ingin melarangnya.

Hei, apa salahku? Apakah salah jika aku sebagai seorang anak lelaki membenci kekerasan? Aku senang makan ayam atau bebek goreng, tapi bukan burung manyar. Mamat, Roji, dan aku memang suka berpetualang di dataran lapang kampung ini. Memanjati pohon-pohon, berenang di sungai sambil menangkap ikan, atau seperti sekarang ini; berburu burung manyar. Aku lebih suka mengorek batang turi dan mengeluarkan ulat putih besar yang biasa kami sebut “gendhon” untuk disate, daripada menangkap burung manyar yang sudah patah leher, pecah dada, atau bersayap sebelah untuk kemudian dibersihkan bulunya, isi perutnya, dan dibakar menjadi setusuk atau dua tusuk sate besar. Mamat dan Roji paling lahap memakannya.

“Enak lho! Kau tak mau coba?”
“Eh, ini masih ada darahnya! Puihhh!” Roji meludah.

Aku tetap duduk mematung. Bergidik menyaksikan mereka makan dengan lahap daging burung manyar yang kemerahan dan belum sepenuhnya matang. Tiba-tiba saja mataku mengembun, dan pada sebatang pohon kepel tua, di dekat sungai, akhirnya kutumpahkan tangisan. Jika aku menangis, aku teringat ibu.

“Run, kamu masih sayang ibu, bukan?”

Aku mengangguk lemah. Usiaku yang baru sepuluh tahun masih belum bisa memahami apa yang terjadi di dalam rumah antara ayah dan ibu. Ayah jarang pulang, ibu tak pernah kelihatan senang. Ada mendung yang bergantung pada kedua bola matanya. Dan gerimis bahkan hujan tiba-tiba saja bisa menderas di pipinya. Melihat ibu menangis aku pun terkadang ikut menangis walau tak mengerti apa yang harus kutangisi.

Suara tangis ibu seperti riak sungai di kaki tebing di bawah pohon kepel berada. Suara yang perlahan tetapi berkesinambungan. Aku menduga sepenuh hidup ibu dipenuhi dengan tangisan. Tak pernah ada senyum yang menghiasi bibirnya. Kadang aku rindu pada geligi putih yang selalu disembunyikannya. Rasanya sudah lama betul aku tak mendengar suara tawa ibu. Apakah memang beban yang disandangnya begitu berat? Benarkah itu semua gara-gara ayah?

Ayah menghilang sejak pertengkaran itu. Pertengkaran yang hebat antara ibu dan ayah. Di ruang makan, semua barang berpindah. Piring-piring pecah berserak di lantai, demikian juga dengan gelas, sendok dan nasi pun tumpah. Ibu bilang semenjak ayah terlibat sebuah organisasi, ayah tidak pernah lagi memperhatikan kami. Reaksi ayah adalah marah, dia balik menuding Ibu tidak pernah mendukung perjuangannya. Karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, yang bisa aku lakukan adalah membawa pergi adikku dan menenangkannya.

Tak lama berselang, peristiwa itu terjadi.

Hujan batu di rumahku. Di depan pintu, ibu berteriak-teriak menyuruhku kabur. Wajah dan tangannya berlumur darah. Aku dan adikku menangis sejadinya. Bingung antara ingin pergi atau menunggui apa yang akan terjadi.

Mereka mencari ayah. Seluruh bagian rumah kami digeledah. Barang-barang berharga dijarah. Dikeluarkan dan dibakar. Mereka sepertinya ingin membawa ibu pergi. Kaki-kaki mereka menendang, menyepak tubuh kami. Aku memberanikan diri mendekap ibu, merangkul adikku. Ibu dan aku berteriak kepada mereka, “Biarkan kami mati bertiga!”

Lalu tangisku, tangis ibu dan adikku terhenti ketika mereka berhasil menyeret kami hingga di halaman. Rupanya, mereka masih berbaik hati untuk menyingkirkan kami dari amarah mereka yang begitu meluap untuk membumihanguskan rumah kami.

