Monday, July 03, 2023

Tipuan Kobat dari Kistaham


Takdir memang aneh dalam bekerja. Sebenarnya aku sudah tahu tidak seharusnya aku menanggapi dengan serius apa yang diucapkan oleh Pangeran Kobat dari Kistaham, karena ia termasuk dalam dua golongan manusia yang tidak bisa diberi masukan karena ia tengah dimabuk cinta dan ia hanya meyakini bahwa Muninggar akan menderita jika tidak menikah dengan dirinya.

Tetapi, aku temui juga ia di balairung istanaku. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya, dan di tubuhnya juga terdapat luka gores, luka lebam yang timbul karena kalah pertarungan dengan Amir Ambyah di dalam pasanggiri di Medayin, untuk memperebutkan Muninggar, putri Raja Nusirwan.

“Jadi, kedatanganmu ke Kaos ini meminta diriku mencampuri urusan percintaanmu itu, Pangeran Kobat?”

“Tidak secara langsung demikian, Raja Jobin. Perlu Paduka ketahui bahwa nasib negara-negara di Atas Angin ini sangat ditentukan oleh keberhasilan Amir Ambyah menikahi putri Raja Nusirwan itu. Dan seperti Paduka telah paham bahwa Raja Negara Medayin itu, sangat berambisi untuk menaklukkan negara-negara lain, Kuparman telah jadi contohnya. Wong Agung telah diminta Raja Nusirwan untuk mencaplok Kuparman dan menggelari dirinya Sultan Kuparman sebelum ia menikah secara resmi dengan putri Muninggar nanti.”

“Kuparman adalah Kuparman, bukan Kaos. Lain cerita kalau Amir Ambyah dan Nusirwan menggeruduk ke mari. Itu baru urusanku.”

Wajah Kobat menunduk ke lantai. Aku senang dengan suasana kikuk yang terjadi kemudian. Pikiranku bisa tenang sejenak dan berandai-andai akan banyak hal. Cerita tentang datangnya Amir Ambyah ke Atas Angin memang sudah diramalkan sejak Patih Betal Jemur menggantikan Patih Bestak, pamannya, untuk mendampingi Raja Nusirwan di Medayin.

Namun, aku dan Nusirwan telah berteman lama. Aku tahu, Nusirwan memang orangnya sangat ambisius. Jika benar bahwa Kuparman telah tunduk pada Medayin karena jasa Amir Ambyah, aku tidak ragu bahwa itu memang keinginan Nusirwan. Tetapi, aku belum pernah mencium keinginan untuk menyerbu Kaos darinya.

“Jujur saja, aku ragu bahwa Nusirwan akan meminta Amir Ambyah menyerbu ke sini. Sebab ia dulu malah pernah memintaku bersama dengan Patih Bestak pergi ke Kuristam menemui Raja Bahman mencari cara untuk bisa mengalahkan Amir Ambyah.”

Kobat berdehem sejenak sebelum menimpali perkataanku, “Itu dulu, Paduka, Patih Bestak sudah tidak lagi mendampingi Raja Nusirwan. Sementara, Patih Betal Jemur begitu percaya akan ramalan yang telah ditulis oleh Kiai Lukmanakim, kakeknya, bahwa Atas Angin ini akan bersatupadu dalam cahaya agama baru yang dinamakan Selam dan itu dimulai dari munculnya Wong Agung Jayengrana yang tak lain adalah Amir Ambyah.”

Kini giliran aku yang terpekur. Benarkah Nusirwan sudah berubah karena kini ia didampingi oleh Patih Betal Jemur? Aku melihat Kobat juga semakin gelisah. Duduknya seperti orang punya bisul di salah satu pantatnya. Sebentar-bentar ia mengubah posisi duduknya.

