Wednesday, August 15, 2007

Curiga

Seharusnya aku membiarkan kisah ini tak pernah tercatat, sebab ini seperti membuka sehelai perban yang lengket oleh getah bening sebuah luka yang hampir mengering. Sama seperti suatu sore di musim yang tak kunjung ada hujan, saat sehelai daun jatuh dari pucuk yang meranggas, menimpa jalan setapak di belakang rumah itu. Rumah yang belum pernah aku singgahi sebelumnya. Telah lama aku berusaha mengetuk di bagian depan, namun tak ada tanda-tanda pemiliknya membuka pintu.

Maka aku putuskan untuk ke arah belakang rumah. Sebab menurut para tetangga, pemilik rumah ini sedari pagi ada di dalam rumah. Bahkan tadi kedatangan seorang tamu perempuan cantik. Tadinya ada keraguan untuk memasuki halaman rumah besar ini, apalagi dari kartu nama yang aku peroleh rumah ini dihuni oleh seorang pria berkebangsaan asing yang suka memelihara anjing-anjing trah.

Kartu nama itu kuambil dari kumpulan kartu nama pemilik anjing-anjing trah sebuah klub pembudidaya anjing trah. Istriku, sejak kematian anjing jantan milikku, memutuskan untuk berbisnis anjing trah. Dia, tanpa sepersetujuanku – mengingat aku lebih suka membeli lagi seekor anjing jantan untuk menjaga rumah - telah membeli seekor anjing betina.

“Daripada aku menganggur dan kesepian di rumah, lebih baik aku membudidayakan anjing trah. Hasilnya, kata orang-orang, lumayan kok. Lagipula aku ini sudah divonis dokter tidak bakal punya keturunan. Jangan terlalu kuatir aku tidak akan mampu mengurusnya.”

“Apa kamu tidak kerepotan untuk mencarikan pejantannya nanti?”

“Gampang itu, setiap jenis anjing trah sudah ada perkumpulannya di kota ini. Dan biasanya ada pertemuan untuk membahas perkembangbiakkannya.”

“Aku lebih suka kita tetap beli anjing jantan saja, Sayang. Buat menjaga rumah.”

“Aku ini setiap hari di rumah. Tidak pergi kemana-mana. Jadi buat apa anjing penjaga rumah? Kalau memang mampu, kenapa tidak kausewa saja seorang satpam,” jawabnya ketus.

Sejak itu aku lebih suka diam. Kadang-kadang selepas pulang kerja, aku pergi ke tempat pemakaman hewan. Merenungkan kenapa istriku lebih suka menganggap anjing sebagai komoditas perdagangan daripada sebagai hewan peliharaan. Bukannya aku terlalu sentimentil dengan kematian anjing jantanku dulu, tapi aku ingin istriku memahami bahwa hubungan antara anjing dan majikannya bukanlah seperti hubungan ayam dan peternak ayam.

Ah, lagi pula aku memang merasa ada perubahan besar di rumah tanggaku. Istriku lebih sering keluar rumah untuk mencarikan pasangan buat anjing indukan betina yang dimilikinya, Dotty. Maklum, mencari indukan jantan memang diperlukan upaya khusus agar tetap menghasilkan anakan yang bagus kualitasnya. Inilah perbedaan antara peternak dengan sekedar penyayang hewan. Peternak akan berusaha menghasilkan yang terbaik dan membuang yang “cacat”, sedangkan penyayang hewan akan menerima bagaimanapun bentuk tubuh hewan peliharaannya.

Aku lebih suka memilih jadi penyayang, seperti halnya aku bisa menerima kenyataan istriku tidak bisa hamil karena sel telurnya selalu bermasalah setiap diproduksi. Namun tidak demikian dengan istriku. Dia selalu mempermasalahkan kekurangan dirinya sesering dia mempermasalahkan penghasilanku yang pas-pasan untuk hidup di kota besar ini. Memang dia berasal dari keluarga yang terpandang dan cukup berada di kampungnya, tapi bukan berarti dia bisa semena-mena menghina aku dan pekerjaanku sebagai penulis cerita anak-anak di sebuah perusahaan penerbitan. Singkat kata, tak ada yang bisa dibanggakan olehnya dari diriku ini.

Sore ini, kalau bukan karena pesannya untuk segera mencarinya jika datang seekor pejantan yang dipesannya dari kernel langganan datang, aku pun tidak susah payah menemukan alamat rumah ini. Istriku hanya bilang dia akan pergi sebentar melihat keadaan Dotty yang dititipkawinkan pada seorang kenalannya.

Itu dia. Dotty tergeletak di sebuah kandang pemijahan. Rupa-rupanya memang pemilik rumah ini benar-benar memaksimalkan halaman belakang rumahnya untuk usaha pemijahan anjing trah. Tetapi anehnya banyak kandang yang kosong. Mungkin banyak anjing pejantan koleksinya sedang dipinjam pemilik indukan betina seperti istriku.

Dotty tampak kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. Dia sudah tahu bau milikku sehingga dia tidak menyalak. Demikian juga dengan anjing pejantan yang berbaring di sampingnya. Diam, tak bersuara. Mungkin mereka sudah berkawin berulangkali hingga tak ada energi lagi untuk menyalak atau bangkit dari tidurnya.

