Gerimis Anjing

Seketika saja, kota S dilanda keributan. Mendung yang sejak semalam bergantung di langit, pagi ini pecah menjadi gerimis. Gerimis yang sangat tidak biasa. Dari langit turun satu demi satu seekor anjing berukuran kecil. Anjing-anjing itu tidak menyeramkan rupanya, tidak seperti dobberman atau bulldog. Tidak juga lucu seperti shi tzu atau puddle. Kulitnya tembus pandang seperti plastik kantung belanjaan. Aku jadi bertanya apakah ketembuspandangan tubuhnya itu karena anjing-anjing itu berasal dari air hujan?

Pertanyaan ini rupanya segera ditindaklanjuti oleh datangnya rombongan peneliti dari sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Mereka sibuk menangkapi anjing-anjing itu. Akan tetapi yang mencengangkan adalah anjing-anjing itu selalu bisa lolos dengan cara menceburkan diri ke selokan.

Tadi, begitu sampai di tanah, anjing-anjing itu segera berkeliaran mencari makan. Mungkin sejak mereka dikumpulkan di langit menjadi mendung, mereka harus menahan lapar yang amat sangat. Anjing-anjing itu masuk ke tong-tong sampah yang mereka temui di sepanjang jalan. Herannya, mereka sama sekali tidak masuk ke warung-warung makan, toko-toko kue, atau pusat-pusat perbelanjaan.

Maka penduduk kota pun terkurung dalam rumah, dalam kendaraan yang terjebak macet, dalam kantor dan segala tempat mereka beraktivitas. Semua jenis kendaraan berhenti karena pengemudinya takut melindas mati seekor anjing yang turun dari langit itu. Mereka juga merasa jijik memandangi isi perut anjing-anjing itu yang kelihatan karena tubuhnya yang tembus pandang itu.

Sebenarnya apa yang dimakan oleh anjing-anjing itu hanyalah sisa-sisa makanan kita sehari-hari. Jangan bayangkan anjing-anjing itu memakan kotoran atau bangkai. Sebentar saja, isi seluruh tong sampah di kota ini pun berkurang.

Akhirnya polisi diturunkan. Bagaimana pun anjing-anjing ini harus segera disingkirkan dari jalanan kota. Penduduk kota sudah merasa tidak leluasa bergerak. Pertama-tama, para petugas kepolisian itu menutup semua saluran air dan selokan. Berdasarkan pengalaman rombongan peneliti tadi. Jika sedikit saja tubuh mereka masuk dalam genangan air, terlebih selokan, maka anjing-anjing itu tiba-tiba saja menghilang. Lalu di ujung gerbang kota disediakan sebuah jaring raksasa. Untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peti.

Ribuan polisi segera menghalau anjing-anjing itu dari tong-tong sampah. Aksi kejar mengejar pun terjadi. Sebenarnya aksi seperti ini sudah sering terjadi di kota ini. Yang dihalau pun beragam, mulai dari mahasiswa, demonstran, gelandangan, pengemis, warga miskin, dan pedagang kaki lima. Sebenarnya masih banyak lagi mereka yang diusir paksa dari jalanan kota ini, tetapi aku memang tak mempunyai ingatan yang baik untuk mencatat segala peristiwa yang terjadi di kota ini.

Dan seperti aksi pengusiran yang sudah-sudah, maka kota dan penduduknyalah yang harus menanggung akibatnya. Jalanan penuh dengan kotoran anjing yang ketakutan dikejar, tong-tong sampah yang terlempar, kaca-kaca rumah yang tak sengaja tersambit batu, atau bocah yang menangis karena kepalanya tertimpa pentungan yang nyasar. Namun setidaknya, upaya itu berhasil. Anjing-anjing itu mulai terpojok. Meskipun beberapa petugas pun mengalami gigitan, tapi mereka benar-benar bisa menggiring anjing-anjing itu ke arah jebakan di ujung gerbang kota.

Konon, jika mereka sudah masuk dalam jebakan, Pak Walikota sendiri yang akan memimpin jalannya acara pembuangan anjing-anjing ke laut. Rasanya sudah lama memang perut laut dijadikan tempat terakhir untuk segala sesuatu yang dianggap sampah di daratan. Mulai dari kendaraan tanpa mesin, limbah pabrik, hingga hasil bumi yang tak diharapkan muncul. Mungkin suatu saat nanti, akan ada cerita tentang mahluk-mahluk laut yang melakukan balas dendam kepada penduduk kota di sekitar pantai. Tidak seperti film-film Hollywood mengenai hiu ganas yang menyerang para perenang dan penikmat wisata air, mungkin lebih mengerikan lagi.

Sekretaris Daerah pun mulai sibuk membuat susunan acara pembuangan anjing-anjing tembus pandang ini. Apakah acara puncaknya adalah gunting pita? Atau pemecahan kendi berisi air kembang? Akhirnya diputuskan seperti peluncuran kapal dari galangan. Pak Walikota nanti akan memecahkan kendi berisi air kembang ke arah peti. Penduduk kota sekarang berharap operasi penghalauan ini akan segera berakhir. Sebab segala kegiatan kota harus berjalan normal sesegera mungkin.

Penduduk kota sekarang sibuk memandangi televisi, mendengarkan radio untuk mendengarkan jalannya operasi penghalauan anjing-anjing itu. Saluran telepon pun dipenuhi oleh laporan penduduk yang melihat di sekitar tempat tinggalnya masih ada anjing yang belum terhalau. Sementara para pimpinan perusahaan mulai menghitung-hitung jumlah kerugian yang mereka derita hari ini.