Bensawan, patihku pernah menceritakan satu kejadian ganjil tentang hal ini. Katanya, setelah Betal Jemur kembali dari Makkah, ia mengirim pesan pada Raja Nusirwan bahwa Patih Bestak harus menemuinya di perbatasan Medayin. Tetapi, Patih Bestak tidak mau. Bahkan ketika Raja Nusirwan memintanya memenuhi permintaan tersebut. Maka Raja Nusirwan sendiri yang pergi dengan menunggangi gajah. Begitu Raja Nusirwan berangkat, Patih Bestak segera mengiringinya dengan terpaksa. Saat melihat Raja Nusirwan sendiri yang datang menyambut kedatangannya, Betal Jemur sangat terkejut dan segera menjatuhkan diri untuk menyembah Raja Nusirwan. Namun, Raja Nusirwan memotong tindakan Betal Jemur dan membuat mereka kemudian berjabat tangan dan berpelukan seolah dua orang sahabat lama yang baru bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Saat itu, di dekat mereka turun dua ekor burung dan berkicau seolah tengah berbincang. Melihat hal tersebut, Patih Bestak berseloroh kepada Raja Nusirwan bahwa yang bisa mengerti percakapan dua ekor burung itu hanyalah Betal Jemur. Ternyata, Betal Jemur memang bisa mengerti percakapan dua ekor burung tersebut. Kepada Raja Nusirwan, Betal Jemur mengatakan bahwa dua ekor burung itu tengah membicarakan sebuah lamaran dan persyaratannya, agar lamaran itu bisa diterima. Persyaratan yang diminta oleh salah seekor burung itu adalah wilayah bagi calon mempelai berdiam nantinya setelah perkawinan yaitu dua buah desa yang kosong di Negara Medayin. Oleh seekor burung lainya, persyaratan itu mudah sekali untuk diwujudkan mengingat selama Patih Bestak berkuasa, banyak sekali desa-desa yang kosong ditinggalkan penduduknya. Ternyata selama ini, Patih Bestak memerintah dengan sangat kejam. Para penduduk desa yang tidak mampu membayar upeti ditangkapi, bahkan disiksa. Dan karena tidak tahan menderita, banyak penduduk yang pergi dari desa-desa mereka, mengungsi ke wilayah negara lain. Mengetahui hal itu, Raja Nusirwan marah dan meminta Patih Bestak mendatangi para penduduk yang mengungsi untuk meminta maaf dan meminta mereka kembali ke desa-desa tempat tinggal mereka sebelumnya, Dan untuk memastikan mereka mau kembali, Patih Bestak tidak boleh pergi sendiri melainkan harus didampingi oleh Betal Jemur yang saat itu juga diangkat secara resmi sebagai Patih Medayin.

Teringat cerita Patih Bensawan, aku jadi maklum mengapa Raja Nusirwan begitu memercayai ucapan Betal Jemur. Dan selama Betal Jemur masih menjabat sebagai Patih Medayin agaknya sulit untuk membujuk Raja Nusirwan mau bersatu padu dengan dirinya dan raja-raja negara Atas Angin lainnya untuk menolak kehadiran Amir Ambyah, terlebih menjadi suami dari putrinya, Muninggar.

Akhirnya, kukatakan pada Kobat, “Agaknya, aku harus mengambil sikap bahwa kesulitanmu akan tetap jadi kesulitanmu. Aku tak punya kuasa apa-apa atas hal itu.”

Kobat mengela napas panjang sebelum menjawab dengan bertanya, “Meskipun itu mengancam kedaulatan negara Kaos ini, Paduka?”

“Aku belum melihat sesuatu yang buruk untuk Kaos dari peristiwa yang menimpa dirimu.”

Aku melihat Kobat tersenyum kecut. Dan setelah lama terdiam, ia berujar kembali, “Paduka, jika kuceritakan kepadamu sesuatu apakah kau akan tetap tidak peduli?”

“Apa itu?”

“Amir Ambyah itu telah memiliki seorang putera yang bernama Raden Maryunani, dari istri yang bernama Dewi Sekar Kedaton. Raden Maryunani itu belum memiliki wilayah kekuasaan sendiri di Atas Angin. Dan yang aku dengar, Raja Nusirwan ingin menjodohkannya dengan putrimu, Dewi Haluljahar, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dan kalau Raja Nusirwan yang meminta putrimu untuk dinikahkan pada cucu menantu darinya, apakah kau akan menolak?”

“Jadi, begitu rencana Raja Nusirwan?”

“Bukankah Paduka juga punya keinginan seperti itu, jika bisa? Sayangnya, baik Paduka maupun Raja Nusirwan sama-sama memiliki anak perempua, begitu bukan?”

Entah tipuan atau rayuan, kali ini apa yang diucapkan oleh Kobat adalah suatu kebenaran. Aku pun ingin sekali bisa berbesanan dengan Raja Nusirwan apabila anakku lelaki dan baik aku maupun Raja Nusirwan tidak punya keberanian untuk mengambil keputusan menjadi menantu dari salah satu dari kami.

“Lalu, apa usulmu?”

Kobat kembali berdehem seolah ada sesuatu yang kasar dan berat berada di dalam tenggorokannya. Sesudah itu, ia bicara dengan nada yang sedikit mengambang, “Menurutku, jika Paduka berkenan, dan hamba lebih rela jika itu terjadi, lebih baik Paduka datang ke Medayin meminta Dewi Muninggar sebagai istri Paduka. Bagaimana?”

Meski terlihat dari matanya seperti hilang harapan, tapi juga aku melihat ada semacam bara yang meletup-letup setelah ia selesai mengatakan kalimat itu. Kini aku benar-benar terpekur karena ucapannya itu. Dalam pikiranku berkecamuk segala hal seperti bayangan wajah cantik dan belia Dewi Muninggar, raut muka terkejut dan heran Raja Nusirwan, amarah yang membuat merah wajah Amir Ambyah, derap pasukan dari Kaos hingga ke Jazirah Arab, sampai ratusan bahkan ribuan prajurit yang meregang nyawa mereka dalam beberapa pertempuran besar. Pertempuran yang mungkin bisa segera terjadi tak lama dari pertemuan antara diriku dengan Kobat dari Kistaham ini.

Labels: , ,

Sunday, September 05, 2021

Lelaki yang Melambai Pada Kereta Api

SEBUAH pertanyaan tertulis pada kertas berukuran folio; Apakah manfaat dari memelihara sapi? Sofma mengamatinya dengan tak sengaja karena kertas itu tiba-tiba berada di dekat kakinya, tergeletak di lantai peron. Ia hendak melakukan perjalanan ke Luna Turka, mengikuti anjuran dari Don Seri agar sekali-kali meliburkan diri daripada bekerja terus-menerus 24/7 tapi tak bisa menjadi orang kaya. "Berlibur itu seperti mengisi daya baterai bagi hati dan pikiran," Begitu bujuk Don Seri padanya. Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat mengambil cuti dan berlibur. "Paling-paling berjalan dari satu ke lain tempat di daerah tujuan pariwisata, nongkrong sana-sini, makan-minum, menghamburkan uang saja." Keluhnya. Don Seri, pemusik dan petualang yang dijumpainya di kedai minum Crab Legs memberi jalan keluar untuk berlibur murah dan benar-benar berbeda dari kebiasaan.

"Apa dan bagaimana itu?" selidiknya, penasaran.

Don Seri mengatakan padanya, pada bulan September, di Luna Turka, ada festival keagamaan di sebuah ashram. "Kau tinggal datang ke ashram, berbaur dalam acara dan kegiatan yang ada, tidur berbagi dengan para peserta lain di tenda-tenda yang disediakan, makan bersama. Semuanya gratis!"

"Tapi, itu kan festival keagamaan? Dan aku bukan pemeluk teguh dari satu agama atau kepercayaan tertentu. Aku ragu." Sofma mendadak seperti kehilangan minat pada pembicaraan terlebih anjuran Don Seri. Dan bukanlah Don Seri jika ia tidak bisa memberi jawaban atau alasan yang menyenangkan. Pergaulannya yang luas membuatnya selalu punya cara untuk membujuk orang bergembira. Lagi pula ia seorang penghibur yang siap mengajak orang menikmati musik yang ia persembahkan.

"Kau tahu apa manfaat dari orang memelihara ternak? Orang yang bersikap fragmatis tentu akan menjawab untuk diambil daging, susu, telur, atau lainnya yang bermanfaat. Namun, kau tahu hal spiritual apakah yang bisa didapat dari memelihara ternak? Ia menjalankan perintah Tuhannya selain mengambil manfaat dari beternak, juga menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Jadi, berdoa itu bisa dengan beragam bahasa, dan menyebut Tuhan bisa dengan beragam namaNya. Kau paham?"

Perkataan Don Seri itu seperti dikuatkan kembali kepadanya saat Sofma melihat kertas dengan pertanyaan di dekat kakinya. Yang terutama saat ini adalah ia bisa berlibur dan melupakan pekerjaan sehari-harinya sebagai akuntan swasta yang selalu dirumitkan dengan angka-angka dalam tabel rugi-laba. Lamunan Sofma terhenti karena ia mendengar pengumuman dari pelantang yang menyebutkan kereta api dengan tujuan Luna Turka segera tiba. Sofma menggenggam erat tali-tali tas ranselnya, sebelum akhirnya melangkah ke anjungan peron sesaat kereta yang hendak dinaikinya benar-benar sudah berhenti di hadapannya.

Melangkah sambil memerhatikan nomor kursi untuk mencari tempat di mana ia harus duduk sesuai dengan yang tertera di karcis, membuat Sofma berjalan seperti tergesa dan terhenti. Para penumpang lain yang berusaha mencari tempat duduk atau meletakkan barang bawaan mereka ke rak di atasnya membuat semacam kemacetan kecil berkali-kali bagi langkahnya. Sofma baru merasa sedikit lega setelah ia melihat nomor yang diperhatikan dengan saksama sedari tadi pada karcisnya.

20 B! Kursi dekat lorong. Tempat duduk yang sebenarnya ingin ia hindari. Maklum, duduk dekat lorong akan selalu mendapatkan gangguan dari para penumpang yang lewat. Demikian juga dari penumpang yang duduk di dekat jendela kalau mereka ingin buang air ke toilet di ujung gerbong. Namun kali ini ia tidak merasa begitu menyesal, yang penting sudah dari jauh hari ia bisa mendapatkan konfirmasi tempat duduk dan keberangkatan, mengingat festival keagamaan di Luca Turka itu membuat kereta api ke sana di awal bulan September ini melonjak jumlah calon penumpangnya.

Selesai meletakkan tas ransel di rak di atas kursi, Sofma mendengar ada yang mengucapkan "Permisi" dengan nada lembut namun jelas. Seorang perempuan berambut panjang hitam legam dengan wangi seperti dupa sudah berdiri begitu dekat dengan dirinya.

"Nomor kursi saya 20 A." Perempuan itu kembali bersuara.

"Oh, maaf saya menghalangi Anda masuk. Sebentar. Sebentar." Sofma bergegas duduk agar perempuan itu bisa masuk ke dalam ruang yang dibatasi oleh dua deret kursi itu. Perempuan itu menyeret tas besar yang kemudian dia letakkan begitu saja di hadapannya segera setelah ia duduk pada kursinya di dekat jendela. Tas berukuran besar itu memadati ruang dan membuat Sofma harus menyesuaikan duduknya. Sofma adalah pria bertubuh lumayan tinggi dengan tungkai kaki yang panjang.