Aku tercekat melihat api yang segera membubung tinggi. Sama seperti ketika Mamat dan Roji, teman main baruku di kampung yang tak mengenal asal-usul ibu ini, membakar sarang-sarang burung manyar yang mereka dapatkan dengan mengetapel pucuk-pucuk cemara. Ketika aku membantu mereka mengupasi sarang burung manyar yang terbuat dari gulungan daun cemara kering dan mendapati tiga ekor anak burung manyar hangus terbakar berpelukan. Sepertinya anak-anak burung manyar yang begitu mungil dan masih tak berbulu sama seperti aku, ibu dan adikku yang pernah ingin membiarkan kami mati bertiga.

Kini, Mamat, yang masih berdiri memandangiku dengan tatapan seperti mengancam, melepaskan ketapel yang tergantung di lehernya dan melemparkannya ke tanah dekat kakiku.
“Aku bisa buat sendiri. Ketapelmu jelek! Ambil itu dan pergi!”
Roji mendekatiku dan mencibirkan bibir juga meleletkan lidah.
“Weeek! Penakut! Cengeng! Huuuu!”

Mereka berdua segera menghilang di rimbunan pepohonan. Aku terpaku, belum memilih antara ikut pergi bersama mereka atau pulang sendiri. Kampung ini penduduknya sangat jarang, dan tak banyak yang berkegiatan di luar. Maklum saja di kampung ini tak banyak orang dewasa bisa ditemukan. Kalaupun ada orang dewasa dalam satu rumah, biasanya mereka bukanlah orangtua yang lengkap. Hanya ibu atau nenek. Selebihnya anak-anak seperti aku, Mamat dan Roji meskipun ada yang berusia lebih tua dari kami. Bisa dibilang kampung kami ini kampung perempuan dan anak-anak.

Aku tahu jika ayah memang pergi dari rumah, tapi Mamat bercerita kalau ayahnya dibawa pergi orang-orang gagah. Dia menyebut orang-orang gagah karena mereka berbadan tegap dan senjata-senjatanya mengkilat tertimpa cahaya bulan. Demikian pula dengan cara mereka berjalan. Berderap-derap bunyi sepatunya. Roji bilang Mamat tukang bohong, ayah Mamat dimasukkan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam gosong. Matanya ditutup, kaki dan tangannya diborgol. Mamat mengacungkan tinju ketika Roji berkata seperti itu.

“Bapakmu juga bukan? Dibawa pergi saat pulang dari pekan di kota. Kata orang-orang itu, bapakmu berbelanja bahan peledak!”
Roji hanya bisa mengisak jika Mamat sudah mulai teriak-teriak.

Tapi kini mereka sudah meninggalkanku, masuk ke dalam hutan kecil itu. Aku ingin segera pulang, pasti ibu sudah menungguku untuk segera mandi dan makan malam. Hanya saja aku tak ingin tersesat oleh bayang-bayang dedaunan yang menyilang-nutupi badan jalan setapak. Ah, kenapa aku tak pernah mendengarkan nasihat ibu untuk menghafalkan arah mata angin? Kalau sudah begini, apa yang hendak aku lakukan?

“Pletak! Pletak! Pletak!”

Ada batu-batu yang berterbangan di udara mengenai dedaunan dan bebatang pohon. Aku menduga Mamat dan Roji tengah menakutiku untuk segera pergi dari tempat itu. Yang aku tahu, aku harus berlari sekencang-kencangnya sambil menutupi kepalaku dengan kedua lenganku. Batu-batu pilihan Mamat tadi begitu bulat dan keras. Bisa-bisa tulang tengkorakku remuk jika terpapas. Dalam hatiku bergemuruh,”Awas kau Mamat! Awas kau Roji!”

Aku berlari sekencang-kencangnya, terkadang terjerembab oleh akar yang melintang atau meringis menginjak ranting yang jatuh. Aku terus berlari. Kini tubuhku dipermainkan oleh bayang dedaunan dan batu-batu yang dilontarkan. “Awas kau Mamat! Awas kau Roji!” Aku meneriakkan kata-kata itu berulang-ulang.

Gempuran batu itu mereda, aku terengah-engah hampir kehabisan nafas. Bajuku basah kuyup. Jantungku keras berdegup. Tak habis pikir kenapa mereka tega mengerjaiku seperti ini. Lalu mendadak ada bunyi berdebam. Sesuatu yang besar jatuh. Belum sempat aku mencari tahu apa yang terjatuh itu, terdengar lagi debam yang lain. Ada dua benda besar yang jatuh di sekitarku.

Sebenarnya bisa saja aku berlalu mengingat aku tidak aman berada di sini, tetapi yang kudengar adalah suara yang sudah sering aku dengar. Suara Mamat dan Roji yang mengaduh kesakitan dan meminta pertolongan. Namun belum sempat aku bergerak mencari tahu di mana mereka berada, kudengar Mamat dan Roji berteriak bersamaan lagi, “Lari. Lari. Mereka datang lagi!”

Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang telah menyerang dan menjatuhkan mereka berdua. Pada saat kejadian itu, aku ikut lari juga setelah melihat mereka berdua lari menuju ke arahku. Dan setelah kejadian itu Mamat dan Roji menjadi sangat pendiam, hingga aku tak pernah bisa tahu apa yang sebenarnya telah menyerang mereka berdua di hutan kecil itu. Hanya ketika melihat seekor burung, mereka tampak ketakutan.

Jakarta, Agustus, 2007.

Wednesday, August 15, 2007

Gerimis Anjing

Seketika saja, kota S dilanda keributan. Mendung yang sejak semalam bergantung di langit, pagi ini pecah menjadi gerimis. Gerimis yang sangat tidak biasa. Dari langit turun satu demi satu seekor anjing berukuran kecil. Anjing-anjing itu tidak menyeramkan rupanya, tidak seperti dobberman atau bulldog. Tidak juga lucu seperti shi tzu atau puddle. Kulitnya tembus pandang seperti plastik kantung belanjaan. Aku jadi bertanya apakah ketembuspandangan tubuhnya itu karena anjing-anjing itu berasal dari air hujan?

Pertanyaan ini rupanya segera ditindaklanjuti oleh datangnya rombongan peneliti dari sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Mereka sibuk menangkapi anjing-anjing itu. Akan tetapi yang mencengangkan adalah anjing-anjing itu selalu bisa lolos dengan cara menceburkan diri ke selokan.

Tadi, begitu sampai di tanah, anjing-anjing itu segera berkeliaran mencari makan. Mungkin sejak mereka dikumpulkan di langit menjadi mendung, mereka harus menahan lapar yang amat sangat. Anjing-anjing itu masuk ke tong-tong sampah yang mereka temui di sepanjang jalan. Herannya, mereka sama sekali tidak masuk ke warung-warung makan, toko-toko kue, atau pusat-pusat perbelanjaan.

Maka penduduk kota pun terkurung dalam rumah, dalam kendaraan yang terjebak macet, dalam kantor dan segala tempat mereka beraktivitas. Semua jenis kendaraan berhenti karena pengemudinya takut melindas mati seekor anjing yang turun dari langit itu. Mereka juga merasa jijik memandangi isi perut anjing-anjing itu yang kelihatan karena tubuhnya yang tembus pandang itu.

Sebenarnya apa yang dimakan oleh anjing-anjing itu hanyalah sisa-sisa makanan kita sehari-hari. Jangan bayangkan anjing-anjing itu memakan kotoran atau bangkai. Sebentar saja, isi seluruh tong sampah di kota ini pun berkurang.

Akhirnya polisi diturunkan. Bagaimana pun anjing-anjing ini harus segera disingkirkan dari jalanan kota. Penduduk kota sudah merasa tidak leluasa bergerak. Pertama-tama, para petugas kepolisian itu menutup semua saluran air dan selokan. Berdasarkan pengalaman rombongan peneliti tadi. Jika sedikit saja tubuh mereka masuk dalam genangan air, terlebih selokan, maka anjing-anjing itu tiba-tiba saja menghilang. Lalu di ujung gerbang kota disediakan sebuah jaring raksasa. Untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peti.

Ribuan polisi segera menghalau anjing-anjing itu dari tong-tong sampah. Aksi kejar mengejar pun terjadi. Sebenarnya aksi seperti ini sudah sering terjadi di kota ini. Yang dihalau pun beragam, mulai dari mahasiswa, demonstran, gelandangan, pengemis, warga miskin, dan pedagang kaki lima. Sebenarnya masih banyak lagi mereka yang diusir paksa dari jalanan kota ini, tetapi aku memang tak mempunyai ingatan yang baik untuk mencatat segala peristiwa yang terjadi di kota ini.

Dan seperti aksi pengusiran yang sudah-sudah, maka kota dan penduduknyalah yang harus menanggung akibatnya. Jalanan penuh dengan kotoran anjing yang ketakutan dikejar, tong-tong sampah yang terlempar, kaca-kaca rumah yang tak sengaja tersambit batu, atau bocah yang menangis karena kepalanya tertimpa pentungan yang nyasar. Namun setidaknya, upaya itu berhasil. Anjing-anjing itu mulai terpojok. Meskipun beberapa petugas pun mengalami gigitan, tapi mereka benar-benar bisa menggiring anjing-anjing itu ke arah jebakan di ujung gerbang kota.

Konon, jika mereka sudah masuk dalam jebakan, Pak Walikota sendiri yang akan memimpin jalannya acara pembuangan anjing-anjing ke laut. Rasanya sudah lama memang perut laut dijadikan tempat terakhir untuk segala sesuatu yang dianggap sampah di daratan. Mulai dari kendaraan tanpa mesin, limbah pabrik, hingga hasil bumi yang tak diharapkan muncul. Mungkin suatu saat nanti, akan ada cerita tentang mahluk-mahluk laut yang melakukan balas dendam kepada penduduk kota di sekitar pantai. Tidak seperti film-film Hollywood mengenai hiu ganas yang menyerang para perenang dan penikmat wisata air, mungkin lebih mengerikan lagi.

Sekretaris Daerah pun mulai sibuk membuat susunan acara pembuangan anjing-anjing tembus pandang ini. Apakah acara puncaknya adalah gunting pita? Atau pemecahan kendi berisi air kembang? Akhirnya diputuskan seperti peluncuran kapal dari galangan. Pak Walikota nanti akan memecahkan kendi berisi air kembang ke arah peti. Penduduk kota sekarang berharap operasi penghalauan ini akan segera berakhir. Sebab segala kegiatan kota harus berjalan normal sesegera mungkin.

Penduduk kota sekarang sibuk memandangi televisi, mendengarkan radio untuk mendengarkan jalannya operasi penghalauan anjing-anjing itu. Saluran telepon pun dipenuhi oleh laporan penduduk yang melihat di sekitar tempat tinggalnya masih ada anjing yang belum terhalau. Sementara para pimpinan perusahaan mulai menghitung-hitung jumlah kerugian yang mereka derita hari ini.

Nun di kota A, seorang gadis memandangi air hujan yang luruh pelan-pelan di jendela kamarnya. Sebentar-bentar dia juga melihat jarum jam yang sepertinya bergerak lebih cepat dari biasanya. Tak puas dengan itu semua, dibacanya ulang pesan pendek yang diterimanya dari seorang pemuda yang berjanji hari ini akan datang membawakan setangkai bunga mawar. Dulu pemuda itu pernah bercerita bahwa bunga mawar terbaik dihasilkan dari perkebunan di kota S, tempat dia tinggal.

Apakah gerimis membuatmu menepikan kendaraan? Singgah di sebuah kafe kecil yang temaram. Lalu berbincang ringan dengan seorang gadis lain yang masih lajang? Dan di akhir perbincangan, dia bertanya pada gadis itu di manakah dia bisa bermalam. Sebuah hotel kecil yang asri, atau kamar yang bisa dia tumpangi. Karena gerimis belum juga reda di sini.

Gadis itu tidak pernah menyalakan televisi. Baginya telepon selular, buku-buku novel remaja, dan lagu-lagu dalam I-Pod adalah dunianya. Juga sebuah kotak ajaib bernama dunia maya. Dari sanalah dia mengenal pemuda yang berjanji akan membawakannya mawar. Mawar yang terindah dari kota S.

Pemuda yang dia tunggu ternyata takut dengan televisi. Dia tidak pernah mau melihat tayangan televisi yang sebagian besar isinya sinetron dan misteri. Alasannya biar pikirannya tak terkontaminasi. Dia belum berangkat memenuhi janjinya. Di kamarnya dia kini sedang menulis sebuah cerita. Dia ingin membuat suatu cerita yang heboh namun masuk akal. Hal itu karena dia ingin membuat satu alasan karena tidak bisa memenuhi janji kepada gadis yang dikenalnya dari dunia maya.

Walaupun aku akrab dengannya namun akan aku tidak suka dengan caranya mencari teman kencan. Sebenarnya alasan utama kenapa pemuda temanku ini tidak jadi berangkat ke kota A untuk menemui gadis itu adalah karena hal yang sangat sederhana. Gadis itu tidak cantik seperti pacarku. Kebetulan minat kami sama, perempuan dan sastra. Sudah lama kami bersaing dalam dua hal itu. Jika dalam urusan perempuan, kami saling menilai pacar siapa yang paling cantik, maka dalam hal menulis, kami saling berlomba naskah siapa yang akan terbit di sebuah koran setiap minggu.

“Sedang menulis apa, Ko?”

Aku bertanya sambil menyeruput kopi yang masih mengepul miliknya.

“Bukan urusanmu!” Sahutnya dengan mata mendelik melihat aku enak-enakan meminum kopinya. Lalu tangannya terulur untuk merebut cangkir. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengambil kertas hasil tulisannya.

“Wah, mulai menulis hal yang absurd ya? Kenapa tidak dari dulu? Coba kau bisa menulis seperti ini setiap hari, pasti karyamu sudah bersliweran di koran minggu.” Gurauku padanya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala.

“Sudahlah, kembalikan. Aku sedang mencari akhir ceritanya!” Dia bersungut-sungut membuatku tak tega untuk membaca hingga tuntas. Kuulurkan lagi kertas-kertas itu dan segera disambut dengan setengah merebut.

Aku berbaring di ranjangnya. Mencoba ikut hanyut dalam cerita yang dikarang oleh temanku itu; “Gerimis yang menjelma menjadi anjing tembus pandang”. Suatu hal yang sulit juga untukku menuliskannya. Diam-diam aku mengakui kehebatan temanku.

“Bagaimana jika anjing-anjing itu menjelma menjadi banjir, Ko?”

“Sudah biasa kalau dari hujan terus banjir!”

Masih ketus jawaban Sasongko. Mungkin dia merasa jengkel naskahnya aku baca. Aku kembali merenung. Padahal Sasongko pasti tidak mau aku ikut-ikutan menebak atau mencari akhir cerita yang sedang ia tulis. Tapi aku tidak perduli.

“Aha! Bagaimana jika begini; anjing-anjing itu tertangkap, terus masuk ke dalam peti, dibuang ke laut, tak lama kemudian ada ledakan dari dasar laut, lalu anjing-anjing itu muncul kembali menjadi tsunami!”

“Sudah. Sudah. Aku tidak perlu bantuanmu. Aku bisa menulis akhir cerita ini sendiri!”

Sasongko semakin marah. Aku tertawa senang.

“Ya sudah kalau tidak mau diganggu, aku pergi kencan saja dengan pacarku!”