Nun di kota A, seorang gadis memandangi air hujan yang luruh pelan-pelan di jendela kamarnya. Sebentar-bentar dia juga melihat jarum jam yang sepertinya bergerak lebih cepat dari biasanya. Tak puas dengan itu semua, dibacanya ulang pesan pendek yang diterimanya dari seorang pemuda yang berjanji hari ini akan datang membawakan setangkai bunga mawar. Dulu pemuda itu pernah bercerita bahwa bunga mawar terbaik dihasilkan dari perkebunan di kota S, tempat dia tinggal.

Apakah gerimis membuatmu menepikan kendaraan? Singgah di sebuah kafe kecil yang temaram. Lalu berbincang ringan dengan seorang gadis lain yang masih lajang? Dan di akhir perbincangan, dia bertanya pada gadis itu di manakah dia bisa bermalam. Sebuah hotel kecil yang asri, atau kamar yang bisa dia tumpangi. Karena gerimis belum juga reda di sini.

Gadis itu tidak pernah menyalakan televisi. Baginya telepon selular, buku-buku novel remaja, dan lagu-lagu dalam I-Pod adalah dunianya. Juga sebuah kotak ajaib bernama dunia maya. Dari sanalah dia mengenal pemuda yang berjanji akan membawakannya mawar. Mawar yang terindah dari kota S.

Pemuda yang dia tunggu ternyata takut dengan televisi. Dia tidak pernah mau melihat tayangan televisi yang sebagian besar isinya sinetron dan misteri. Alasannya biar pikirannya tak terkontaminasi. Dia belum berangkat memenuhi janjinya. Di kamarnya dia kini sedang menulis sebuah cerita. Dia ingin membuat suatu cerita yang heboh namun masuk akal. Hal itu karena dia ingin membuat satu alasan karena tidak bisa memenuhi janji kepada gadis yang dikenalnya dari dunia maya.

Walaupun aku akrab dengannya namun akan aku tidak suka dengan caranya mencari teman kencan. Sebenarnya alasan utama kenapa pemuda temanku ini tidak jadi berangkat ke kota A untuk menemui gadis itu adalah karena hal yang sangat sederhana. Gadis itu tidak cantik seperti pacarku. Kebetulan minat kami sama, perempuan dan sastra. Sudah lama kami bersaing dalam dua hal itu. Jika dalam urusan perempuan, kami saling menilai pacar siapa yang paling cantik, maka dalam hal menulis, kami saling berlomba naskah siapa yang akan terbit di sebuah koran setiap minggu.

“Sedang menulis apa, Ko?”

Aku bertanya sambil menyeruput kopi yang masih mengepul miliknya.

“Bukan urusanmu!” Sahutnya dengan mata mendelik melihat aku enak-enakan meminum kopinya. Lalu tangannya terulur untuk merebut cangkir. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengambil kertas hasil tulisannya.

“Wah, mulai menulis hal yang absurd ya? Kenapa tidak dari dulu? Coba kau bisa menulis seperti ini setiap hari, pasti karyamu sudah bersliweran di koran minggu.” Gurauku padanya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala.

“Sudahlah, kembalikan. Aku sedang mencari akhir ceritanya!” Dia bersungut-sungut membuatku tak tega untuk membaca hingga tuntas. Kuulurkan lagi kertas-kertas itu dan segera disambut dengan setengah merebut.

Aku berbaring di ranjangnya. Mencoba ikut hanyut dalam cerita yang dikarang oleh temanku itu; “Gerimis yang menjelma menjadi anjing tembus pandang”. Suatu hal yang sulit juga untukku menuliskannya. Diam-diam aku mengakui kehebatan temanku.

“Bagaimana jika anjing-anjing itu menjelma menjadi banjir, Ko?”

“Sudah biasa kalau dari hujan terus banjir!”

Masih ketus jawaban Sasongko. Mungkin dia merasa jengkel naskahnya aku baca. Aku kembali merenung. Padahal Sasongko pasti tidak mau aku ikut-ikutan menebak atau mencari akhir cerita yang sedang ia tulis. Tapi aku tidak perduli.

“Aha! Bagaimana jika begini; anjing-anjing itu tertangkap, terus masuk ke dalam peti, dibuang ke laut, tak lama kemudian ada ledakan dari dasar laut, lalu anjing-anjing itu muncul kembali menjadi tsunami!”

“Sudah. Sudah. Aku tidak perlu bantuanmu. Aku bisa menulis akhir cerita ini sendiri!”

Sasongko semakin marah. Aku tertawa senang.

“Ya sudah kalau tidak mau diganggu, aku pergi kencan saja dengan pacarku!”

Aku yang merasa sudah puas menggodanya, bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah pintu. Rumah Sasongko ini adalah rumah yang terletak di daerah kumuh pinggiran kota. Ukurannya kecil. Ruangannya pun hanya ada dua; kamar mandi dan ruang ini. Ruang yang merangkap ruang tamu, kamar tidur, ruang belajar. Bahkan yang disebut ranjang pun sebenarnya adalah tumpukan dua buah kasur; kasur yang sudah uzur dan kasur yang agak baru. Jadi, di rumah Sasongko hanya ada dua pintu; pintu kamar mandi dan pintu keluar masuk rumah ini. Tanpa mengucap salam lagi, aku pun segera membuka pintu keluar.

Ketika daun pintu terbuka, nampak di depan rumah Sasongko ada seekor anjing. Anjing dengan tubuh yang tembus pandang. Persis seperti yang ditulis oleh Sasongko. Aku ingin berteriak memanggil Sasongko, tapi aku yakin dia akan marah lagi. Maka aku putuskan pingsan tanpa berkata-kata lagi.

Jakarta, Agustus 2007.

Comments