Sunday, September 28, 2014

Hantu Perempuan dan Hotel Berarsitektur Kiri

Sambil melambaikan tangan, Tinuk bertanya padaku, “Apakah kau suka dengan tulisan-tulisan George Orwell?” Yang membingungkanku, Tinuk menanyakan hal itu tepat setelah aku bertanya kepadanya apakah di kota ini ada gedung yang dibangun dengan arsitektur beraliran kiri.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Aku menimpali pertanyaannya dengan pertanyaan juga sebab aku memang bingung dituduh begitu.
Tinuk tertawa. Hal itu seolah membuat aku tampak begitu bodoh. Tapi aku benar-benar tidak paham apa hubungan pertanyaanku dengan pertanyaannya, atau lebih tepatnya apa hubungannya gedung berarsitektur kiri dengan George Orwell.
“Sudahlah, jangan cemberut begitu. Kalau kau penggemar George Orwell tentu pernah membaca esainya yang berjudul Dapatkah orang-orang Sosialis Hidup Bahagia. Dalam esai itu dia menyebutkan salah satu yang bisa dianggap kesalahan dari paham yang dianggap Kiri itu adalah membangun gedung dengan AC tersentral dengan lampu-lampu berderet yang bersinar terang,” katanya dengan nada membujukku agar tidak bingung dan terlihat sedih karena kebodohanku.
Aku melongo. Sebab yang aku tahu Orwell hanya menulis novel Animal Farm dan 1984 saja. Ketika aku berkata bahwa aku hanya tahu novel-novel Orwell, Tinuk kembali tertawa.
“Orwell juga menulis puisi,” katanya.
Kali ini aku melihat wajahnya dengan sangat jelas. Beberapa hari sebelum hari ini, aku tak pernah mau untuk menatapnya karena takut. Tinuk adalah hantu perempuan yang kutemui di apartemen, tempat aku menginap selama mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah kota kecil di benua Eropa ini. Dia suka muncul dari kamar mandi secara tiba-tiba. Lalu, jika kamar tidurku terbuka, dia akan segera masuk dan duduk di atas meja kerjaku. Duduk di antara tumpukan buku-buku.
Pertama kali aku bertemu dengannya, adalah ketika aku duduk menghadap ke arah pintu kamarku yang terbuka. Saat itu aku tengah membaca kumpulan sajak Rendra tepat pada sajak “Nyanyian Angsa”. Tiba-tiba aku mendengar suara gagang pintu kamar mandi seperti hendak dibuka. Aku berhenti membaca.
Kuperhatikan dengan seksama gagang pintu kamar mandi yang letaknya memang berhadapan dengan kamarku. Tidak. Gagang pintu itu tidak bergerak.
Belum lama aku pandangi gagang pintu itu dari jauh, tiba-tiba sesosok perempuan bergaun merah sudah berdiri di hadapanku.
Tentu aku tidak berpikir perempuan itu keluar dari buku Blues Untuk Bonnie itu. Tapi lucunya, aku sempat berpikir jangan-jangan dia bernama Maria Zaitun! Sebab dia tidak berperawakan orang Eropa, tetapi lebih mirip dengan orang dari Asia. Mungkin juga orang Indonesia.
Belum sempat aku melihat wajahnya yang tertutup rambut panjang hitam, aku melihat gaun merahnya semakin dekat dengan wajahku. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Hanya gelap belaka.
“Aku senang jika ada teman. Di sini, aku sangat kesepian. Kota ini dingin dan seolah tenggelam dalam sepi. Itu sebabnya aku menampakkan diri padamu.” Hantu perempuan itu bicara tanpa henti begitu aku membuka mata. Dia seolah tahu aku telah siuman. Suaranya terdengar seperti dari belakang punggungku.
Aku masih ketakutan dan tak berani menoleh atau memalingkan wajahku ke arah suaranya. Tapi hantu itu masih bicara. Kudengar lamat-lamat dia bercerita tentang seorang tentara yang mencintainya dan membawanya ke kota ini. Aku jadi tertarik untuk mendengar ceritanya lebih lanjut.
Dengan memberanikan diri, aku bangkit dan menghadapkan tubuhku ke arah suara hantu itu berada, tapi wajah kutundukkan ke lantai. Takut jika penampakannya memang menyeramkan seperti gambaran hantu-hantu dalam film Jepang atau Indonesia.
“Ah. Kau rupanya tertarik dengan cerita percintaanku ya?” godanya.
Dengan rasa ragu karena malu mendengar perkataannya dan tebersit keberanian untuk menganggap hantu itu seolah khayalanku saja, aku mencoba mengangkat wajahku.
“Bagaimana tadi ceritanya kau bisa meninggal di kota ini?”
“Kau rupanya lebih tertarik dengan cerita daripada berkenalan denganku. Pantas kau masih sendiri sampai saat ini.”
Dia, tanpa diminta, memperkenalkan dirinya. “Aie Thin Noe namaku. Aku lahir di Burma, atau Myanmar saat ini. Perang telah membuat keluargaku berantakan. Dan kau pasti tahu gadis sepertiku akan mudah jatuh ke tangan yang salah dalam kondisi seperti itu. Singkatnya, aku menjadi budak nafsu para tentara. Untunglah seorang tentara dari kota ini datang dan menyelamatkanku. Meski awalnya tetap sama saja, sebagai laki-laki yang jauh dari rumah, lalu bertemu dengan pelacur seperti aku, dia hanya menginginkan aku sebagai pemuas nafsu belaka. Tapi cinta lama-lama tumbuh di hatinya, dan sampailah aku di sini.”
Aku mencoba mencari tahu seperti apa wajahnya yang tersembunyi di balik helaian-helaian rambut hitam panjang. Dan seperti tahu maksudku, tangannya bergerak menyibak rambutnya. Aku gugup. Alih-alih melihat wajah yang kini terbuka, aku kembali menunduk.
“Namamu susah kusebut. Bagaimana jika aku panggil kau Tinuk?”
Dia tertawa. Berbeda dengan suara tawa kuntilanak yang cenderung mirip ringkik kuda, tawanya terdengar renyah seperti seorang gadis manja.
Hari-hari selanjutnya, aku makin akrab dengan kehadiran Tinuk. Justru, Tinuk entah bagaimana caranya bisa membuatku merasa betah tinggal di kota ini. Tak jarang, dia ikut dalam perjalananku dari apartemen ke kampus. Dia juga sering mengejutkanku dengan membisikkan judul buku yang bagus ketika aku berada di toko buku. Setelah aku membayar di kasir untuk satu seri buku 1Q84 karya Haruki Murakami, dia tiba-tiba menyeletuk.
“Kamu paling suka cerpen Murakami yang mana?” tanyanya.
Tentu pertanyaannya tak segera kujawab. Takut dikira orang aku mengalami gangguan jiwa. Tapi dia mengulangi kembali pertanyaannya. Dengan langkah cepat, aku keluar dari toko buku. Memotong jalur sepeda dan menuju sebuah jalan kecil yang mengarah ke taman kota. Tepat di pagar taman kota yang di sana terdapat sebatang pohon yang tengah berbunga, lagi-lagi dia bertanya hal yang sama.
“Kau aneh. Aku baru membeli novel, kau malah bertanya soal cerpen,” jawabku ketus karena merasa terganggu.
“Aku yakin kau mau menjawab pertanyaanku. Benar, bukan?” godanya lagi.
Kulemparkan pantatku di atas bangku yang tersedia di trotoar. Meletakkan novel baru itu. Dan sambil melihat matanya yang hitam seperti dalam lukisan Jeihan, aku berusaha mengingat beberapa judul cerpen Murakami.
“Aku suka Second Bakery Attack,” kataku setelah lama terdiam.
“Aku menduga kau punya otak kapitalis!” rutuknya.
Kapitalis? Apa hubungannya pilihanku akan cerpen Murakami dengan ideologi ekonomi itu? Aku jadi bertanya tanya, apakah hantu itu memang punya kemampuan untuk menggabungkan beberapa hal dalam sebuah percakapan? Rasanya, aku tak mau bertanya atau menjawab pertanyaannya lagi.
“Berikan aku alasan mengapa kau beranggapan demikian?”
“Rasa lapar,” katanya, ”dalam cerpen pilihanmu itu teramat menakjubkan bukan? Nah, aku hanya menghubungkan jika kau suka dengan cerpen itu tentunya kau juga beranggapan ada banyak hal yang bisa dieksplorasi menjadi cerita. Artinya, dalam hidupmu, kau pun akan menganggap begitu.”
“Ah. Kau terlalu cepat menyimpulkan sesuatu,” sanggahku, “Aku justru seorang yang memimpikan semua orang dalam dunia ini hidup dalam harmoni. Boleh saja jika kau menganggapku seorang utopis.”
“Utopis?” selidiknya. Bola matanya yang hitam itu seakan-akan membesar memandangiku dengan lekat. “Semua orang yang dianggap pelopor suatu gerakan biasanya seorang yang utopis.”
Dia kemudian bercerita di masa pergerakan besar menentang kaum borjuis di kota ini, beberapa bangunan indahnya pernah beralih fungsi.
“Gedung di sebelah sana dulunya sebuah arena pertunjukan. Saat mereka berkuasa, gedung itu menjadi semacam laboratorium atau pusat pengkajian ilmiah. Dan gedung-gedung yang berderet di jalan utama itu, dulunya dibangun sebagai apartemen milik rakyat. Atau untuk rakyat yang mau dipimpin dengan ideologi mereka.” Ketika dia menjelaskan demikian, aku merasa sedang dibawa bertamasya dengan dipandu oleh seorang tour guide. Aku lantas teringat sebuah upaya pencarian jati diri bangsa melalui arsitektur bangunan yang sering disebut sebagai post-constructivism. Maka selesai dia bercerita, aku bertanya kepadanya apakah di kota ini ada gedung yang berarsitektur kiri kepadanya.
“Dalam hidup ini, semua itu dapat dihubung-hubungkan, termasuk pertanyaanmu itu dengan tulisan-tulisan George Orwell. Kau pasti belum tahu bahwa dia juga menulis puisi yang mirip dengan kisah hidupku, bukan?”
Kali ini aku tertarik dengan perkataannya. Aku menduga pasti puisi George Orwell yang dimaksud masuk dalam kategori puisi cinta, tetapi dia berkata puisi ini berjudul Ironic Poem about Prostitution.
Ah. Aku lupa bahwa latar belakang hidupnya adalah seorang pelacur. Tak berapa lama, dari bibirnya – atau setidaknya demikian – meluncurlah puisi tersebut;
When I was young and had no sense
In far-off Mandalay
I lost my heart to a Burmese girl
As lovely as the day.

Her skin was gold, her hair was jet,
Her teeth were ivory;
I said, "for twenty silver pieces,
Maiden, sleep with me".

She looked at me, so pure, so sad,
The loveliest thing alive,
And in her lisping, virgin voice,
Stood out for twenty-five.

Selesai dia membaca puisi itu, giliran aku yang tertawa getir. Pelacur berkebangsaan Burma. Mirip sekali dengan kisah Tinuk. Lalu, ironi pada soal sikap sedih pelacur itu dengan permintaan naiknya harga penawaran sungguh terasa menyedihkan. Tawaku cepat berganti dengan diam begitu aku melihat dia seperti termenung.
“Kenapa?” Aku memberanikan diri bertanya kepadanya.
“Tak apa. Aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu tadi soal gedung berarsitektur kiri yang ingin kau ketahui di kota ini. Kau lihat gedung di sebelah sana? Tepat di perempatan di seberang taman ini. Yang warnanya kuning tua dengan atap seperti berpagar dan ada semacam tugu kecil di empat sudutnya itu?”
Aku melempar pandangan searah dengan tangannya menunjuk. Memang ada bangunan besar berwarna kuning dengan banyak jendela berbingkai putih. Gedung itu seolah dibagi menjadi beberapa bagian. Lantai pertama dihiasi beberapa pintu besar yang melengkung seperti pintu gereja. Tiga lantai di atasnya berjendela dengan bentuk kotak sederhana. Menuju ke tiga lantai di atasnya, ada semacam balkon panjang. Dan jendela di lantai paling bawah - dari tiga lantai di atas balkon - dibentuk dengan bingkai melengkung, sedangkan dua lantai lagi sama seperti bentuk jendela tiga lantai pertama. Lalu setelah itu, ada satu lantai dengan jendela berukuran lebih besar dari semua jendela. Dan dua lantai terakhir dibangun agak menjorok ke dalam karena ada semacam selasar dengan tiang-tiang besar. Bangunan itu diakhiri dengan hal yang persis seperti dikatakan Tinuk; pagar dan tugu kecil di empat sudutnya.
“Apakah bangunan itu yang dibangun dengan arsitektur beraliran kiri?” Aku kembali bertanya pada Tinuk.
“Aku tak tahu sebenarnya yang kau maksud dengan arsitektur beraliran kiri, tapi bangunan hotel itu mirip sekali dengan apartemen yang ada di Kutuzovsky Prospekt, Moskow. Di sanalah aku dibunuh suamiku sendiri yang mengira aku hendak berselingkuh dengan temanku. Padahal aku datang ke hotel itu untuk menghadiri pertemuan orang-orang Burma perantauan di kota ini.”
Setelah Tinuk mengatakan hal itu, aku tertegun cukup lama memandangi bangunan itu, sampai-sampai tak kusadari Tinuk sudah tidak ada lagi di sampingku. Tapi bukan karena Tinuk menghilang aku memungut novel Murakami di atas bangku dengan cepat, memasukkannya ke ransel, lalu bergegas menyeberang jalan. Aku melakukan itu semua karena desakan rasa lapar. Rasanya, siapa pun tahu jika rasa lapar menyerang, apalagi ditambah suhu udara yang di bawah 10 derajat celsius, orang akan berjalan dengan sangat tergesa. Tidak terkecuali aku.

