Monday, July 30, 2007

Kota Tanpa Anjing

Benarkah taman firdaus diciptakan sedemikian sempurna? Jika demikian, rasanya kita tak perlu berpanjang-panjang bercerita tentang sebuah kampung kumuh di pinggiran kota besar. Sebab bagiku, kampung ini begitu sempurna. Kami bisa menjumpai aneka tanaman, sebut saja sebuah jenis tanaman langka, terkoleksi dengan baik di dalam sebuah buku - anak-anak sini menyebutnya buku, padahal yang dimaksud adalah lembaran herbarium - milik Pak Pandi, seorang pensiunan pegawai kebun kota. Sepulang sekolah, kami biasanya bermain di rumahnya untuk mendengarkan asal tanaman-tanaman itu. Kami senang sekali bisa tahu lebatnya hutan di Kalimantan dulu, juga hutan Amazon. Karena dari televisi, kami senantiasa dijejali dengan berita tentang kebakaran hutan. Pak Pandi adalah orang yang sering memberiku uang jajan. Kata Ibu, dia juga yang memberiku beasiswa agar tetap sekolah.

Jika kami ingin mengenal berjenis-jenis binatang, maka kami datang kepada Bung Akar, mantan demonstran 60-an yang tak pernah sukses untuk mempunyai jabatan politik pada satu partai pun. Andai kami ingin tahu bagaimana hidup seekor meerkat – kucing kecil padang gurun di Afrika, maka Bung Akar akan bercerita panjang lebar betapa rapuhnya sebuah organisasi. Ah, memang pintar sekali dia menggunakan imaji binatang untuk berkisah. Dia pula yang menjuluki kami, anak-anak kampung ini dengan berbagai nama binatang. Mastur yang tubuhnya ceking dipanggilnya Mastur Lemur, Lemur adalah binatang seperti kera namun mukanya mirip tupai itu pandai sekali menari. Lalu ada Gudil Jerapah, Roni Kuda Nil, dan Agus Zebra. Ah, ini yang lucu. Agus dinamakan Zebra karena dia sering sekali masuk angin, dan oleh ibunya dia sering dikerok. Lucu bukan? Aku sendiri dinamainya Ajak. Arman Ajak, itulah panggilanku. Ajak itu artinya serigala dalam bahasa Jawa. Tapi hingga kini, aku tidak tahu apa alasan Bung Akar menyebut aku demikian.

Suatu ketika Pak Lurah bertandang ke rumah Pak Pandi. Kebetulan kami sedang berada di sana. Tanpa sengaja kami mendengar sebuah rencana. Rencana yang jika terjadi, akan menghapuskan taman firdaus, kampung kami ini. Sebuah perusahaan kontraktor, yang dipimpin oleh saudara Pak Lurah ingin membangun perumahan modern yang cukup luas di pinggiran kota. Pak Pandi adalah cukup dihormati di kampung kami oleh sebab itu dia sering didatangi pejabat-pejabat RT, RW sampai utusan Walikota jika akan ada peninjauan kebersihan kota. Maklumlah kampung kami dianggap begitu kumuh.

“Oh, jadi begitu ya, Pak.”
“Ya. Rencananya seperti itu.” Pak Lurah memasang senyum sementara jidat Pak Pandi berkerut.
“Lalu, kami semua ini akan dikemanakan?”
“Ah. Begini. Ini jujur saja, ya,” bisik Pak Lurah.
Lalu segera menyambung sambil membuka map yang dibawanya.
“Proyek ini nilainya memang besar. Pak Pandi tahu sendiri bukan, bahwa harga bahan bangunan sekarang ini sangat tinggi. Maka dari itu, pesan dari Pak Camat, sesuai edaran dari Pak Walikota juga, diusahakan. Ini mohon pengertiannya. Agar biaya relokasi warga diminimalisir. Begitulah Pak Pandi.”
“Tapi Pak, sebagian besar rumah dan tanah di sini sudah bersertifikat?”
“Ya. Saya tahu. Saya ini ‘kan Lurahnya. Hehehe…” Pak Lurah tertawa.
Pak Pandi cuma bisa tersenyum nyinyir.
“Saya sudah menginventarisasi berapa kepala keluarga yang harus merelakan tanah dan rumahnya. Paling nanti saya kasih uang sekedarnya untuk kontrak,”lanjut Pak Lurah.
“Jika sudah benar-benar dipikirkan, saya rasa warga di sini juga tidak keberatan. Selama ini kami sudah diakrabkan dengan kekumuhan, jadi seandainya kami di relokasi ke tempat yang lebih baik tentunya kami tidak keberatan.”
Lagi-lagi Pak Lurah tertawa. Pak Pandi bingung sebab merasa tak ada kata-katanya yang lucu atau salah.
“Saya ini cuma bilang biaya relokasi, Pak Pandi. Soal mau pindah ke mana, saya tidak peduli.”
“Kalau begitu, ini seperti pengusiran Pak?”
“Hus, jangan ngawur! Saya tidak mengusir siapa pun. Hanya merelokasi saja.”
“Aduh, Pak?”

Lalu, fragmen singkat itu oleh kami segera masuk ke dalam telinga Bung Akar. Tentu saja, darah demonstrannya kembali menggelegak.
“Ini penghinaan atas hak asasi manusia! Kita hidup di kampung ini karena keadaan. Terpaksa. Dan kita semua telah menghidupi kota ini dengan keringat dan kerja keras kita. Ganti rugi adalah syarat utama! Jangan mau kita dianggap sebagai anjing buduk yang bisa diusir begitu saja!” Berapi-api sekali Bung Akar berorasi di depan pengunjung warung. Akhirnya ramai orang mendatangi rumah Pak Pandi memprotes rencana pembangunan itu.

Lantaran Bung Akar menyebutkan penghuni kampung kumuh ini seperti anjing buduk, maka rencana pembangunan perumahan itu disebut sebagai rencana pembangunan “Kota Tanpa Anjing”. Sebenarnya aku ingin ikut dalam aksi demo itu, namun tiba-tiba Ibu memanggilku.
“Man, jangan ikut-ikut. Bahaya!”
“Ah, Ibu. Arman hanya ingin melihat saja.”
“Pokoknya jangan. Ibu tidak mau engkau celaka.”
Aku hanya bisa memperlihatkan muka cemberut ketika berjalan ke arahnya. Ibu memasang senyum yang manis, mencoba menghiburku. Dia menyambut tubuh mungilku dengan dekapannya. Maka api yang tadinya membara dalam dadaku tiba-tiba padam seperti tersiram air dingin. Setiap pulang bermain aku mampir ke rumah sahabatku, Roni, untuk minta segelas air dingin. Kata orang, Roni menjadi gemuk seperti kuda nil gara-gara sering minum air dingin. Rasanya lega sekali jika meminum air dingin saat hari terik.

“Kau mau tahu kenapa Bung Akar memanggilmu Ajak?”
“Mau. Tapi, apakah ibu benar-benar tahu ceritanya?”
Ibu memainkan anak rambut di dahiku. Ada sebuah bekas luka bertengger di sana, meski tidak berbentuk petir seperti bekas luka Harry Potter, tapi cukup untuk kemudian, entah kapan saatnya, orang-orang akan memanggilku Arman Codet.

“Luka ini kau dapatkan waktu kamu masih bayi. Ada pertengkaran hebat di rumah kakekmu dulu.”
“Di manakah rumah kakek, Ibu?”
“Jauh dari sini. Dan sekarang Ibu, kau, maupun ayahmu tak boleh lagi ke sana.”
“Ayah? Aku punya ayah, Ibu? Di mana Ayah sekarang?”

Ibu menangis begitu saja. Sepasang airmata leleh di kedua pipinya.
“Waktu itu, Ibu masih remaja. Ibu tidak tahu apa yang Ibu telah lakukan dengan laki-laki itu. Kakekmu marah besar, karena Ibu sudah dijodohkan dengan seorang pegawai. Bahkan rencananya tak lama setelah Ibu selesai SMA, Ibu akan dinikahkan dengannya.”
“Katakan Ibu, siapakah Ayahku?”

Ibu menyusut airmata itu dengan lengan bajunya.
“Nenek minta agar aib itu tak terbongkar, Ibu buru-buru dinikahkan dengan laki-laki pilihan Kakek. Tapi akhirnya laki-laki itu tahu, hingga suatu ketika kau jadi pelampiasan kekasarannya. Itu lah asal muasal luka di dahimu, Nak.”
“Siapa Ayahku sebenarnya, Ibu?” Aku mulai tidak sabar.

Tapi Ibu tidak segera menjawab pertanyaanku, Ibu terus saja bercerita.
“Ibu lari dari laki-laki itu untuk mencari Ayahmu. Tapi Ayahmu terlalu sibuk dengan kegiatannya menentang para penguasa ketika itu. Ayahmu ditangkap dan di penjara. Akhirnya Ibu memutuskan untuk tinggal di sini.”
“Di mana Ayah sekarang Ibu?” Aku bertanya lagi.

“Laki-laki itu rupanya menyesal, dia mencari Ibu. Dia meminta maaf atas kekasarannya kepadamu, juga kepada Ibu. Ibu rasa, sebaiknya kau juga memaafkan dia, Nak. Sebenarnya dia laki-laki yang baik, hanya saja waktu itu, dia merasa dimanfaatkan dan ditipu oleh Kakek dan Nenekmu. Karena penyesalannya, dia pun tinggal tak jauh dari rumah ini. Dia juga membantu agar Ibu bisa tetap hidup dan kau bisa sekolah. Meskipun kini dia sudah pensiun.”

“Tapi dia bukan ayahku! Aku mau tahu siapa dan di mana ayahku!” Aku berteriak di pangkuan Ibu. Ibu memegangku erat-erat. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara ramai orang gegap. Tidak berapa lama, terlihat kobaran api dan asap hitam. Sirene mobil polisi pun segera terdengar. Orang-orang berlarian. Mirip tikus di selokan.

Ibu ketakutan, aku juga. Kami tak melepas pelukan. Ibu menutup pintu rapat-rapat. Kuatir akan datang seseorang tak dikenal atau polisi yang merangsek mencari tersangka pembakar kampung ini. Kami mulai menangis bersama. Dalam tangis, masih saja aku didera rasa penasaran.
“Jadi siapakah ayahku, Ibu? Di manakah dia?”
Ibu menyeka air mata yang mengalir di pipiku sebelum menyeka miliknya sendiri.
“Karena dulu, waktu dilukai laki-laki suami Ibu itu, kau tak menangis, maka ayahmu menjulukimu Ajak, Serigala kecil.”

Juli, 2007.

Tuesday, July 17, 2007

Lelaki yang Memilih Mati di Atas Perut Seorang Pelacur

Sebagaimana bau sampah, kisah tragis yang terjadi pada sebuah kamar hotel murahan itu pun cepat sekali berpindah telinga. Lalu tiba-tiba saja, seluruh kota sudah hafal jalan ceritanya. Sebuah peristiwa biasa kurasa. Seorang lelaki tua, dilaporkan oleh teman kencannya - seorang wanita panggilan, tewas ketika sedang berhubungan badan dengannya. Dan seperti biasanya pula, kita hanya menyoroti soal moral, yang mana adalah kelakuan bejat seorang lelaki tua yang doyan melakukan hubungan badan dengan pelacur, juga tentang obat kuat yang berbahaya. Tidak lebih dari itu.

Lalu suatu hari, aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang bekerja dengan tubuhnya. Lebih tepatnya alat kelaminnya. Dia tetanggaku. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kontrakanku. Saat peristiwa itu terjadi, perempuan yang sekarang sedang duduk di depanku, tidak pulang seharian. Kami yang berada satu lingkungan RT tahu bahwa dialah perempuan yang di atas perutnya kemarin malam ada lelaki tua yang terjemput maut. Setelah peristiwa itu, ramai orang berbisik-bisik jika bertemu dengannya.


“Ih, tidak terbayang aku bercinta dengan seorang kakek yang sudah bau tanah,” celoteh seseorang yang melintas di depan teras rumah. Yang di sampingnya bercakap pelan,”Bagaimana lagi? Saya hanya perlu uangnya.” Dan keduanya tertawa terkikik sambil melirik ke arah perempuan yang duduk di depanku. Aku duduk di hadapannya dengan kikuk. Sebab jika aku tersenyum, aku kuatir perempuan itu mengira aku ikut menertawai dirinya.


“Jadi bagaimana, Mbak?” Kembali aku menanyakan kepadanya soal bantuan yang hendak diterima olehnya sebagai warga kota yang tergolong miskin.

“Saya ini masih mampu bekerja, Mas. Coret saja nama saya dari daftar Mas itu,” kata-katanya terdengar agak ketus.

“Besar bantuan ini cukup layak lho, Mbak. Coba Mbak pikirkan sekali lagi.”

Uang sebanyak tiga ratus ribu sebulan memang tidak cukup untuk hidup di kota besar, tapi jika hanya untuk seorang diri saja masih layak lah. Apalagi rumah sudah punya dan masih bekerja juga. Tapi entah kenapa sepertinya dia sangat berat untuk mengiyakannya.

“Sekarang ini, mana ada yang menampik bantuan, Mbak. Ini bantuan dari yayasan tempat saya bekerja. Tidak ada imbalan atau manfaat apa pun yang hendak saya dapatkan dari pemberian bantuan ini.” Aku masih berusaha meyakinkan kepadanya akan niatan baik ini.

Dia hanya tersenyum. Senyuman yang manis. Pantas saja jika banyak lelaki yang terpikat kepadanya. Tiba-tiba aku teringat tentang lelaki yang tewas di atas perutnya itu. Bagaimana ceritanya mereka bisa bertemu? Perempuan ini berdiri di tengah jalan dan melambai ke arah mobil lelaki itu, atau lelaki itu sengaja keluar dari rumahnya untuk mencari perempuan seperti dia? Aku pun mendatanginya sekarang meskipun bukan untuk menggunakan jasanya. Aku tak habis pikir bagaimana pelacuran bisa dikategorikan pekerjaan jasa padahal yang terjadi adalah penghambaan manusia akan uang dan nafsu. Sok moralis! Demikian tuduhan temanku ketika aku menolak terlibat korupsi di kantor. Demikian pula saat aku menolak ikut serta ke sebuah ruang karaoke yang sudah berisi beberapa perempuan setengah telanjang. Aku terlalu takut melakukan hal yang menurutku sendiri tidak pantas kulakukan. Dosa? Aku tidak berpikir sejauh itu. Begini, untuk soal korupsi, aku merasa tidak pantas melakukan karena dulu waktu diterima bekerja di yayasan ini gajiku sudah ditentukan. Apabila aku melakukan korupsi maka aku akan mendapatkan uang yang lebih banyak dari gajiku. Sementara aku tidak bekerja lebih keras ataupun lembur. Lebih-lebih soal perempuan. Aku belum menikah, makanya aku merasa tidak pantas melakukan hal yang seharusnya kulakukan dengan istriku sendiri. Jadi bukan karena aku merasa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh teman-temanku itu sebagai dosa.


Dia masih tersenyum. Matanya menatap ke arah map yang aku letakkan di atas meja, penghalang antara aku dan dia, di teras ini.

“Bagaimana ya?” Dia bertanya sendiri, lalu melanjutkan bicara,”Biasanya lelaki datang kepadaku dengan berbagai alasan tetapi pada akhirnya mereka pasti minta imbalan.”

Setetes keringatku jatuh. Sejak awal menginjakkan kaki ke rumahnya, aku sudah menduga bahwa tuduhan seperti ini pasti akan terlontar olehnya. Aku pun tersenyum.

“Maaf. Jika terpaksa saya katakan tuduhan Mbak sama sekali salah. Saya tidak pernah menginginkan apapun dari Mbak,”tandasku.

“Dia juga pertama bilang seperti itu.”

“Dia? Dia siapa?”

“Laki-laki tua yang tewas di atas tubuhku,” lalu dua buah titik air matanya mengembang di pelupuk mata sebelum akhirnya luruh menjalur di kedua pipinya.


Aku terdiam. Dari mulutku ingin terucap kata-kata aku beda dengan laki-laki itu, atau tidak semua laki-laki yang berbuat baik menginginkan sesuatu dari seorang perempuan. Tapi semuanya itu tertahan. Percuma ada pembelaan diri. Biarlah dia puas menumpahkan cengkunek di hatinya. Siapa tahu dari ceritanya aku mendapat ide naskah drama.


“Memang apa yang dijanjikan kepadamu?” Akhirnya aku ber-aku kamu kepadanya untuk menghilangkan kesenjangan di antara kami.

“Tidak. Dia tidak menjanjikan apa-apa. Dia cuma berkeluh tentang hidupnya.”

“Bukankah itu sudah biasa? Lelaki mengeluhkan tentang kehidupannya, terutama kehidupan cintanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan.”

“Tidak. Tidak. Ini berbeda,” kedua belah telapak tangannya ditutupkan ke wajahnya. Rupanya dia masih trauma dengan kejadian itu.

“Dia bercerita tentang anjing, pelacur, dan surga.”

“Sepertinya aku pernah mendengar cerita itu,” kataku.

“Tentang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing?” Dia bertanya.

“Ya. Benar. Cerita itu.”

Kali ini dia benar-benar menangis dan berkata,”Coba kau ceritakan kisah itu kepadaku.”


Sebenarnya, aku tidak begitu ingat cerita itu. Yang aku tahu, suatu ketika di sebuah daerah yang gersang ada seorang pelacur yang sangat kehausan. Dia berjalan jauh untuk mencari perigi. Lalu ketika dia hendak minum, tampak olehnya seekor anjing yang hampir mati kehausan. Pelacur itu berbaik hati, dengan tangannya dia memberikan air untuk anjing itu minum. Keduanya, setelah puas minum, tanpa sebab yang jelas menemui ajalnya. Ternyata karena kebaikannya memberi minum kepada anjing sekarat, pelacur itu masuk surga.


Kudengar dia terisak.

“Apa yang salah?”

“Tidak. Tidak ada. Kau pun tahu cerita itu, Mas. Aku senang sekali mendengar akhirnya. Pelacur itu masuk surga. Itu impian saya, Mas.”

“Lantas, apa hubungannya antara cerita itu dengan lelaki tua itu?” Selidikku.

“Dia bilang, dia adalah anjing yang sedang sekarat itu. Anjing yang sangat kehausan. Dan aku, katanya, adalah pelacur yang di tangannya ada segenggam air. Lalu dia ”

“Dengan cerita seperti itu, kamu percaya begitu saja kepadanya?”

“Bukan. Bukan seperti itu. Hanya dialah lelaki yang menjanjikan surga kepadaku. Makanya malam itu, aku ingin sekali memuaskannya. Dan dia setuju. Kami sama-sama ingin masuk surga.”

Aku tersenyum. Betapa bodohnya perempuan ini. Betapa rapuhnya dia akan janji surga seorang lelaki. Aku ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan karena hal itu bisa merusak suasana.


“Bukankah kamu memang selalu menjanjikan surga kenikmatan kepada semua laki-laki?” Terpaksa aku bertanya sedikit ketus kepadanya, sebab semua yang dia ceritakan benar-benar tidak masuk akal bagiku.


“Kamu salah menilai! Kemarin malam itu, pada telapak tanganku benar-benar muncul segenggam air. Namun lelaki tua itu ternyata bukan seekor anjing yang kehausan. Dia telah menipu aku.”


Aku mulai menganggap perempuan itu sedikit terganggu pikirannya karena cerita pelacur dan anjing itu. Namun perempuan ini rupanya masih ingin berkutat dengan cerita itu. “Ternyata ceritanya tentang surga itu benar, Mas.”

“Surga? Apakah kau sudah melihat surga?”

“Ya. Pada saat itu aku melihat langit-langit kamar terbuka. Ada tangga dari emas menjuntai. Aku dan lelaki itu sama-sama melihat ke atas. Pintu surga dari emas juga terbuka. Ada taman yang sangat indah.”

“Lalu apa yang terjadi?”

Aku sudah tak tahan mendengar kebohongan seperti ini. Yang mengejutkan, dia menatapku dengan mata yang berbinar. Ada apakah gerangan?


“Mas, aku tidak butuh bantuanmu. Uang dari yayasan itu sama sekali tidak menarik bagiku. Tetapi jika boleh, aku ingin minta tolong sekali ini saja.”

“Apa itu?” Tanyaku curiga. Jangan-jangan dia mulai menganggapku sama seperti lelaki tua itu, sebagai anjing yang kehausan yang bisa mengantarnya masuk surga.

“Carikanlah untukku seekor anjing yang sekarat karena kehausan.”

Jakarta, 16 Juli 2007

Monday, July 16, 2007

Akhirnya Dia Membuka Resleting Celananya

Dari sebuah monitor, diperhatikannya dengan seksama tingkah laku anjing liar itu. Anjing yang sedang berlari-lari di trotoar lalu berhenti sebentar di dekat tong sampah. Rupanya ia mengendus sesuatu. Mungkin ada bau yang sangat menyengat atau menarik perhatiannya. Setelah tahu bentuknya dan menurutnya tidak menarik atau sesuatu yang ditemukan itu tidak bisa dimakan, ia berlalu kembali.

Dia menunggu anjing liar itu berhenti tepat di depan rumahnya. Di tangannya tergenggam erat sebuah tongkat. Niatnya sudah bulat jika, sesuai dugaannya, anjing liar itu yang berak di pintu pagar, maka dia tidak segan memukuli anjing liar itu sampai mati. Entah kali yang ke berapa dia menerima keluhan dari tetamu mengenai adanya tahi pada jalan masuk ke arah rumahnya. Dia merasa tersinggung dikatakan tidak dapat menjaga kebersihan tempat tinggalnya. Padahal sudah banyak hal yang dia lakukan untuk memperindah istana kecilnya itu. Mulai dari pembuatan taman yang menghabiskan seluruh hadiah seorang kolega yang diloloskan dalam tender pembuatan jalan, sampai kepada pemberian lampu hias di pagar yang nilainya berpuluh-puluh juta. Semuanya ditujukan agar tetamunya mau dating dan betah berlama-lama di rumahnya.

Oh, kenapa dia tidak percaya kepada petugas keamanan rumah? Biasanya beberapa saat sebelum fajar, petugas keamanan selalu tertidur. Sudah pagi, pikir mereka, siapa yang mau berbuat jahat pagi hari? Sudah dua orang petugas keamanannya dia pecat. Selain dia memang tidak suka pegawai yang tidak disiplin terlebih keduanya sama sekali tidak tahu seperti apa anjing yang suka seenaknya berak di depan pintu pagar. Sekarang dia lebih percaya kepada sebuah kamera di atas tiang telepon yang terhubung dengan kamarnya dan alarm yang dipasang di engsel pintu pagarnya. Jadi setiap ada sedikit saja gerakan yang membuat pintunya bergerak, ada lampu berkedap-kedip merah yang akan memaksa dirinya memeriksa dan memelototi apa yang terjadi di depan pintu pagarnya.

Alarm itu bekerja dengan baik. Suatu malam dia berhasil mengusir gelandangan yang mengantuk ketika mencoba tidur bersandar di pintu pagarnya. Pun kameranya itu sudah terbukti ampuh. Pernah diperintahnya para pembantu untuk berjaga dengan air seember karena dia melihat ada dua ekor kucing jantan sedang menuju pintu pagarnya. Dia tahu jika dua kucing jantan bertemu, pasti ada perkelahian. Dan yang pasti, jika kucing berkelahi itu bisa menimbulkan suara berisik, bulu-bulu yang rontok, dan kucing yang kalah akan terberak-berak karena kena hajar. Dia tidak mau hal seperti itu terjadi di rumahnya, meskipun hanya di halaman.

Anjing itu tampak mendekat. Dia mengendap-endap bangkit dari kursi di mana dia memonitor seluruh gerakan si anjing. Dilewatinya dengan hati-hati ranjang, dia tak mau mengganggu istrinya yang sedang tertidur pulas lantaran tersenggol ujung kakinya atau sekedar tertarik sedikit sepreinya. Ah, sudah lama dia tidak bercinta dengan istrinya. Semenjak dia sibuk mencari tahu apa yang terjadi pada bagian luar pintu pagarnya sendiri. Dia lebih memilih pencarian anjing yang berak di depan pintu pagar sebagai rahasia yang harus diungkap dibandingkan dengan kekurangharmonisan rumah tangganya sendiri. Sudah berulang istrinya mengeluh bahwa dirinya kurang perhatian terhadap perkembangan anak bungsunya yang baru masuk sekolah dasar, juga soal kegiatan keluarga yang sudah jarang dihadirinya. Setelah pintu kamar tertutup kembali, dia berlari.

Sekarang dia sudah berada di belakang pintu pagar sementara dia mendengar suara anjing liar itu semakin jelas. Dia mendengar dengus nafas yang teramat keras. Seperti dengus nafasnya sendiri sehabis menuruni anak tangga dan berlari kecil melintasi halaman untuk sampai di belakang pintu pagar ini. Dari celah bilah papan penutup pintu pagar, matanya menangkap mata anjing itu juga sedang melihat ke arah dirinya. Seekor anjing yang besar.

Tongkat kayu di tangannya terasa basah oleh keringatnya. Dia memejamkan mata, membulatkan tekad dan pikirannya untuk segera membuka pintu pagar lalu memukuli anjing liar itu habis-habisan. Tapi suara dengus nafas anjing itu tiba-tiba hilang. Lagi dia mengintip dari balik celah papan pintu pagar. Astaga! Anjing itu masih ada. Matanya sedang menatap dirinya. Mata bertemu mata. Dia semakin cemas.

Dia mulai berpikir anjing itu sudah tahu bahwa dirinya sering diintip olehnya. Dan mungkin anjing itu juga tahu bahwa hari ini dia sedang diincar untuk dipukuli habis-habisan. Matanya masih melihat lurus ke arah mata anjing itu. Anjing itu diam saja dalam posisi duduk. Baru kali ini dia melihat dengan jelas bagaimana rupa anjing yang dia sangka selalu berak di pintu pagarnya. Anjing itu jenis anjing kampung biasa. Bulunya tipis berwarna cokelat terang. Ekornya melengkung lancip. Meskipun ukurannya lebih besar dari anjing kampung lain namun tetap kurus. Perutnya sedikit buncit. Terlalu banyak sisa makanan dari tempat sampah dilahapnya atau (paling-paling) cacingan!

Namun anjing itu tidak bergerak sama sekali. Dia tidak punya bukti kuat untuk menuduh anjing itu sebagai anjing yang telah kurang ajar berulang berak di depan pintu pagarnya. Tapi keyakinan sudah tak terbantahkan. Dia sudah memonitor anjing itu berhari-hari. Persoalannya adalah bagaimana jika ada orang lewat yang melihat dia memukuli anjing tanpa alasan? Mungkin dia akan disangkanya sebagai seorang gila, atau bahkan psikopat!

Aduh, jangan sampai ini terjadi. Ataukah sebaiknya aku bangunkan petugas jaga yang pemalas untuk menangkap, membawanya ke dalam, lalu menghabisinya di halaman? Tidak. Nanti anakku melihatnya, dia bisa shock! Dahinya berkerut-kerut.

Memang, belum pernah dia merencanakan sebuah pembunuhan. Kalau merancang agar dia mendapatkan sisa dari uang proyek, baru dia jagonya. Pembunuhan yang baik adalah punya motif pembelaan diri, atau tidak ada saksi sama sekali. Jika terpaksa ada saksi, haruslah saksi yang menguatkan bahwa dia tidak merencanakan pembunuhan itu, saksi yang mengatakan memang telah terjadi sesuatu kejahatan yang mengancam nyawanya hingga dia membela diri, atau semuanya benar-benar sesuatu yang bersifat kecelakaan. Tapi tak ada yang bisa membantah betapa bencinya dia terhadap anjing yang suka berak di depan pintu pagarnya. Semua teman, kolega, keluarga, bahkan pegawai-pegawainya tahu jika dia memang sedang mengincar kematian seekor anjing.

Ya, harus ada alasan kuat. Tapi apakah itu? Sesuatu harus terjadi agar anjing itu layak dia bunuh dengan tangannya sendiri. Bukan semata-mata karena anjing itu berak di depan pagar. Perlahan dikeluarkannya anak kunci untuk melepas gembok pada gerendel pintu pagar. Matanya masih mengintip celah pintu pagar, mengawasi setiap gerakan anjing itu.

Pintu pagar terbuka, anjing itu masih tak bergerak sedikit pun. Sama sekali tak ada alasan baginya untuk melakukan pemukulan terhadap anjing itu. Bagaimana jika sekedar dihalau? Ya. Bagaimana? Tapi besok pagi pasti dia datang lagi. Dia yakin sekali. Sebab sudah berkali-kali petugas keamanannya mengusirnya tetapi anjing itu tetap datang kembali untuk meninggalkan setumpuk beraknya di depan pintu pagar.

Sekarang dia dan anjing itu berhadapan. Hampir tak ada jarak di antara keduanya. Anjing itu masih menatap ke matanya. Dia pun tak melepaskan sedikit juga perhatian dari gerak-gerik anjing itu. Dia memainkan tongkat, anjing menggerakkan ekor. Dia menyeringai, anjing itu menggeram. Keduanya saling mengancam.

“Ini rumahku! Pintu pagarku!” Teriaknya dalam hati. Dia mengira anjing itu pun berteriak, “Ini jambanku! Ruang renungku!” Ah, ruang renung! Dia berpikir anjing itu seperti seorang seniman yang membutuhkan sebuah ruangan khusus, waktu khusus untuk menunggu datangnya ide. Menggelikan, bisiknya.

Bagaimanapun, harus ada gerakan dari dia untuk lebih mengancam si anjing. Dia mengangkat tangan. Anjing itu merendahkan pundaknya. Sikap siap menerkam. Bagus, bagus. Akhirnya dia punya alasan untuk membunuh. Dia menurunkan tangannya dengan cepat, anjing itu dengan cepat pula memundurkan badannya. Dia kecewa. Dia harus merangsang anjing itu untuk menyerangnya. Harus!

Setiap pagi, ada mekanisme tubuh yang lucu pada diri seorang laki-laki. Penis akan menegang ketika udara pagi menjelang dan gerakannya tidak pernah dia pikirkan. Sekarang dia punya alasan untuk merangsang anjing itu menyerang! Dia pernah melihat dari kamera anjing itu lahap sekali mengunyah sepotong sosis. Dia tersenyum walaupun sekelebat dia membayangkan suatu peristiwa yang teramat tragis menimpanya. Tapi ini harus dilakukan! Setidaknya dicobanya. Apakah dia sudah kehilangan akal sehat? Entahlah. Yang terakhir aku lihat saat bersepeda pagi, akhirnya dia membuka resleting celananya.

Jakarta, 16 Juli 2007.

Thursday, July 12, 2007

Ada Bibir Norah Jones di Cangkir Kopiku

Saat kulihat hari berganti, kuberharap dapat terbang tinggi¹

Jam mungil di lingkar lenganku menunjukkan pukul 17.30. Dan lamat-lamat kudengar alunan lagu “Don’t Know Why” yang dibawakan Norah Jones dalam sebuah kotaklagu yang dimainkan seseorang. Sore yang cerah, bisikku pada jendela kafe tempatku bekerja. Mudah-mudahan akan tetap cerah sampai malam nanti. Cuaca saat ini sangat tak mudah ditebak. Sebentar panas, sebentar hujan. Dua hari yang lalu, aku merasa sedang diberkati.sebab saat pulang kerja kemarin dihadiahi hujan yang begitu deras mengguyur. Dan karena hujan itu, aku bertemu dengannya.

Dia mengaku dirinya sebagai penulis. Pekerjaan yang sulit kataku, tetapi dia bilang sebaliknya, pekerjaanku sebagai pelayan justru pekerjaan yang mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Contohnya adalah soal sebuah senyuman.

“Bagaimana bisa kamu memasang senyuman di bibirmu padahal mungkin dalam hatimu sedang gelisah atau marah?”

Ah, dasar penulis. Bisa saja dia membuat perkataan seperti itu. Tapi dia mungkin lupa bahwa aku adalah pelayan yang setiap hari berhadapan dengan pelanggan atau tamu yang macam-macam maunya. Jadi aku harus bisa menahan perasaanku atas segala bentuk rayuan. Sekedar menjaga diri. Maklumlah hidup di kota besar harus pandai-pandai menahan diri dari godaan. Banyak predikat mudah ditempelkan kepada pekerja perempuan, terutama yang pulang tengah malam sepertiku.

Kami berdiri di teras kafe. Sebenarnya, aku bisa saja masuk kembali ke dalam tetapi entah karena sudah merasa bosan dengan suasananya atau memang kali ini aku ingin melihat butiran-butiran air yang turun dari langit maka aku tidak melakukannya. Namun bukan maksudku untuk menemani dia yang entah sejak kapan berdiri di teras kafe ini.

“Anda menulis puisi juga?” Aku sama sekali tidak ingin melanjutkan pembicaraan dari sudut pertanyaannya tadi. Aku hanya berpikir jika dia mampu membuat kalimat yang seperti tadi semestinya dia bisa menulis puisi.

“Penyair, maksudmu?” Dia balik bertanya. Sesekali dia menghembuskan asap rokok dari bibirnya. Aku teringat ketika sepupuku menikah, keluarganya menyewa seorang pawang hujan. Agar tidak turun hujan pawang hujan selalu merokok dan menghembuskan asap rokoknya ke langit. Tanpa sadar, aku menutup hidungku. Dan mungkin dia segera maklum hingga pada kali selanjutnya dia tak menghembuskan asap rokok ke arahku.

“Aku tidak tahu bedanya penyair dan penulis puisi. Tapi apakah anda menulis puisi juga?”

“Tidak. Penyair dan penulis puisi tidak ada bedanya. Aku tidak menulis puisi.”

“Tapi anda bisa membuat kalimat yang indah tadi,” sergahku.

“Puisi tidak sekedar berbahasa indah,” dia berhenti bicara sebentar dan membuat gerakan tangan yang aku tangkap sepertinya dia sedang ingin menanyakan namaku.

“Indah,” sahutku datar.

Dia tersenyum dan mengulurkan tangan hendak menjabat tanganku. Padahal kedua tanganku sedang kupergunakan mendekap lenganku yang mulai kedinginan. Mulutnya nyaris terbuka namun aku segera berkata yang sekiranya dapat mengatupkan kembali kedua bibirnya.

“Jangan bilang kalau namanya seindah orangnya, ya?”

Dia tersenyum lebar. Geliginya tampak berderet putih ditimpa sinar lampu papan iklan. Lalu senyumnya pun berubah menjadi sebuah derai tawa panjang. Menghangatkan suasana malam.

“Hampir saja saya bilang begitu, tetapi sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa namamu sederhana namun punya makna yang kuat.” Matanya seperti punya daya hentak di dadaku. Sorot matanya berbinar setiap dia mengucapkan kata. Dan jantung di dadaku berdetak lebih kencang setiap kulihat matanya. Hingga rasanya lebih baik aku segera melompat melintasi langit dan hujan dan meninggalkan dirinya sendiri di teras kafe ini.

Biarkan aku bersimpuh di pasir, menangkup tangisan dengan tangan²

Dia menghisap rokoknya kembali sebelum terbatuk dan membuang puntungnya secara sembarangan ke tengah badan jalan yang basah oleh genangan air hujan. Dari saku jaketnya, dikeluarkan selembar saputangan. Ada selembar foto yang terjatuh berbarengan dengan tercabutnya saputangan itu. Aku berusaha membantu menangkapnya tetapi kalah sigap dengan tangannya. Yang mengherankan dia langsung menyerahkan foto itu di telapak tanganku yang tadi gagal menangkapnya.

“Tak ada rahasia. Ini foto kekasihku.” Sebelum aku sempat memandangi wajah di dalam lembaran foto itu, dia meralat ucapannya. “Mantan.”

Hanya ada “o” panjang keluar dari antara kedua bibirku sambil aku menajamkan pandangan agar wajah di dalam foto itu terlihat jelas dalam suasana malam berhujan.

“Cantik. Kenapa putus?”

Aku bertanya asal saja.

Karena tak ada jawaban maka kuulangi lagi.

“Dia memutuskan ikatan?”

Masih diam.

“Atau…”

Waktu kulirik dia masih menutup mulutnya dengan saputangan. Mungkin karena parah sakit batuknya, ada dahak bernoda darah di dalam lipatan saputangannya. Dan dia tak mau orang lain tahu. Termasuk mantan kekasihnya.

“Sudah berobat?” Aku kembali memberanikan diri bertanya kepadanya. Dia hanya mengangguk. Punggungnya ikut bergerak. Tak lama kemudian dia melipat saputangannya dan memasukkan kembali ke saku jaketnya.

“Mana?” Tangannya diulur meminta kembali foto yang tadi diberikan kepadaku.

“Kau masih mau mengenangnya?” Kuulurkan juga foto tadi. Sebenarnya aku ragu untuk bersinggungan dengan tangannya mengingat soal batuk tadi. Akibatnya tanganku sedikit gemetar.

“Aku ingin menjawab satu persatu pertanyaanmu.”

Aku hanya menghela nafas panjang. Sepertinya malam akan semakin panjang bagi kami di teras kafe ini. Apalagi hujan belum kunjung reda.


Tetapi kau tetap di dalam hatiku, selamanya³

“Dia tak pernah ada untukku,” ujarnya kembali memulai pembicaraan yang terhenti.

“Apakah itu bukan alasanmu saja?”

“Kami dulu satu jurusan di sebuah fakultas dan saling mencintai. Aku menulis sedangkan dia aktif di pementasan drama. Kami banyak diskusi tentang apa saja setiap bertemu. Dia seorang wanita yang cerdas, semakin hari semakin kagum aku padanya. Hingga akhirnya setelah lulus kuliah aku masih menulis sedangkan dia selain menjadi juru bicara sebuah organisasi juga menjabat PR sebuah perusahaan.”

“Jadi dia meninggalkanmu?”

Kali ini dia yang menghela nafas panjang. Merogoh kembali saku tempat dia menyimpan foto tadi, mengeluarkan kembali foto itu dan tanpa dilihatnya diremasnya menjadi sebuah bola kertas.

“Tidak, aku yang meninggalkannya,” dia berkata sedikit teriak sambil melemparkan jauh-jauh bola kertas dari tangannya.

“Aku tidak mengerti,” aku berkata datar sebagaimana aku juga tidak mengerti kenapa harus ada pembicaraan seperti ini.

“Aku merasa dia sudah menjauh dariku. Di pikirannya tak ada lagi aku. Tak ada lagi waktu untuk bisa berdiskusi panjang dengannya lagi. Dan dia pun sama sepertimu tadi waktu kamu bertanya – Sudah berobat? – dia sudah bukan lagi dia yang kukenal dulu. Lalu terpikir begitu saja, aku harus memutuskan menjauh darinya.”

“Apakah kau yakin dia sudah melupakanmu?”

“Entahlah, tapi aku yang merasa sudah hampir bisa melupakannya.”

Hujan sudah reda. Dia merapatkan jaketnya dan sepertinya bersiap melangkah. Aku pun melakukan hal yang sama, merapatkan peluk jaket di badanku. Yang aku heran, dia sepertinya tak lagi memperdulikan keberadaanku, langsung melangkah menerjang sisa gerimis.

“Hei! Siapa namamu?” Aku berteriak antara sebal melihat tingkahnya itu dan penasaran.

Dia berbalik dan menatapku. Kurasakan pandangan matanya kembali membuat irama hentakan di dalam dadaku.

“Besok sore, menjelang matahari tenggelam, aku akan datang ke kafe-mu,” di bibirnya terulas satu senyuman manis. Entah apa maksud senyum itu.

Itulah sebabnya sekarang aku memandangi jalanan dari jendela kafe. Mengharapkan seseorang, dengan seulas senyum yang penuh arti dan sorot mata yang menghentak di dadaku, datang kembali.


Jakarta, Juli 2007.

¹-²-³ = Terjemahan bebas dari petikan lirik “Don’t Know Why – Norah Jones

Friday, July 06, 2007

SEEKOR ANJING BERNAMA TOM

“Kamu suka dia?”

Aku tak segera menjawab pertanyaan dari teman lama ibuku. Kulihat lagi binatang kecil yang sekarang dalam pelukan kedua lenganku. Air mukanya tampak gembira. Ada dua buah bulatan coklat muda di atas sepasang matanya. Sangat kontras dengan warna bulu di sekujur tubuhnya yang didominasi oleh warna hitam. Seperti ada sepasang mata yang lain di atas sepasang mata yang sebenarnya. Orang menyebutnya sebagai ‘mata setan’.

Konon, seekor anjing yang memiliki tanda ‘mata setan’ ini mempunyai naluri yang lebih ganas dibanding anjing lainnya. Tapi aku tak percaya hal seperti itu. Aku menyukainya karena dia bersikap lebih terbuka terhadap aku dibandingkan kedua “saudara”-nya. Dia lebih bersahabat. Dan aku tahu, jika anjing sudah memulai sikap bersahabat dia sudah menganggap kita sebagai teman dan majikan yang baik. Ya, tentu saja aku menyukainya.

Setelah pertemuan pada sebuah sore dengan teman lama ibuku, kini aku mempunyai seekor anjing yang kuberi nama Tom.

+++

“Kamu suka dia?”

Aku tidak mendengar apapun dari celah bibirnya yang terbuka. Matanya masih memandang ke arah Tom yang bermain mengejar dan menabrak segala sesuatu di halaman. Tom sedang bergairah dengan naluri liarnya.

Dia menoleh ke arahku. Lalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang mengalir lancar dari bibirnya, “Apakah kamu tidak pernah mendengar tentang toxoplasma?”

Hei, apa maksud dari pertanyaannya itu? Apakah ini memang berarti dia begitu sayang dan perhatian kepadaku? Atau dia memang tidak suka dengan Tom, anjingku? Dengan ragu-ragu aku membalas pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan lain, “Ya. Aku tahu. Apakah pertanyaanmu ini berarti kau mengkhawatirkan aku?” Sementara di dadaku, aku bersiap untuk mendengar beberapa buah alasan, selain toxoplasma tadi, kenapa dia tidak menginginkan Tom di sekitarku setiap hari.

Dia hanya tersenyum, mengulur tangannya untuk kemudian meletakkan kedua belah telapak tanganku menangkup di dalam sepasang telapak tangannya. Ada rasa hangat tercipta dari peristiwa itu dan menjalar hingga hatiku. Walau demikian aku masih harus waspada pada keputusannya. Konon, lelaki akan lebih banyak menampakkan sifat egoisnya pada saat menjelang hari pernikahan.

Aku dan lelaki yang tengah menggenggam tanganku sudah merencanakan sebuah pernikahan. Bahkan kami sudah membicarakan siapa yang akan pindah sebab aku sudah punya rumah mungil dengan halaman yang cukup luas, sedangkan dia sudah punya sebuah apartemen. Sasongko, meskipun dia cukup mapan, ternyata mau berpikiran lebih terbuka untuk menyewakan apartemennya dan pindah ke rumah mungilku nanti jika kami menikah. Alasannya, dia ingin suasana yang lebih seperti masa kecilnya dulu. Rumah mungil, yang merupakan dunia kecilku selama ini, akan mengabadikan kekasihku dalam setiap jengkal ruangnya nanti.

“Aku alergi,” bisiknya di dekat lubang telingaku.

+++

Siapa bilang hanya laki-laki yang punya anak kecil di dalam dirinya? Menikah bagi perempuan seperti aku seperti mengekang beberapa keceriaan yang dulu sering aku bebaskan. Dulu, Tom tidak ambil peduli dengan aku yang mondar mandir hanya mengenakan sehelai daster di seluruh ruangan rumah, tapi kini Sasongko selalu mempermasalahkan penampilanku.

Tapi yang lebih sedih, sebenarnya, Sasongko berhasil menjauhkan Tom dariku. Sebenarnya ada rahasia yang Sasongko tidak tahu soal Tom. Hal ini dikarenakan sebagai seorang yang merantau semenjak remaja, tercabut dari akar lingkungan keluarga dan pertemanan masa kanak-kanak, aku kehilangan banyak sekali teman yang bisa kuajak bicara soal-soal pribadi. Di kantor, aku lebih suka menumpahkan segala uneg-uneg dengan menulis pada sebuah blog di dunia maya. Aku malas menulis pada sebuah buku harian. Terlalu kekanakan, kupikir. Aku sangat beruntung mempunyai Tom. Sambil berbaring di depan televisi dan memainkan kakiku pada tubuh Tom yang tergeletak di lantai, aku bisa menceritakan apa saja. Termasuk soal Sasongko. Tom, tentu saja karena dia seekor anjing, tidak akan berlebihan bereaksi terhadap nada bicaraku. Kecuali aku sudah bertingkah tidak wajar, seperti menghamburkan ‘snack’ yang sedang kukudap atau melemparkan majalah yang sedang kubaca ke sudut ruang. Tom hanya menyalak beberapa kali, lalu terdiam lagi.

Katanya menikah harus benar-benar berbagi dengan suami, segala sesuatu yang kita rasakan. Tetapi rasanya tidak bisa begitu juga. Belum sempat aku bercerita, Sasongko sudah meminta dibuatkan segelas kopi, atau ketika dia sedang berhasrat kepadaku tak ada sesuatu pun yang bisa aku ceritakan kepadanya. Bercinta memang bisa melepaskan ketegangan, tetapi kadang aku merasa itu tidak melulu sebagai cara yang kuinginkan. Sasongko lebih sering bercerita ini dan itu kepadaku tanpa memperhatikan aku sedang melakukan sesuatu. Dan dia melakukan itu seakan-akan tidak menggangguku. Jika sudah begini, yang kulakukan adalah membuka pintu belakang dan memandang ke arah kandang Tom.

