Hei, apa salahku? Apakah salah jika aku sebagai seorang anak lelaki membenci kekerasan? Aku senang makan ayam atau bebek goreng, tapi bukan burung manyar. Mamat, Roji, dan aku memang suka berpetualang di dataran lapang kampung ini. Memanjati pohon-pohon, berenang di sungai sambil menangkap ikan, atau seperti sekarang ini; berburu burung manyar. Aku lebih suka mengorek batang turi dan mengeluarkan ulat putih besar yang biasa kami sebut “gendhon” untuk disate, daripada menangkap burung manyar yang sudah patah leher, pecah dada, atau bersayap sebelah untuk kemudian dibersihkan bulunya, isi perutnya, dan dibakar menjadi setusuk atau dua tusuk sate besar. Mamat dan Roji paling lahap memakannya.
“Enak lho! Kau tak mau coba?”
“Eh, ini masih ada darahnya! Puihhh!” Roji meludah.
Aku tetap duduk mematung. Bergidik menyaksikan mereka makan dengan lahap daging burung manyar yang kemerahan dan belum sepenuhnya matang. Tiba-tiba saja mataku mengembun, dan pada sebatang pohon kepel tua, di dekat sungai, akhirnya kutumpahkan tangisan. Jika aku menangis, aku teringat ibu.
“Run, kamu masih sayang ibu, bukan?”
Aku mengangguk lemah. Usiaku yang baru sepuluh tahun masih belum bisa memahami apa yang terjadi di dalam rumah antara ayah dan ibu. Ayah jarang pulang, ibu tak pernah kelihatan senang.
Suara tangis ibu seperti riak sungai di kaki tebing di bawah pohon kepel berada. Suara yang perlahan tetapi berkesinambungan. Aku menduga sepenuh hidup ibu dipenuhi dengan tangisan. Tak pernah ada senyum yang menghiasi bibirnya. Kadang aku rindu pada geligi putih yang selalu disembunyikannya. Rasanya sudah lama betul aku tak mendengar suara tawa ibu. Apakah memang beban yang disandangnya begitu berat? Benarkah itu semua gara-gara ayah?
Ayah menghilang sejak pertengkaran itu. Pertengkaran yang hebat antara ibu dan ayah. Di ruang makan, semua barang berpindah. Piring-piring pecah berserak di lantai, demikian juga dengan gelas, sendok dan nasi pun tumpah. Ibu bilang semenjak ayah terlibat sebuah organisasi, ayah tidak pernah lagi memperhatikan kami. Reaksi ayah adalah marah, dia balik menuding Ibu tidak pernah mendukung perjuangannya. Karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, yang bisa aku lakukan adalah membawa pergi adikku dan menenangkannya.
Tak lama berselang, peristiwa itu terjadi.
Hujan batu di rumahku. Di depan pintu, ibu berteriak-teriak menyuruhku kabur. Wajah dan tangannya berlumur darah. Aku dan adikku menangis sejadinya. Bingung antara ingin pergi atau menunggui apa yang akan terjadi.
Mereka mencari ayah. Seluruh bagian rumah kami digeledah. Barang-barang berharga dijarah. Dikeluarkan dan dibakar. Mereka sepertinya ingin membawa ibu pergi. Kaki-kaki mereka menendang, menyepak tubuh kami. Aku memberanikan diri mendekap ibu, merangkul adikku. Ibu dan aku berteriak kepada mereka, “Biarkan kami mati bertiga!”
Lalu tangisku, tangis ibu dan adikku terhenti ketika mereka berhasil menyeret kami hingga di halaman. Rupanya, mereka masih berbaik hati untuk menyingkirkan kami dari amarah mereka yang begitu meluap untuk membumihanguskan rumah kami.
Aku tercekat melihat api yang segera membubung tinggi. Sama seperti ketika Mamat dan Roji, teman main baruku di kampung yang tak mengenal asal-usul ibu ini, membakar sarang-sarang burung manyar yang mereka dapatkan dengan mengetapel pucuk-pucuk cemara. Ketika aku membantu mereka mengupasi sarang burung manyar yang terbuat dari gulungan daun cemara kering dan mendapati tiga ekor anak burung manyar hangus terbakar berpelukan. Sepertinya anak-anak burung manyar yang begitu mungil dan masih tak berbulu sama seperti aku, ibu dan adikku yang pernah ingin membiarkan kami mati bertiga.
Kini, Mamat, yang masih berdiri memandangiku dengan tatapan seperti mengancam, melepaskan ketapel yang tergantung di lehernya dan melemparkannya ke tanah dekat kakiku.
“Aku bisa buat sendiri. Ketapelmu jelek! Ambil itu dan pergi!”
Roji mendekatiku dan mencibirkan bibir juga meleletkan lidah.
“Weeek! Penakut! Cengeng! Huuuu!”
Mereka berdua segera menghilang di rimbunan pepohonan. Aku terpaku, belum memilih antara ikut pergi bersama mereka atau pulang sendiri. Kampung ini penduduknya sangat jarang, dan tak banyak yang berkegiatan di luar. Maklum saja di kampung ini tak banyak orang dewasa bisa ditemukan. Kalaupun ada orang dewasa dalam satu rumah, biasanya mereka bukanlah orangtua yang lengkap. Hanya ibu atau nenek. Selebihnya anak-anak seperti aku, Mamat dan Roji meskipun ada yang berusia lebih tua dari kami. Bisa dibilang kampung kami ini kampung perempuan dan anak-anak.
Aku tahu jika ayah memang pergi dari rumah, tapi Mamat bercerita kalau ayahnya dibawa pergi orang-orang gagah. Dia menyebut orang-orang gagah karena mereka berbadan tegap dan senjata-senjatanya mengkilat tertimpa cahaya bulan. Demikian pula dengan cara mereka berjalan. Berderap-derap bunyi sepatunya. Roji bilang Mamat tukang bohong, ayah Mamat dimasukkan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam gosong. Matanya ditutup, kaki dan tangannya diborgol. Mamat mengacungkan tinju ketika Roji berkata seperti itu.
“Bapakmu juga bukan? Dibawa pergi saat pulang dari pekan di
Roji hanya bisa mengisak jika Mamat sudah mulai teriak-teriak.
Tapi kini mereka sudah meninggalkanku, masuk ke dalam hutan kecil itu. Aku ingin segera pulang, pasti ibu sudah menungguku untuk segera mandi dan makan malam. Hanya saja aku tak ingin tersesat oleh bayang-bayang dedaunan yang menyilang-nutupi badan jalan setapak. Ah, kenapa aku tak pernah mendengarkan nasihat ibu untuk menghafalkan arah mata angin? Kalau sudah begini, apa yang hendak aku lakukan?
“Pletak! Pletak! Pletak!”
Gempuran batu itu mereda, aku terengah-engah hampir kehabisan nafas. Bajuku basah kuyup. Jantungku keras berdegup. Tak habis pikir kenapa mereka tega mengerjaiku seperti ini. Lalu mendadak ada bunyi berdebam. Sesuatu yang besar jatuh. Belum sempat aku mencari tahu apa yang terjatuh itu, terdengar lagi debam yang lain.
Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang telah menyerang dan menjatuhkan mereka berdua. Pada saat kejadian itu, aku ikut lari juga setelah melihat mereka berdua lari menuju ke arahku. Dan setelah kejadian itu Mamat dan Roji menjadi sangat pendiam, hingga aku tak pernah bisa tahu apa yang sebenarnya telah menyerang mereka berdua di hutan kecil itu. Hanya ketika melihat seekor burung, mereka tampak ketakutan.
Comments