Demi keleluasaan duduknya, Sofma memberanikan diri untuk bertanya pada perempuan itu apakah boleh tas besarnya ia letakkan di rak saja. Perempuan itu merasa keberatan, katanya, "Aku hanya sampai dua stasiun dari sini. Paling lama satu setengah jam perjalanan. Semoga kau tidak keberatan." Sofma mengangguk dengan kikuk, dengan senyum yang dipaksakan.

Perempuan itu berkata lagi, "Aku hanya sampai Wan Johi! Bukan sampai Luna Turka, tujuan terakhir kereta ini. Kau bisa mengerti?" Ucapannya kali ini terdengar seperti orang yang kecewa. Ini membuat Sofma tak ingin memperpanjang persoalan sepele ini. Biarlah, pikirnya, ia tahan-tahan duduk demikian. Toh, hanya selama satu setengah jam jika benar ucapan perempuan itu. Sofma mengangguk kembali. Kali ini sedikit lebih santai.

"Syukurlah kalau kau bisa mengerti. Aku ingin kereta ini segera berangkat." Lagi, perempuan itu bicara padanya. Entah dengan maksud apa. Sofma sebenarnya ingin menahan diri agar tidak membuat perempuan di sampingnya makin bertambah emosi. Meski ia tahu bukan ia penyebabnya. Namun perkataan perempuan itu menggelitik rasa penasarannya.

"Saya kira kau ingin ke Luna Turka untuk mengikuti festival keagamaan seperti saya," pancing Sofma.

"Kenapa kau mengira demikian?" Kali ini Sofma bisa melihat jelas mata perempuan berambut legam itu. Mata yang bulat besar dengan riasan maskara yang membuat mata itu terlihat semakin bulat dan besar. Mata yang bisa membuat degup jantung semakin kencang jika menatapnya lama-lama.

"Maaf, ada bau dupa yang begitu kuat ketika kau datang dan lewat di depanku."

"Oh." Hanya itu yang terucap sebagai responnya.

Perempuan itu membelalakkan kelopak matanya dan dengan tisu di tangannya ia menyeka sudut matanya sebelum melanjutkan bicara, "Tidak. Aku tidak pergi ke festival itu. Aku akan turun di Wan Johi. Urusan keluarga."

"Oh." Kali ini Sofma yang mengatakannya.

"Mau berdoa pada dewa apa kau di sana?"

"Maaf? Dewa? Saya belum tahu. Ini kali pertama saya pergi ke festival itu. Kau pernah ya?"

Perempuan itu kemudian menyebutkan beberapa nama dewa yang kepada mereka setiap acara dalam festival itu dihelat. Masing-masing akan punya waktu dan tempat sendiri dalam festival itu. Dan setelah ia menjelaskan cukup rinci, perempuan itu bertanya pada Sofma, "Apa pekerjaanmu? Kalau kau ingin rejekimu lancar dan karirmu baik, kau bisa berdoa sesuai dewa yang menaungi pekerjaanmu."

"Saya seorang akuntan swasta. Kira-kira saya harus berdoa pada dewa atau dewi apa?"

"Akuntan itu berhubungan dengan keuangan dan ketelitian. Kau bisa berdoa pada Dewa Ganesha juga pada Lakshmi Dewi. Pada Dewa Ganesha, kau bisa berdoa dengan mantra - Om Gam Ganpataye Namaha selama 108 kali setiap hari, dan kepada Lakshmi Dewi kau bisa membaca mantra Maha Lakshmi supaya kau diberkati."

Sofma merasa takjub pada perempuan itu. Betapa ia hafal ritual agama dan dewa-dewi yang disembah. Namun ia masih heran dengan sikap perempuan itu yang sedikit ketus dari tadi. Kurang mencerminkan seorang yang saleh.

Sebelum Sofma menanggapi perkataan perempuan itu, sayup terdengar peluit tanda kereta api siap diberangkatkan. Dan benar saja, perlahan-lahan kereta itu bergerak menarik gerbong-gerbongnya menjauhi stasiun.

Pemandangan di luar kereta yang memerlihatkan sebagian dari kota dan selebihnya areal persawahan entah mengapa membuat Sofma merasa ada beban dalam dadanya yang pelan-pelan menyusut beratnya. Ia mulai percaya ucapan Don Seri bahwa dengan berlibur ada hati dan pikiran yang diisi daya kembali.

Tiba-tiba ia melihat ada serombongan orang berdiri di tengah areal persawahan seperti sengaja menunggu kereta api itu lewat. Dari rombongan tersebut ada seorang lelaki berdiri paling depan dan paling dekat dengan sisi rel kereta api dan melambaikan tangannya, entah kepada siapa, tapi pastinya yang dituju adalah salah seorang dari penumpang kereta api ini. Sofma tidak menyadari perempuan di sebelahnya menarik semacam kerudung untuk menutupi wajahnya. Ia baru menyadari setelah perempuan itu bertanya kepadanya, "Sudah tidak terlihat?"