“Jangan mendekatinya lagi Ren,” cegah Sasongko.
“Ya, aku tahu kamu alergi. Aku cuma merasa kangen saja sama dia,” dengan enggan aku menoleh ke arahnya yang kupunggungi di meja makan.
“Bukan hanya itu, tapi…”
“Ya, toxoplasma juga,” buru-buru aku memotongnya. Lalu memandangi perutku yang masih tetap langsing. Padahal ini sudah bulan ke sepuluh sejak kami menikah. Sasongko pernah menyuruhku untuk memeriksakan diri. Tepatnya termasuk dirinya juga, protesku waktu itu. Aku tak mau menjadi pihak yang lemah dan tertuduh pada satu kesempatan. Aku sangat yakin bahwa Tom itu “bersih”. Memandikan, memangkas bulu-bulunya di salon hewan, serta mengajaknya ke dokter hewan adalah kesenangan yang sengaja aku siapkan untuk melepaskan kepenatan bekerja di awal bulan. Dan itu memang benar-benar menyenangkan bagiku. Aku pikir Sasongko tidak pernah merasakannya. Sasongko banyak disibukkan dengan urusan-urusan pekerjaan dan lobby bisnis untuk memperbesar perusahaannya.

Dengan tetap memandang ke arah kandang Tom dan tanpa menoleh lagi kepada Sasongko aku yakin mata Sasongko sudah geram terhadap pemberontakanku. Aku tersenyum sendiri. Membayangkan ada semburat merah di matanya mirip dengan mata Tom yang berkilat kemerahan. Aku menyukai Tom karena tatapan matanya yang kelihatan galak. Mungkin jika aku membalikkan badan dan melihat ke arah mata Sasongko, aku yakin pemberontakanku kepadanya akan kulantakkan sendiri. Untunglah aku tak melakukannya. Kekecewaanku pada situasi yang menjepit sifat egoisku memaksaku untuk tetap memandang ke arah kandang Tom.

Yang aku tahu kemudian, kepala Sasongko berada dekat sekali dengan urat leherku. Antara masih ingin mempertahankan kekosongan dalam batinku dengan menanggapinya, aku membayangkan ciuman yang dilakukan Sasongko di kulit leherku adalah bujukan pangeran Drakula. Di balik kandangnya, Tom menyalak. Aku melihat kilatan tajam taringnya. Khayalanku tentang drakula semakin lengkap. Ludah Sasongko yang membekas, kubayangkan sebagai darah yang menetes perlahan dari urat nadiku. Aku bergidik jelas bukan karena terangsang. Aku yakin sekali warna hitam yang berkelebat adalah pintu belakang yang ditutup dengan sebelah tangan oleh Sasongko, tapi kemudian yang terjadi adalah hal yang berbeda, sebuah bantal jatuh menutupi sebagian wajahku. Sejak membayangkan dibunuh oleh pangeran Drakula, aku lebih khusyu untuk menutup mataku.

Paginya, aku lihat Sasongko sudah lebih dahulu bangun. Sedang aku baru meregangkan tangan, mencoba bangkit dari kasur.

“Kopi, Sayang?” Dia meletakkan secangkir kopi dalam nampan di atas pangkuanku
“Hei. Ada apa ini?”
Pertanyaanku dijawabnya dengan kecupan di kening. Manis sekali.
“Tak ada apa-apa. Aku menikmati percintaan kita semalam.”
Wow. Aku juga. Terlebih karena aku membayangkan rayuan pangeran Drakula. Konon, setelah dihisap darahnya, korban Drakula akan semakin tambah rasa cintanya kepada Sang Pangeran. Aku pun tersenyum memikirkan hal bodoh semacam itu.

Sasongko sudah bersiap untuk berangkat kerja. Di depan cermin, dia mematut dasinya supaya tidak miring. Matanya masih berbinar. Aku curiga dia menyimpan sebuah rahasia. Setidaknya sebuah rasa kemenangan atas pemberontakanku yang sia-sia. Namun kecurigaanku tampaknya sangat tidak beralasan, buktinya dia membawakan sarapan ke atas pembaringan ini.

“Aku berangkat ya. Baik-baik di rumah,” tangannya juga seakan ikut berpesan dengan menjamah rambutku yang masih awut-awutan. Aku hanya mendongak ke arahnya sambil tersenyum senang sebelum meraih cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Sedingin tubuhku yang merasakan kehampaan mulai membayang di atas kemesraan yang rasanya semakin semu. Setelah dia pergi, rumah mungilku seakan bernafas lega. Aku bisa dengan leluasa memandangi halaman depan dari jendela kamarku. Halaman depan rumah mungilku lumayan luas. Aku sengaja membeli rumah mungil dengan halaman luas karena aku bisa merasa membutuhkan ruang tertutup lebih sedikit dibandingkan keinginanku yang masih ingin bisa banyak beraktifas di luar ruangan. Aku senang bunga-bunga liar yang tumbuh di sela-sela rerumputan. Ada keindahan yang tiba-tiba muncul. Bunga-bunga liar itu kerap mendatangkan kupu-kupu entah darimana asalnya. Dan kupu-kupu itu selalu menarik perhatian Tom untuk mengejarnya. Aku selalu merasa terhibur dengan tingkah Tom ketika mengejar kupu-kupu.

Hei! Sudah dari tadi aku melamun, tapi tak terdengar dengking Tom. Biasanya sehabis dikurung dalam kandangnya, Tom mendengking keras tanda ingin diajak berlari di halaman. Walau sebenarnya keinginannya seperti kita juga, melepas hajat di pagi hari. Tom dan aku sama-sama pecinta kelegaan halaman. Kuputuskan untuk kembali melanggar perintah Sasongko untuk mendekati Tom. Kali ini aku ingin mengajaknya jalan-jalan sendiri. Bukan oleh pembantu kami. Aku kangen dengan kenakalan Tom. Sesampai di halaman belakang kulihat Marno, pembantu kami, terpekur di depan kandang Tom.

“Kenapa, No?”
Marno tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ceceran bungkus coklat mahal di sekitar kandang. Kulihat Tom tergeletak. Aku segera merebut kunci ditangan Marno untuk membuka pintu kandang. Tapi Marno tidak mau melepaskannya.
“Tuan bilang Nyonya tak boleh memegangnya,” Marno mencoba menghalangiku.
“Tidak! Biarkan aku tahu apa yang terjadi dengan Tom!” Aku menjerit. Marno semakin erat memeluk dan memegangi tanganku. Yang kulihat dalam mata yang berkabut, Tom terbujur di lantai kandang. Mulutnya terbuka dan lidahnya berbusa lebat.

Jakarta, 6 Juli 2007.