Jakarta, September 2014.

Labels: ,

Wednesday, September 17, 2014

Monumen Bulan dan Kota yang Ingin Merdeka

Panggih terlihat lebih kurus dan hitam dibandingkan beberapa bulan lalu aku melihatnya, tapi senyumnya tetap sama. Bersahabat. Dia merentangkan kedua lengannya, melupakan sejenak koper besar yang tadi diseretnya, untuk segera mengharapkan aku berada di dalam pelukannya.

“Kau tetap cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Itu yang membuat aku bahagia bisa datang ke kota ini,” bisiknya.

“Kau tak berubah. Nggombal senantiasa,” balasku.

Dan tawa kami segera pecah, sebelum dihentikan oleh seorang bapak yang menggerutu karena tersandung kakinya oleh koper Panggih dan nyaris jatuh. Buru-buru Panggih melepaskan pelukannya dari tubuhku lalu menghampiri bapak tersebut dan meminta maaf. Aku memalingkan badan untuk menelepon Yanto, sopirku, untuk segera menjemput kami. Ketika badanku kembali ke posisi awal, Panggih sudah berdiri dekat denganku dengan raut muka seperti keheranan.

“Sudah berganti pemimpin, kota ini masih saja semrawut lalu lintasnya,” keluhnya.

Aku teringat tulisan-tulisan pendek Nalfin yang kerap mengomentari tentang kota dan tata pemerintahan kota termasuk janji-janji politik yang tak ditepati, tak jarang pula Nalfin menuliskan tentang perilaku warga kota yang justru membuat ruwet kota. Aku mengutipkan tulisan Nalfin untuk menimpali keluh kesah Panggih, ”Sebenarnya bukan pemimpinnya yang salah urus dan salah atur, tapi warganya juga semakin ngawur dan tetap mau menang sendiri. Lihat saja, di daerah yang sebenarnya tidak boleh parkir, mereka parkir semaunya. Ini baru di kawasan bandara.”

Panggih tertawa, lalu katanya, ”Kau tak perlu menjelaskan seperti itu, mentang-mentang aku baru kembali dari luar kota. Toh, aku penduduk kota ini.”

Aku jadi tersipu, tapi lantas egoku muncul.

“Kalau kau sudah tahu, kenapa tadi mengeluh? Pekerjaan yang sia-sia. Haha.”

Lagi-lagi Panggih mengubah raut mukanya. Kali ini terlihat sangat serius. Agaknya dia mau mengeluarkan argumentasinya. Benar saja, kata-kata ini segera meluncur dari bibirnya dengan cara yang sama sekali tidak mengandung nada bercanda – Di dunia ini tidak ada pekerjaan yang sia-sia. Orang bisa saja menganggapnya begitu, tetapi kenyataannya belum tentu demikian. Kau pernah melihat topi yang dimuati gulungan tisu yang berfungsi jika penggunanya sedang kena flu? Bagi banyak orang hal itu sia-sia tetapi ada masanya hal itu berguna meskipun cuma sesaat. Banyak hal bagus dimulai dari apa yang dianggap sia-sia, tetapi karena perkembangannya, modifikasi, evolusi, bahkan revolusi, justru pada akhirnya menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Lihat saja sekarang ini trem yang dulu dianggap tak lagi memenuhi kebutuhan suatu kota, sekarang malah hendak dihidupkan lagi di Surabaya.

Kalau dia sudah mericau begitu, sulit untuk menghentikannya. Pertemuan yang tadinya dimulai dengan hangat berangsur dengan pasti menjadi sesuatu yang sangat menjemukan. Tapi Panggih bukanlah Panggih jika tidak bisa membelokkan cerita. Begitu melihat aku merengut, Panggih mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah novel!

“Novel apa itu? Karya siapa?”

Panggih mengatakan bahwa dia bertemu seseorang dalam perjalanan. Che Sien, namanya. Menurut Panggih pasti nama samaran atau nama pena, karena kata tersebut ada dalam petikan puisi Inferno karya Dante Alighieri, yang lengkapnya adalah “e avanti che sien di là discese, anche di qua nuova schiera s'auna.” Dan orang itu juga bukan seorang keturunan Tionghoa, lagi pula seorang Tionghoa tidak akan menulis Sien, pasti menulisnya Xian. Dan Chen Sien mengaku sebagai penulis.

“Novel ini mungkin nasibnya akan baik jika bisa mendapatkan penerbit yang jaringan distribusinya luas. Karena beberapa orang yang membaca mengatakan bahwa cerita yang saya bangun dalam novel ini sangat menarik, mengaduk-aduk perasaan. Ya, sayangnya karena penerbit novel ini hanya mampu mendistribusikan ke toko buku lokal dan sekitaran kota ini, akhirnya nasibnya berakhir sebagai tumpukan buku tak berguna di gudang. Saya sendiri harus menebus sekian ratus eksemplar agar bisa saya pasarkan sendiri,” gerutu Che Sien sambil membanggakan karyanya.

“Sudah melahirkan berapa novel, Mbak?”

“Ada tiga novel yang saya tulis, tapi yang berhasil diterima penerbit hanya satu ini,” katanya sambil menyerahkan novel berjudul Monumen Bulan kepada Panggih.

“Yang lainnya?”

“Satu novel tentang cara menulis novel yang saya kelindankan dengan cerita rakyat dikatakan terlalu dangkal ceritanya. Sedangkan yang bercerita tentang anak-anak muda yang penuh suka duka dalam membesarkan sebuah band indie sempat ditaksir untuk diterbitkan sebagai cerita bersambung di tabloid lokal, sayangnya kemudian tabloid itu bangkrut.”

“Kenapa judulnya Monumen Bulan? Memangnya itu ikon di kota ini? Maaf, saya baru sampai di sini jadi belum tahu banyak cerita tentang kota ini.”

“Bukan. Monumen Bulan hanya sebuah kiasan yang saya ambil dari cerita lelaki yang menikah dengan alien.”

“Menikah dengan alien? Betapa absurd cerita seperti itu!” kataku.

“Ya. Che Sien mengatakan begitu karena dia banyak membaca tentang dunia paralel yang menyatakan bahwa kemungkinan besar ada yang seperti kita di planet yang lain. Mereka yang bergerak dan berbicara seperti kita. Ah, kalau aku ceritakan kau tak akan membaca novel ini. Bagus kok!”

“Aku penasaran jadinya,” kataku sambil merebut novel itu dari tangan Panggih.

Panggih diam saja. Sepertinya tidak rela novel itu berpindah tangan.

“Kau masih percaya dengan cinta?”

“Apa?”

“Biasanya orang yang suka membaca kisah percintaan adalah mereka yang kesepian atau memikirkan bahwa cinta itu adalah sesuatu yang indah, sakral, dan begitu mengharu biru.”

“Apa itu salah?”

“Tidak. Tidak ada yang salah dengan kisah cinta. Yang salah adalah orang lebih banyak merasa begitu tetapi dalam keseharian justru menafikan cinta. Sembrono!”

Aku heran Panggih begitu kesal dengan fenomena yang menurutnya terjadi. Padahal aku justru merasa saat ini orang butuh lebih banyak diberikan gambaran tentang cinta agar tidak sembrono dalam menjalani hidup. Seperti pengalaman tadi pagi saat aku menyeberang jalan, seorang pengendara sepeda motor hampir saja menabraknya. Padahal aku sudah berada di tengah jalan dan dia hendak berbelok dari arah kiri ke kanan, dan tetap melaju kencang. Akhirnya aku hanya memelototi pengendara sepeda motor itu, sementara dia dengan tak acuhnya hanya memelankan laju sepeda motornya. Ya. Di kota ini, pejalan kaki adalah pihak yang selalu dituntut mengalah. Trotoar semakin sempit, ketika menyeberang harus menunggu jalan agak lengang, dan hampir tidak ada lampu tanda orang menyeberang.

“Kamu itu yang sembrono. Menuduh orang tanpa bukti-bukti. Bukankah lebih baik diperbanyak ajaran tentang cinta?”

“Percuma. Sudah begitu banyak orang bicara cinta, tapi manusia tetap tidak berubah. Apa kurang Budha, Kristus, Muhammad, Rumi, Gandhi, Neruda bicara soal cinta?”

Aku tertawa. Panggih heran.

“Kenapa tertawa?”

“Jangan-jangan. Kita ini adalah alien di kota ini. Sehingga selalu heran dengan perilaku manusia lain.”

Panggih tidak menimpali perkataanku, kali ini dia menunduk memperhatikan jam tangannya. Aku segera sigap. Kupencet lagi nomor Yanto.

“Sampai mana, To?”

Dari seberang, Yanto menjelaskan bahwa untuk keluar dari tempat parkir membutuhkan waktu 10 menit karena antriannya begitu panjang. Saat ini dia sudah ke luar, tetapi jalan menuju tempat penjemputan terhambat oleh rombongan bus yang menurunkan jemaah calon haji.

“Yanto sudah mengarah ke sini, tapi terhambat di ujung sana,” jelasku pada Panggih tanpa diminta. Panggih manggut-manggut. Dia menunjuk sebuah bangku panjang yang baru saja ditinggalkan dua orang dengan ransel besar. Aku menuruti kehendaknya, mengekor dia menuju bangku tersebut.

“Kau pernah tidak membayangkan kota itu sebagai suatu organisma yang terus bertumbuh?”

“Tidak. Buat apa? Bagiku kota seperti dikatakan oleh Trancik yang dipentingkan adalah makna dari setiap ruang yang ada di dalam kota itu. Artinya, kota bukanlah organisma tetapi tempat. Dan selalu begitu.”

“Jadi, tidak ada kota yang tumbuh?”

“Secara teori begitu. Kota tumbuh karena adanya aktivitas manusia dan penambahan fungsi dari daerah. Jadi kota itu harus tumbuh jika manusianya mulai kompleks dalam kehidupannya.”

“Wah. Kalau begitu kota harus merdeka dari keinginan manusia.”

“Kok?”

Kata Panggih, dalam novel Monumen Bulan itu, Che Sien menulis kota Dompayuba dimulai dari peristiwa kematian Sang Alien. Sebuah monumen kecil dibuat di atas kuburannya. Sejak itu, banyak orang datang untuk melihat kuburan Sang Alien. Orang-orang itu lantas membangun pemukiman yang awalnya adalah penginapan-penginapan. Kemudian di daerah perbatasan muncul pasar yang menjual kebutuhan perkabungan dan kebutuhan sehari-hari selama orang-orang itu menginap di dekat kuburan itu. Lalu dibangun areal parkir yang besar dan terminal. Dan seterusnya sampai akhirnya Dompayuba itu terbentuk sebagai kota yang besar.

Aku terbahak, dan menukas cepat, ”Kau bodoh, Panggih! Dari tadi kau cerita kalau Dompayuba tumbuh karena keinginan manusia-manusia itu. Jadi contoh yang kau buat sebagai kota yang tumbuh sebagai organisma itu salah!”

Panggih terkejut dengan komentarku. Dia berdiri dengan cepat, lalu meninggalkanku. Tanpa bicara apa-apa lagi.

Aku bengong melihatnya. Hari yang tadinya kupikir menyenangkan karena bertemu teman lama justru berakhir berantakan. Aku tak mengejar Panggih. Kubiarkan punggung dan koper yang diseretnya segera tenggelam dalam kerumunan orang-orang yang lalu lalang di terminal kedatangan bandara. Sementara pandanganku segera beralih kepada novel yang tadi diberikan olehnya.

Segera kubalik sampul berwarna hitam yang dihiasi gambar obelisk dan bulan purnama serta huruf Monumen Bulan berwarna perak yang di-embos untuk mencari tahu seperti apa tulisan Che Sien ini.

Sang Alien sudah pergi. Dunia yang tadinya merasa kedatangannya sebagai ancaman malah balik berkabung dan mengagumi perasaan cinta Sang Alien terhadap bumi ini terlebih cintanya terhadap Miru, istrinya yang adalah manusia biasa. Cinta, barangkali, kata yang kurang tepat untuk menggambarkan keinginan Sang Alien sebenarnya, karena menurut pengakuan Miru, kedatangan Sang Alien ke bumi ini hanya untuk belajar berinteraksi dengan manusia. Sang Alien merasa ada yang salah dengan manusia. Dia tahu itu dari adanya perang, perkosaan, pembunuhan, pencurian, korupsi, dan pembuangan bayi-bayi. Belum lagi selalu ada orang-orang yang berbohong dan ingkar janji. Termasuk kepada kekasih sendiri.

Kematian Sang Alien diberitakan Miru setelah lama dia menghilang dari keluarganya. Tentu, untuk melarikan diri bersama Sang Alien, karena sejak awal hubungan mereka tidak direstui oleh masyarakat. Miru menangis di pintu gerbang rumah Kolonel Andre, orang nomor satu di salah satu kota di distrik yang terletak di semenanjung pulau itu. Para penjaga rumah Kolonel Andre segera membawa masuk Miru untuk diinterogasi. Maklumlah, mendekati rumah itu saja sudah dicurigai apalagi dengan menangis terisak-isak dan terjatuh. Miru dibawa masuk setelah digeledah dengan seksama oleh penjaga-penjaga rumah itu.

Tangan dan kaki Miru diikat erat pada sebuah kursi. Di depannya, Kapten Yomi dan seorang lagi yang berkacamata dan merokok mengamati berkas yang didapat dari petugas lain. Berkas biodata Miru.

“Kau anak Tuan Modra?”

“Ya.”

“Kenapa sampai di sini? Bukankah rumah ayahmu berada tak jauh dari sini?”

“Aku memang sedang menuju ke sana. Tapi aku terjatuh.”

“Menurut biodata ini, kau sudah delapan bulan meninggalkan rumah. Pergi ke mana?”

“Aku menikah dan ikut suamiku.”

“Di sini tak ada nama suami. Kau pasti berbohong.”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Suamiku tidak diakui oleh keluargaku.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena dia seorang alien.”

Aku tertawa membaca tulisan Chen Sien. Pantas saja jika buku ini tidak laku di pasaran. Cara dia bercerita begitu buruk. Sama seperti tulisanku. Padahal tugasku membuat reportase feature dari Yayasan yang kerap melakukan CSR. Harusnya aku bisa membuat tulisan yang lebih baik dari tulisan-tulisanku sebelumnya. Aku merasa sebagai orang yang salah di tempat yang tidak seharusnya dalam pekerjaanku. Maka ketika Mas Abram memanggilku ke ruang kerjanya, aku tahu ada yang salah dalam pekerjaanku.

“Yun. Aku tahu kau berbakat sebagai penulis. Tapi aku lihat beberapa tulisanmu belum mampu membangkitkan minat bagi calon investor untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yayasan ini. Aku masih mau memberikan kesempatan. Ini penting buatmu dan buatku.”

“Baik. Mas. Maafkan jika saya masih belum becus, tapi saya mau belajar banyak.”

“Nah. Ini ada kesempatan bagus. Aku harap kau mau membuka telinga, mata, dan hati untuk bisa mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya dari tamuku ini. Dia seorang jurnalis handal. Dia baru datang dari sebuah distrik di semenanjung. Namanya Panggih. Aku tahu kau mengenalnya melebihi aku. Sebab menurut kabar, kau adalah mantan pacarnya. Bisa kau menjemputnya besok pagi?”

Mendengar kata-kata Mas Abram, aku mendadak gugup. Aku tahu besok pagi mungkin aku harus segera mengajukan resign dari kantor ini.


Jakarta, September 2014

Labels: , ,