"Apa yang sudah tidak terlihat?"

"Lelaki yang melambai pada kereta api ini di sawah tadi."

"Oh. sudah jauh. Memangnya siapa dia? Kau kenal?"

"Bukan kenal lagi. Dia bernama Demanja, suamiku tadi siang. Aku memutuskan untuk tidak meneruskan upacara pernikahan karena ia seorang pecandu gutka. Tak ada yang memberitahukan sebelumnya kepada keluarga kami sebelumnya."

"Dia masih berharap pernikahan kalian berlanjut?"

"Sepertinya begitu tapi aku tidak bisa. Pecandu gutka itu menjijikan bau mulutnya. Belum lagi ludah merahnya selalu sembarangan dibuang ke lantai. Aku tak akan tahan hidup begitu! Dia sempat bersikeras untuk mengantarku ke stasiun tapi aku lebih dulu pergi."

"Kau tidak mengenal dia sebelumnya?"

"Bukankah tradisi kita untuk menikah tidak perlu saling mengenal pasangan masing-masing? Yang penting keluarga kita sudah sama-sama tahu siapa akan dinikahkan dengan siapa. Bukankah begitu? Apa kau lupa?"

Sofma terpekur. Ia sudah lama melupakan tradisi pernikahan semacam itu. Sofma melarikan diri dari rumah dan keluarganya karena dipaksa menikahi Marmari, anak perempuan kolega ayahnya. Keputusan bulat itu diambil karena ia lebih mencintai Kumbi, teman kuliahnya. Namun cinta itu juga kandas karena Kumbi harus menerima pinangan keluarga Desdas.

"Hei, mengapa kau melamun?"

Sofma mendengar ucapan perempuan berambut legam beraroma dupa di sampingnya dengan jelas tapi ia malas untuk menanggapinya. Sofma lebih tertarik untuk menikmati luka dalam dadanya seperti lelaki yang melambaikan tangan pada kereta api tadi. Ia yang tahu sebenarnya ada yang bisa ditentang dan diperjuangkan dalam hidup ini, tapi memang ada kalanya hanya bisa berkata, "Selamat jalan. Semoga bisa bertemu kembali."

Jakarta, September 2021

Thursday, January 07, 2021

BANGKAI

Sebaik-baik menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga, begitu pepatah yang menunjukkan bahwa orang tidak bisa menyimpan begitu saja kesalahan atau dosa. Tetapi, tokoh kita ini senang sekali menyembunyikan banyak hal-hal ganjil di dalam kepalaku, seolah kepalaku adalah kuburan bagi bangkai-bangkai yang ia bawa ketika mengunjungiku. Aku menyebutnya sebagai bangkai karena tokoh kita ini menceritakan hal-hal ganjil yang ia anggap layak untuk dibuang jauh-jauh dari kehidupannya, baik kehidupannya sebagai seorang bapak, seorang suami, atau seorang karyawan sebuah perusahaan. Barangkali karena ia menganggapku begitu baik mau menampung apapun ceritanya tanpa mengumbarnya kepada teman-teman lainnya, atau mungkin lebih dari itu, bertemu denganku seolah masuk ke dalam bilik pengakuan dosa. Namun, untuk yang terakhir, aku tak berani jemawa apalagi aku tak sedikitpun pernah memberinya wejangan bahkan memintanya untuk bertobat dan berdoa. Aku hanya menampung ceritanya tanpa pernah menyela ataupun memotongnya. Aku lebih mirip tong sampah, atau, ya, seperti tadi aku bilang, kepalaku adalah kuburan bagi ceritanya itu.

"Kau tahu tidak? Kemarin itu aku hampir menempeleng istriku!" Katanya sambil menyesap kopi dari cangkir ke tiganya. Tanpa perlu aku bertanya "mengapa?" ia segera melanjutkan ceritanya, "Masakan di depan mertuaku, istriku bilang bahwa aku suami yang tak diuntung. Sudah berpenghasilan kecil, merasa sudah sangat berjasa, tidak pernah mau meringankan beban istri mengurus anak-anak dan membersihkan rumah. Padahal, untuk mendapatkan gaji yang dia sebut kecil itu aku sudah mati-matian bekerja dengan baik, pergi pagi, pulang malam. Masak ia tidak mau mengerti?"

Aku hanya tersenyum kecil dan mendengus mendengar keluhannya itu. Melihat aku tersenyum, tokoh kita ini tidak protes padaku semisal beranggapan aku menertawakan deritanya, atau dengan dengusanku itu, ia akan menduga bahwa aku akan membela tingkah istrinya karena ia tahu aku sangat memerhatikan isu-isu KDRT dan feminisme selama ini. Dan seperti biasa, tanpa aku minta untuk meneruskan ceritanya, ia kembali mengoceh, "Bukannya aku tidak tahu diuntung, Bung! Aku juga sadar bahwa tugas sebagai istri itu berat. Aku pun tidak segan untuk membantu pekerjaan rumah kalau pas libur tapi bercerita yang bukan-bukan di depan orang tuanya itu 'kan kurang ajar namanya. Seolah menuduh aku orang yang tidak bertanggungjawab pada kesejahteraan keluargaku sendiri. Padahal kurang apa coba aku, setelah bertahun-tahun menjadi karyawan di suatu perusahaan dengan gaji kecil lalu berpindah dua tiga kali ke perusahaan lain agar gajiku naik. Belum lagi mengejar upah lemburan, dan kau lihat saja sendiri, sampai sekarang aku belum bisa beli mobil mewah tapi ke mana-mana pakai motor butut itu yang kau tahu sendiri 'kan sejak kita masih kuliah sudah aku pakai."

