Sunday, September 09, 2007

Anak Gembala dan Induk Serigala

Inilah nyanyian anak gembala; “Sungai-sungai memandikan diri begitu bayangan hutan menyebelah barat. Pada batu padas kupunggungkan lelah ternak dan mimpi yang tak pernah jenak. Rumput segar; hidup yang hingar bingar. Serupa lenguh yang kudengar sebagai tanda saatnya untuk mene-rabas belukar. Ayo kawan, kita kembali berjalan ke arah reruntuhan bulan. Sebab di sana kita tempatkan sebentuk rumah bagi tubuh yang mulai lungkrah.”

Sebenarnya, bagi dia, pagi adalah waktu yang paling menyenangkan. Pagi adalah saat pucuk rerumputan yang masih berbalut titik embun ditumpahi berkas-berkas cahaya oleh matahari. Ada pelangi-pelangi kecil di lantai hutan. Mungkin tak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Dia menggiring ternaknya dengan hati-hati, bukan hanya karena dia takut ada salah satu atau beberapa dari mereka luput dari pengamatannya tetapi juga karena dia tidak ingin pelangi-pelangi kecil itu rusak sedemikian cepat.

Dia ingat nyanyian tentang pelangi. “Pelangi. Pelangi. Ciptaan Tuhan.” Sejak pertama kali mendengar lagu itu, dia selalu berharap setelah gerimis, di langit, muncul seberkas pelangi. Konon, pelangi adalah tangga bagi para bidadari yang ingin mandi di sebuah telaga sunyi. Ah, Ibu. Kenapa engkau cepat pergi? Dia hampir lupa wajah ibu yang melahirkannya, hingga dia berharap bisa mencari tahu seperti apa wajah para bidadari itu. Barangkali ada wajah yang mirip dengan ibunya di antara mereka. Wajah yang selama ini dikenang lewat cahaya bulan, kerlip bintang, atau wangi hutan.

Lihatlah langkahnya begitu riang, tetapi tetap tenang. Seakan tak ada beban yang terpanggul di pundak kecilnya. Bukit-bukit dilaluinya dengan langkah panjang, mengejar ternak yang berjalan tergesa liar. Dia tak sadar tubuh kecilnya timbul tenggelam dalam tatapan seekor induk serigala yang lapar.

Dia sudah menunggu sekian lama untuk mendapatkan daging segar untuk anak-anaknya. Sekarang ini hutan tinggallah bayang-bayang pepohonan jarang di tengah-tengah ladang dan rerumputan gersang. Sulit sekali mencari mangsa buruan seperti kelinci, tikus hutan, kancil, atau menjangan. Jika nampak satu saja dari mereka, dia harus mengalah kepada anak kecil yang membawa tombak dan obor di tangannya. Dia takut sekali dengan benda yang menyala-nyala itu. Dulu dia pernah terpaksa keluar dari lubang sarangnya karena kebakaran hutan yang hebat. Dia tahu sekali benda itu terlepas dari tangan anak itu, maka akan terjadi lagi satu kejadian kebakaran. Dia membenci api!

Untuk itulah dia menunggu pagi. Saat itu api di tangan anak itu dipadamkan. Dia bisa menyerang tanpa ketakutan akan ada kebakaran yang bisa mencelakakan nyawa anak-anaknya yang belum lancar berlari. Sebelum tenaganya habis, sebelum anak-anaknya terdengar menangis dia harus bisa membunuh anak itu. