Pertanyaan ini rupanya segera ditindaklanjuti oleh datangnya rombongan peneliti dari sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Mereka sibuk menangkapi anjing-anjing itu. Akan tetapi yang mencengangkan adalah anjing-anjing itu selalu bisa lolos dengan cara menceburkan diri ke selokan.
Tadi, begitu sampai di tanah, anjing-anjing itu segera berkeliaran mencari makan. Mungkin sejak mereka dikumpulkan di langit menjadi mendung, mereka harus menahan lapar yang amat sangat. Anjing-anjing itu masuk ke tong-tong sampah yang mereka temui di sepanjang jalan. Herannya, mereka sama sekali tidak masuk ke warung-warung makan, toko-toko kue, atau pusat-pusat perbelanjaan.
Maka penduduk
Sebenarnya apa yang dimakan oleh anjing-anjing itu hanyalah sisa-sisa makanan kita sehari-hari. Jangan bayangkan anjing-anjing itu memakan kotoran atau bangkai. Sebentar saja, isi seluruh tong sampah di
Akhirnya polisi diturunkan. Bagaimana pun anjing-anjing ini harus segera disingkirkan dari jalanan
Ribuan polisi segera menghalau anjing-anjing itu dari tong-tong sampah. Aksi kejar mengejar pun terjadi. Sebenarnya aksi seperti ini sudah sering terjadi di
Dan seperti aksi pengusiran yang sudah-sudah, maka
Konon, jika mereka sudah masuk dalam jebakan, Pak Walikota sendiri yang akan memimpin jalannya acara pembuangan anjing-anjing ke laut. Rasanya sudah lama memang perut laut dijadikan tempat terakhir untuk segala sesuatu yang dianggap sampah di daratan. Mulai dari kendaraan tanpa mesin, limbah pabrik, hingga hasil bumi yang tak diharapkan muncul. Mungkin suatu saat nanti, akan ada cerita tentang mahluk-mahluk laut yang melakukan balas dendam kepada penduduk
Sekretaris Daerah pun mulai sibuk membuat susunan acara pembuangan anjing-anjing tembus pandang ini. Apakah acara puncaknya adalah gunting pita? Atau pemecahan kendi berisi air kembang? Akhirnya diputuskan seperti peluncuran kapal dari galangan. Pak Walikota nanti akan memecahkan kendi berisi air kembang ke arah peti. Penduduk
Penduduk
Nun di
Apakah gerimis membuatmu menepikan kendaraan? Singgah di sebuah kafe kecil yang temaram. Lalu berbincang ringan dengan seorang gadis lain yang masih lajang? Dan di akhir perbincangan, dia bertanya pada gadis itu di manakah dia bisa bermalam. Sebuah hotel kecil yang asri, atau kamar yang bisa dia tumpangi. Karena gerimis belum juga reda di sini.
Gadis itu tidak pernah menyalakan televisi. Baginya telepon selular, buku-buku novel remaja, dan lagu-lagu dalam I-Pod adalah dunianya. Juga sebuah kotak ajaib bernama dunia maya. Dari sanalah dia mengenal pemuda yang berjanji akan membawakannya mawar. Mawar yang terindah dari
Pemuda yang dia tunggu ternyata takut dengan televisi. Dia tidak pernah mau melihat tayangan televisi yang sebagian besar isinya sinetron dan misteri. Alasannya biar pikirannya tak terkontaminasi. Dia belum berangkat memenuhi janjinya. Di kamarnya dia kini sedang menulis sebuah cerita. Dia ingin membuat suatu cerita yang heboh namun masuk akal. Hal itu karena dia ingin membuat satu alasan karena tidak bisa memenuhi janji kepada gadis yang dikenalnya dari dunia maya.
Walaupun aku akrab dengannya namun akan aku tidak suka dengan caranya mencari teman kencan. Sebenarnya alasan utama kenapa pemuda temanku ini tidak jadi berangkat ke
“Sedang menulis apa, Ko?”
Aku bertanya sambil menyeruput kopi yang masih mengepul miliknya.
“Bukan urusanmu!” Sahutnya dengan mata mendelik melihat aku enak-enakan meminum kopinya. Lalu tangannya terulur untuk merebut cangkir. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengambil kertas hasil tulisannya.
“Wah, mulai menulis hal yang absurd ya? Kenapa tidak dari dulu? Coba kau bisa menulis seperti ini setiap hari, pasti karyamu sudah bersliweran di koran minggu.” Gurauku padanya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Sudahlah, kembalikan. Aku sedang mencari akhir ceritanya!” Dia bersungut-sungut membuatku tak tega untuk membaca hingga tuntas. Kuulurkan lagi kertas-kertas itu dan segera disambut dengan setengah merebut.
Aku berbaring di ranjangnya. Mencoba ikut hanyut dalam cerita yang dikarang oleh temanku itu; “Gerimis yang menjelma menjadi anjing tembus pandang”. Suatu hal yang sulit juga untukku menuliskannya. Diam-diam aku mengakui kehebatan temanku.
“Bagaimana jika anjing-anjing itu menjelma menjadi banjir, Ko?”
“Sudah biasa kalau dari hujan terus banjir!”
Masih ketus jawaban Sasongko. Mungkin dia merasa jengkel naskahnya aku baca. Aku kembali merenung. Padahal Sasongko pasti tidak mau aku ikut-ikutan menebak atau mencari akhir cerita yang sedang ia tulis. Tapi aku tidak perduli.
“Aha! Bagaimana jika begini; anjing-anjing itu tertangkap, terus masuk ke dalam peti, dibuang ke laut, tak lama kemudian ada ledakan dari dasar laut, lalu anjing-anjing itu muncul kembali menjadi tsunami!”
“Sudah. Sudah. Aku tidak perlu bantuanmu. Aku bisa menulis akhir cerita ini sendiri!”
Sasongko semakin marah. Aku tertawa senang.
“Ya sudah kalau tidak mau diganggu, aku pergi kencan saja dengan pacarku!”
Aku yang merasa sudah puas menggodanya, bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah pintu. Rumah Sasongko ini adalah rumah yang terletak di daerah kumuh pinggiran
Ketika daun pintu terbuka, nampak di depan rumah Sasongko ada seekor anjing. Anjing dengan tubuh yang tembus pandang. Persis seperti yang ditulis oleh Sasongko. Aku ingin berteriak memanggil Sasongko, tapi aku yakin dia akan marah lagi. Maka aku putuskan pingsan tanpa berkata-kata lagi.
Comments