Tokoh kita ini menyomot pisang rebus, yang tadi aku iseng membelinya karena kasihan pada penjualnya yaitu seorang pelajar kelas dua SMP yang terpaksa berjualan karena ayahnya di-phk dan ibunya meninggal karena wabah covid-19, yang tidak lebih dari enam detik sudah lumat dalam mulutnya sebelum kemudian meneguk lagi kopi di cangkir ke tiganya sebelum mulut itu kembali menyemburkan kata-kata, "Aku sudah banyak berkorban untuk keluargaku tanpa pernah mengejar sesuatu untuk aku pakai atau aku gunakan dari sebagian gaji yang aku terima setiap bulan untuk melakukan kesenanganku, ah kau tahu 'lah, dari dulu aku suka memancing di laut. Dan kau juga tahu sudah lama aku tak memancing, bukan?"

Ya, tokoh kita ini dulu aku kenal memang sering pergi memancing baik di Pangandaran atau di Kepulauan Seribu. Sebelum ramai orang menjawab semboyan sebuah acara televisi dengan kata, “Mantap!” ia aku kenal memang termasuk maniak untuk urusan memancing ikan karena hampir setiap ada kesempatan ia sudah sulit dihubungi oleh teman-teman kami yang lain dengan alasan memancing. Aku mengangguk-anggukan kepalaku seolah menikmati ceritanya. Ganti ia yang mendengus melihat tingkahku.

“Ah. Kau jangan pura-pura bisa memahami isi hatiku! Mana pernah aku lihat kau mau berkorban seperti aku ini. Aku tahu kau masih sering main bilyar dengan teman-temanmu, bukan, berapa yang kau habiskan di sana, tidak mungkin sebulan kau hanya menghabiskan lima ratus ribu di meja bilyar, benar ‘kan? Beli token saja bisa habis dua ratus ribu semalam, belum kasih tips untuk gadis bolanya, belum rokok, belum minum. Benar bukan? Uang lima ratus ribu itu sangat berharga buat keluargaku, Bung, kau tahu ‘kan? Belanja di tukang sayur setiap hari sudah lebih dari lima puluh ribu! Nah, mulailah kau berhemat. Jangan sampai uang itu kau hamburkan percuma. Belum kalau urusan uang sekolah anak, mending kau pikir-pikir dulu, deh sebelum kau menikah.”

Aku membatin, sialan benar omongan tokoh kita itu. Dia tidak tahu bahwa aku pun tengah mengalami kesulitan keuangan semenjak wabah covid-19 ini menyerang. Sektor mana yang tidak terserang kesulitan pada saat begini? Hampir semuanya. Bahkan aku nyaris mendaftar menjadi tukang ojek daring jika tidak diberitahu oleh salah satu rekan yang mencoba lebih dulu bahwa sudah tidak ada lagi pendaftaran untuk menjadi mitra. Untung saja, aku masih bisa menghasilkan beberapa tulisan di sebuah situs hiburan. Berita ecek-ecek yang aku comot dari video-video Youtube para artis lumayan laris dibaca. Namun itu tak banyak menghasilkan uang. Asal ada pemasukan saja, aku sudah merasa beruntung. Terlebih memang aku belum punya keluarga.

Tokoh kita ini, setelah menyelesaikan ocehannya sekitar pukul empat sore, pergi dengan wajah yang masih kusut seperti waktu ia datang. Sedikit uang dan sebungkus rokok yang kuberikan padanya, tidak banyak mengubah air mukanya. Sebelum pergi, ia kembali berpesan, “Kau pikir-pikir dengan betul kehidupan berumah tangga itu. Carilah istri yang bisa lebih memahami keadaanmu! Terima kasih atas waktumu mendengar keluhanku. Jangan bosan!”

Suara sepeda motornya yang akrab itu rasanya belum lama menghilang dari kepalaku, ketika teleponku berdering dan suaranya terdengar menggelegar dengan penuh kepedihan, “Bung! Tolong aku! Aku tak sengaja telah membunuh istriku! Lekas, Bung! Tolong aku!”

Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas pergi ke rumahnya. Rumah tokoh kita ini ada di sudut kampung. Mereka menempati sebuah rumah petakan di atas tanah garapan milik instansi perkebunan. “Hanya bisa menyewa yang murah, Bung,” aku ingat betul ucapan tokoh kita saat aku dan teman-teman mengunjunginya, menyambut undangannya untuk semacam selamatan atas pernikahan tokoh kita dan istrinya yang dirayakan dengan sangat sederhana, hanya makan-makan untuk teman dan keluarga, katanya. Begitu sampai di rumah tokoh kita ini, aku disergap perasaan takut karena rumahnya terasa begitu sunyi. Lamat-lamat aku dengar tangisan anak-anak kecil. Aku mengirimkan pesan kepada teman-temanku mengenai kondisi darurat dari tokoh kita. Amin, seorang teman, menyatakan akan menghubungi pihak kepolisian supaya aku tidak dianggap sebagai kaki tangan dari kejahatan yang dilakukan oleh tokoh kita ini. Amin menjamin dalam pelaporan itu aku datang ke lokasi kejadian karena diminta oleh tokoh kita itu karena hanya aku yang dipercaya olehnya dalam setiap kesulitannya, bahkan ia menyatakan bahwa kedatanganku ke lokasi untuk menahan tokoh kita agar tidak kabur dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Aku setuju saja, yang penting aku tidak akan dituduh sebagai pelaku jika benar tokoh kita telah membunuh istrinya.

Saat pintu rumah sewaan tokoh kita ini aku buka, aku hanya melihat anak-anaknya dan istrinya. Aku heran, bukankah menurut berita yang aku dengar tokoh kita ini telah membunuh istrinya, mengapa istrinya masih hidup. Terkejut melihat kedatanganku, istri tokoh kita justru melontarkan sebuah bentakan, “Kau sembunyikan ke mana suamiku? Tidak tahu sudah malam begini, anak-anaknya belum makan?!”

Aku tergagap. Bukankah sudah sejak pukul empat tokoh kita itu sudah pulang? Dengan tetap tenang, aku berkata kepada istrinya itu. “Mbak, aku ke sini karena diminta untuk menjenguk kalian. Tadi suami mbak pergi ke rumahku dan minta tolong agar dipinjami uang untuk keperluan hari ini.”

“Jadi, kau tidak tahu ke mana suamiku?”

“Tidak, Mbak. Jangan salah paham,” jawabku berbohong tentang kedatanganku ke rumahnya. Aku segera memberikan kepada perempuan itu dual embar uang seratus ribu. “Maaf, saya hanya ada uang segini. Tidak seperti yang diinginkan oleh suamimu untuk diberi pinjaman.”

Ia segera menerima uang itu tapi tatapan matanya masih terlihat bingung.

“Kenapa, Mbak?”

“Aku tidak tahu harus ke mana membeli makanan untuk anak-anakku yang lapar ini. Bisakah aku minta tolong kau belikan, entah nasi atau mi goreng?” Perempuan itu kembali mengangsurkan uang yang telah aku berikan kepadanya. Aku segera menolak.

“Tidak perlu, Mbak. Pakai uang saya saja untuk beli makanan. Sebentar saya pergi dulu.”

Ia mengangguk.

Sambil berkeliling kampung dengan sepeda motor mencari penjual nasi atau mi goreng yang berjualan, aku tidak habis pikir, mengapa tokoh kita ini berbohong mengenai pembunuhan istrinya. Telepon genggamku bergetar beberapa kali tanda banyak pesan yang masuk. Aku berencana untuk membacanya saat menunggu nasi atau mi goreng disiapkan penjualnya setelah aku temukan nanti.

Tak berapa lama, aku sudah menemukan penjual nasi goreng keliling di salah satu jalan. Kebetulan ia sedang melayani seorang pembeli dari sebuah rumah. Setelah menyebut pesananku, aku mulai mengambil telepon genggamku untuk membaca pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari Amin yang mengatakan polisi sudah meluncur menuju lokasi. Aku segera membalasnya dengan pesan pendek, “False alarm! Tidak ada korban.” Yang dengan cepat dijawab oleh Amin dengan emotikon orang menangis dan tulisan, “Waduh! Celaka! Aku bisa kena laporan palsu!”

Entah apa yang kemudian terjadi dengan Amin. Ia tak lagi memberi pesan kepadaku. Barangkali, ia bisa mengatasi masalah tuduhan laporan palsu itu. Pesan-pesan lain hanya dari teman-teman yang mendoakan agar tidak terjadi hal-hal gawat selain meminta tokoh kita menyerahkan diri dan menceritakan yang sejujurnya. Pesan-pesan itu pun aku balas dengan kalimat yang sama dengan pesan kepada Amin tadi dan langsung beberapa orang menjawab dengan kata-kata bernada kelegaan.

Kembali ke rumah tokoh kita yang masih hanya berisi istri dan anak-anaknya, aku, tepatnya makanan yang aku bawa, disambut mereka dengan tangkas dengan kata, “terima kasih” yang terdengar kikuk yang diucapkan oleh istri tokoh kita itu. Aku berdiri di halaman saat mereka menyantap makanan itu, bahkan sebenarnya berharap bisa segera pergi dari tempat itu. Hanya rasa penasaran akan apa yang terjadi pada tokoh kita itu membuatku bertahan, terutama aku ingin sekali mendapatkan jawaban mengapa ia meneleponku dan mengatakan telah membunuh istrinya.