Aku yang merasa sudah puas menggodanya, bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah pintu. Rumah Sasongko ini adalah rumah yang terletak di daerah kumuh pinggiran kota. Ukurannya kecil. Ruangannya pun hanya ada dua; kamar mandi dan ruang ini. Ruang yang merangkap ruang tamu, kamar tidur, ruang belajar. Bahkan yang disebut ranjang pun sebenarnya adalah tumpukan dua buah kasur; kasur yang sudah uzur dan kasur yang agak baru. Jadi, di rumah Sasongko hanya ada dua pintu; pintu kamar mandi dan pintu keluar masuk rumah ini. Tanpa mengucap salam lagi, aku pun segera membuka pintu keluar.

Ketika daun pintu terbuka, nampak di depan rumah Sasongko ada seekor anjing. Anjing dengan tubuh yang tembus pandang. Persis seperti yang ditulis oleh Sasongko. Aku ingin berteriak memanggil Sasongko, tapi aku yakin dia akan marah lagi. Maka aku putuskan pingsan tanpa berkata-kata lagi.

Jakarta, Agustus 2007.

Curiga

Seharusnya aku membiarkan kisah ini tak pernah tercatat, sebab ini seperti membuka sehelai perban yang lengket oleh getah bening sebuah luka yang hampir mengering. Sama seperti suatu sore di musim yang tak kunjung ada hujan, saat sehelai daun jatuh dari pucuk yang meranggas, menimpa jalan setapak di belakang rumah itu. Rumah yang belum pernah aku singgahi sebelumnya. Telah lama aku berusaha mengetuk di bagian depan, namun tak ada tanda-tanda pemiliknya membuka pintu.

Maka aku putuskan untuk ke arah belakang rumah. Sebab menurut para tetangga, pemilik rumah ini sedari pagi ada di dalam rumah. Bahkan tadi kedatangan seorang tamu perempuan cantik. Tadinya ada keraguan untuk memasuki halaman rumah besar ini, apalagi dari kartu nama yang aku peroleh rumah ini dihuni oleh seorang pria berkebangsaan asing yang suka memelihara anjing-anjing trah.

Kartu nama itu kuambil dari kumpulan kartu nama pemilik anjing-anjing trah sebuah klub pembudidaya anjing trah. Istriku, sejak kematian anjing jantan milikku, memutuskan untuk berbisnis anjing trah. Dia, tanpa sepersetujuanku – mengingat aku lebih suka membeli lagi seekor anjing jantan untuk menjaga rumah - telah membeli seekor anjing betina.

“Daripada aku menganggur dan kesepian di rumah, lebih baik aku membudidayakan anjing trah. Hasilnya, kata orang-orang, lumayan kok. Lagipula aku ini sudah divonis dokter tidak bakal punya keturunan. Jangan terlalu kuatir aku tidak akan mampu mengurusnya.”

“Apa kamu tidak kerepotan untuk mencarikan pejantannya nanti?”

“Gampang itu, setiap jenis anjing trah sudah ada perkumpulannya di kota ini. Dan biasanya ada pertemuan untuk membahas perkembangbiakkannya.”

“Aku lebih suka kita tetap beli anjing jantan saja, Sayang. Buat menjaga rumah.”

“Aku ini setiap hari di rumah. Tidak pergi kemana-mana. Jadi buat apa anjing penjaga rumah? Kalau memang mampu, kenapa tidak kausewa saja seorang satpam,” jawabnya ketus.

Sejak itu aku lebih suka diam. Kadang-kadang selepas pulang kerja, aku pergi ke tempat pemakaman hewan. Merenungkan kenapa istriku lebih suka menganggap anjing sebagai komoditas perdagangan daripada sebagai hewan peliharaan. Bukannya aku terlalu sentimentil dengan kematian anjing jantanku dulu, tapi aku ingin istriku memahami bahwa hubungan antara anjing dan majikannya bukanlah seperti hubungan ayam dan peternak ayam.