Aku merasa agak aneh kenapa hanya Dotty yang diinapkan di sini dari kemarin? Padahal anjing pejantan lainnya bisa dibawa ke luar. Lalu di manakah istriku? Aku celingukan mencarinya. Rasanya lebih baik aku teriak memanggil namanya, tapi segera kuurungkan niat itu karena tidak baik berteriak-teriak di rumah orang lain.

Pintu belakang rumah terbuka. Aku pun segera bergerak ke sana. Dari sana aku bisa melihat bagian dalam rumah ini. Di atas meja makan, yang terletak di dalam ruang yang berhadapan langsung dengan pintu belakang, tampak irisan-irisan roti yang belum sepenuhnya habis. Tampaknya si pemilik rumah tak sempat menuntaskan sarapan ketika istriku datang. Rasanya, istriku pergi dari rumah sekitar pukul enam pagi tadi.

“Halo?”

Tak ada jawaban. Sepertinya memang tak ada orang di lantai dasar rumah berlantai dua ini.

“Halo?” Sekali lagi aku menyapa. Mungkin tadi suaraku tidak terlalu besar hingga pada sapaan kedua agak kutinggikan nada suaraku.

Masih tak ada jawaban. Aku mulai diteror oleh pikiran-pikiran buruk. Mungkin seperti Dotty dan anjing jantan di kandang sana, pemilik rumah ini pun sedang tertidur. Seperti Dotty? Lalu istriku? Apakah istriku sedang tertidur bersama pemilik rumah ini? Akhirnya aku beranikan diri memasuki rumah ini.

Pada langkah pertama, aku menemukan sebuah foto yang dipasang di atas meja kecil. Foto pemilik rumah. Dia seorang pria yang besar. Sosoknya kelihatan tegap dan kekar pada sebuah foto setengah badan. Aku bergidik membayangkan tubuh mungil istriku tenggelam dalam rengkuhannya. Karena sudah terhasut pitam, aku mencari benda apa saja yang bisa kugunakan untuk menghantam.

Segera kujelajahi ruang di lantai dasar ini, ruang makan, ruang tamu, dapur, namun tak kujumpai keberadaan istriku dan lelaki pemilik rumah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menaiki tangga ke lantai atas. Setiap bilah kayu anak tangga yang kunaiki bersuara seperti teriakan-teriakan dari dalam hatiku.

Hei! Benar saja, ada kegaduhan yang teredam di dalam kamar. Darahku semakin mendidih. Bagaimana tidak? Itu seperti suara yang hampir setahun yang lalu menghilang dari kamar kami. Sebelum aku tenggelam dalam keputusasaan menghadapi sikap istriku yang kukuh ingin berbisnis anjing trah, dan sebelum istriku menganggap aku terlalu bersikap masa bodoh dalam tindakannya.

Aku meradang! Tanpa berpikir panjang kudobrak saja pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat itu. Dan…

Hei, who are you?

Lelaki yang tengah memeluk tubuh seorang perempuan segera melompat dari tempat tidur.

What are you doing here?” Katanya lagi.

Aku tak segera menjawabnya, karena ingin tahu siapakah perempuan yang tubuh mungilnya tanpa busana dan sebagian rambut menutupi wajahnya. Aku ingin memastikan apakah benar dia yang sedang bercinta dengan lelaki tinggi besar itu adalah istriku.

Burglar! Burglarrrr! Pencuri! Rampok!”

Perempuan yang segera menggulung tubuhnya dengan selimut pun ikut berteriak. Apalagi dia melihat di tanganku tergenggam sebatang tongkat pemukul. Sekilas aku melihat bahwa perempuan itu

Lelaki itu segera mendorong dan memukulku hingga aku terjengkang ke belakang, keluar dari pintu yang tadi kudobrak. Sepenuh tenaga aku mendorong kembali untuk masuk dan memastikan bahwa perempuan di atas tempat tidur itu memang bukan istriku. Tak ayal banyak pukulan dari lelaki itu mendarat di wajah dan tubuhku.

That’s my wife! That’s my wife!

Aku berteriak-teriak kepada lelaki itu. Semoga bisa meredakan pukulannya, namun lelaki itu tetap tidak memperbolehkan aku masuk kembali ke kamar. Dicengkeramnya leher bajuku, dan di dorongnya aku ke arah tangga. Tenaganya begitu kuat. Aku terjerembab di lantai.

That’s my girl!
She has no husband!
I’m her man.
Out! Out!

Lelaki itu balas berteriak dan menyudutkan aku pada tangan-tangan anak tangga. Aku terbengong, masih tak percaya bahwa perempuan yang tengah bercinta tadi bukan istriku. Aku harus memastikannya! Kulayangkan tongkat pemukul itu keras-keras ke arahnya. Ke arah kepalanya.

Yang terakhir aku ingat ada tiga orang teriak hampir bersamaan. Yang pertama adalah lelaki yang aku pukul kepalanya mengaduh sekeras-kerasnya, kemudian teriakan kedua dari perempuan yang keluar serta merta dari rengkuhan selimut hingga tak perduli pada tubuh telanjang bulatnya, dia berlari untuk memeluk lelaki yang kepalanya kini bersimbah darah. Dan yang terakhir adalah teriakan dari seorang perempuan yang baru saja luar dari kamar mandi di bawah tangga. Istriku.

Setelah memastikan bahwa perempuan di bawah tangga itu adalah benar-benar istriku, tubuhku jatuh bergulingan menghempas pada setiap bilah anak tangga. Persis seperti daun kering yang jatuh dari pucuk meranggas tadi.

Jakarta, Agustus 2007.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home