Suara sepeda motor yang akrab di telingatku tiba-tiba terdengar, kali ini dibarengi dengan suara sepeda motor lain. Darahku berdesir kencang, jangan-jangan tokoh kita melakukan suatu perbuatan tercela sehingga ia dikejar oleh mereka yang ramai suara sepeda motornya terdengar olehku. Benar saja, ada banyak orang datang ke rumah petak sewaan tokoh kita. Tetapi, tak ada tokoh kita bersama mereka. Aku melihat seorang mengendari sepeda motor tokoh kita dan ia dengan tergopoh-gopoh mendatangiku.

“Benar ini rumah kontrakannya, siapa tadi, sebentar,” Ia merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan selembar kartu tanda penduduk. “Damai Persahabatan!” Meski yakin bahwa sepeda motor yang dibawa oleh si penanya adalah milik tokoh kita itu, tapi aku tak mengenal nama itu. Tokoh kita itu, sepanjang aku mengenalnya bernama Sahabat Perdamaian, bukan Damai Persahabatan. Dengan rasa penasaran yang sangat, aku merebut KTP dari tangan si penanya. Aku perhatikan benar barang itu, dan aku yakin sekali wajah di dalam foto pada KTP itu benarlah wajah tokoh kita!

Perempuan yang sedang makan bersama anak-anaknya itu segera menghambur ke luar rumah. Ia bertanya berkali-kali, “Ada apa ini? Ada apa ini?” pada mereka yang mendatanginya. Si penanya mencabut dengan kasar KTP dari tanganku lalu memberikan pada perempuan itu. “Benarkah ini rumah Damai Persahabatan?” KTP itu dengan cepat berpindah tangan pada perempuan itu yang segera disambut dengan lengkingan tangis yang lebih keras daripada tangis yang aku dengar tadi ketika mereka kelaparan.

Namun, tangisan itu tak berlangsung lama. Dari mulut perempuan itu malah keluar sumpah serapah yang menginginkan orang yang dimaksud oleh penanya itu celaka, ditangkap polisi, bahkan mati, dan ia tak peduli. Tidak lagi peduli pada nasib orang itu.

Dalam kebingungan karena perubahan yang mendadak dari perempuan itu, aku pun bertanya pada si penanya tadi, “Ada apa dengan Damai Persahabatan ini?” Si Penanya balik bertanya, “Kau siapanya?” Yang aku balas dengan mengatakan bahwa aku datang ke tempat itu hanya untuk memberi uang pada perempuan itu dan anaknya.

“O, berarti kau temannya?” Lagi-lagi ia bertanya.

“Bisa dibilang begitu, tapi sebenarnya ini ada masalah apa?”

Si Penanya memerlihatkan air muka bengis, sebelum ia berkata dengan ketus kepadaku, “Damai ini sudah lama berhutang pada kami. Sepeda motor butut ini tidak cukup untuk menutupi hutang-hutangnya. Malam ini, adalah tenggat waktu ia harus melunasi hutangnya. Jika tidak …”

“Jika tidak, apa yang akan kalian lakukan padanya?”

“Bukan kepadanya. Tapi, istri dan anak-anaknya akan menjadi budak-budak kami!”

“Lho, mana boleh begitu? Ini negara hukum dan perbudakan sudah tidak ada lagi,” cegahku.

“Tahu apa kau! Kecuali, kau mau menggantikan posisi mereka atau membayar hutang-hutangnya!”

Aku minta waktu padanya untuk mengontak Amin, barangkali Amin dan teman-temanku bisa segera patungan untuk membayar hutang Damai ini.

“Hah?” Amin terkejut setelah aku bercerita sedikit. “Hutang apa lagi manusia satu itu? Coba tanyakan berapa jumlahnya, baru aku tanya ke teman-teman apakah mereka bisa bantu melunasinya.”

“Berapa total hutangnya?” Tanyaku pada si Penanya tadi.

“Yang harus ia lunasi 900 juta rupiah!”

Perempuan itu menggerung. Di telepon, Amin merutuk, “Anjing!” Aku merasa lemas seketika. Uang sebanyak itu tak mungkin bisa kami lunasi malam ini. Aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya selain bertanya-tanya mengapa tokoh kita itu menjerumuskan aku pada kondisi yang benar-benar berbeda dengan semua yang ia telah ceritakan kepadaku? Apakah selama ini ia berbohong padaku dengan aneka persoalannya itu? Aku merasa barangkali memang tak semua harus dipercaya di dunia ini. Bahkan saat aku menceritakan peristiwa ini kepadamu, kau tak harus percaya, dan lebih baik tidak perlu dipercaya. Bukankah dunia ini memang penuh kebohongan? Dan bukankah satu kebohongan akan selalu membutuhkan kebohongan lain untuk menutupinya?

Dan kebohongan, bagaimana pun juga, akan selalu terkuak seperti orang menyimpan bangkai. Dan di cerita ini, akulah yang menjadi bangkai pada akhirnya. Percayalah!

 

Jakarta, Januari 2021

 


Labels: , ,