Ah, lagi pula aku memang merasa ada perubahan besar di rumah tanggaku. Istriku lebih sering keluar rumah untuk mencarikan pasangan buat anjing indukan betina yang dimilikinya, Dotty. Maklum, mencari indukan jantan memang diperlukan upaya khusus agar tetap menghasilkan anakan yang bagus kualitasnya. Inilah perbedaan antara peternak dengan sekedar penyayang hewan. Peternak akan berusaha menghasilkan yang terbaik dan membuang yang “cacat”, sedangkan penyayang hewan akan menerima bagaimanapun bentuk tubuh hewan peliharaannya.

Aku lebih suka memilih jadi penyayang, seperti halnya aku bisa menerima kenyataan istriku tidak bisa hamil karena sel telurnya selalu bermasalah setiap diproduksi. Namun tidak demikian dengan istriku. Dia selalu mempermasalahkan kekurangan dirinya sesering dia mempermasalahkan penghasilanku yang pas-pasan untuk hidup di kota besar ini. Memang dia berasal dari keluarga yang terpandang dan cukup berada di kampungnya, tapi bukan berarti dia bisa semena-mena menghina aku dan pekerjaanku sebagai penulis cerita anak-anak di sebuah perusahaan penerbitan. Singkat kata, tak ada yang bisa dibanggakan olehnya dari diriku ini.

Sore ini, kalau bukan karena pesannya untuk segera mencarinya jika datang seekor pejantan yang dipesannya dari kernel langganan datang, aku pun tidak susah payah menemukan alamat rumah ini. Istriku hanya bilang dia akan pergi sebentar melihat keadaan Dotty yang dititipkawinkan pada seorang kenalannya.

Itu dia. Dotty tergeletak di sebuah kandang pemijahan. Rupa-rupanya memang pemilik rumah ini benar-benar memaksimalkan halaman belakang rumahnya untuk usaha pemijahan anjing trah. Tetapi anehnya banyak kandang yang kosong. Mungkin banyak anjing pejantan koleksinya sedang dipinjam pemilik indukan betina seperti istriku.

Dotty tampak kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Dia sudah tahu bau milikku sehingga dia tidak menyalak. Demikian juga dengan anjing pejantan yang berbaring di sampingnya. Diam, tak bersuara. Mungkin mereka sudah berkawin berulangkali hingga tak ada energi lagi untuk menyalak atau bangkit dari tidurnya.

Aku merasa agak aneh kenapa hanya Dotty yang diinapkan di sini dari kemarin? Padahal anjing pejantan lainnya bisa dibawa ke luar. Lalu di manakah istriku? Aku celingukan mencarinya. Rasanya lebih baik aku teriak memanggil namanya, tapi segera kuurungkan niat itu karena tidak baik berteriak-teriak di rumah orang lain.

Pintu belakang rumah terbuka. Aku pun segera bergerak ke sana. Dari sana aku bisa melihat bagian dalam rumah ini. Di atas meja makan, yang terletak di dalam ruang yang berhadapan langsung dengan pintu belakang, tampak irisan-irisan roti yang belum sepenuhnya habis. Tampaknya si pemilik rumah tak sempat menuntaskan sarapan ketika istriku datang. Rasanya, istriku pergi dari rumah sekitar pukul enam pagi tadi.

“Halo?”

Tak ada jawaban. Sepertinya memang tak ada orang di lantai dasar rumah berlantai dua ini.

“Halo?” Sekali lagi aku menyapa. Mungkin tadi suaraku tidak terlalu besar hingga pada sapaan kedua agak kutinggikan nada suaraku.

Masih tak ada jawaban. Aku mulai diteror oleh pikiran-pikiran buruk. Mungkin seperti Dotty dan anjing jantan di kandang sana, pemilik rumah ini pun sedang tertidur. Seperti Dotty? Lalu istriku? Apakah istriku sedang tertidur bersama pemilik rumah ini? Akhirnya aku beranikan diri memasuki rumah ini.

Pada langkah pertama, aku menemukan sebuah foto yang dipasang di atas meja kecil. Foto pemilik rumah. Dia seorang pria yang besar. Sosoknya kelihatan tegap dan kekar pada sebuah foto setengah badan. Aku bergidik membayangkan tubuh mungil istriku tenggelam dalam rengkuhannya. Karena sudah terhasut pitam, aku mencari benda apa saja yang bisa kugunakan untuk menghantam.

Segera kujelajahi ruang di lantai dasar ini, ruang makan, ruang tamu, dapur, namun tak kujumpai keberadaan istriku dan lelaki pemilik rumah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menaiki tangga ke lantai atas. Setiap bilah kayu anak tangga yang kunaiki bersuara seperti teriakan-teriakan dari dalam hatiku.

Hei! Benar saja, ada kegaduhan yang teredam di dalam kamar. Darahku semakin mendidih. Bagaimana tidak? Itu seperti suara yang hampir setahun yang lalu menghilang dari kamar kami. Sebelum aku tenggelam dalam keputusasaan menghadapi sikap istriku yang kukuh ingin berbisnis anjing trah, dan sebelum istriku menganggap aku terlalu bersikap masa bodoh dalam tindakannya.

Aku meradang! Tanpa berpikir panjang kudobrak saja pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat itu. Dan…

Hei, who are you?

Lelaki yang tengah memeluk tubuh seorang perempuan segera melompat dari tempat tidur.

What are you doing here?” Katanya lagi.

Aku tak segera menjawabnya, karena ingin tahu siapakah perempuan yang tubuh mungilnya tanpa busana dan sebagian rambut menutupi wajahnya. Aku ingin memastikan apakah benar dia yang sedang bercinta dengan lelaki tinggi besar itu adalah istriku.

Burglar! Burglarrrr! Pencuri! Rampok!”

Perempuan yang segera menggulung tubuhnya dengan selimut pun ikut berteriak. Apalagi dia melihat di tanganku tergenggam sebatang tongkat pemukul. Sekilas aku melihat bahwa perempuan itu

Lelaki itu segera mendorong dan memukulku hingga aku terjengkang ke belakang, keluar dari pintu yang tadi kudobrak. Sepenuh tenaga aku mendorong kembali untuk masuk dan memastikan bahwa perempuan di atas tempat tidur itu memang bukan istriku. Tak ayal banyak pukulan dari lelaki itu mendarat di wajah dan tubuhku.

That’s my wife! That’s my wife!

Aku berteriak-teriak kepada lelaki itu. Semoga bisa meredakan pukulannya, namun lelaki itu tetap tidak memperbolehkan aku masuk kembali ke kamar. Dicengkeramnya leher bajuku, dan di dorongnya aku ke arah tangga. Tenaganya begitu kuat. Aku terjerembab di lantai.

That’s my girl!
She has no husband!
I’m her man.
Out! Out!

Lelaki itu balas berteriak dan menyudutkan aku pada tangan-tangan anak tangga. Aku terbengong, masih tak percaya bahwa perempuan yang tengah bercinta tadi bukan istriku. Aku harus memastikannya! Kulayangkan tongkat pemukul itu keras-keras ke arahnya. Ke arah kepalanya.

Yang terakhir aku ingat ada tiga orang teriak hampir bersamaan. Yang pertama adalah lelaki yang aku pukul kepalanya mengaduh sekeras-kerasnya, kemudian teriakan kedua dari perempuan yang keluar serta merta dari rengkuhan selimut hingga tak perduli pada tubuh telanjang bulatnya, dia berlari untuk memeluk lelaki yang kepalanya kini bersimbah darah. Dan yang terakhir adalah teriakan dari seorang perempuan yang baru saja luar dari kamar mandi di bawah tangga. Istriku.

Setelah memastikan bahwa perempuan di bawah tangga itu adalah benar-benar istriku, tubuhku jatuh bergulingan menghempas pada setiap bilah anak tangga. Persis seperti daun kering yang jatuh dari pucuk meranggas tadi.

Jakarta, Agustus 2007.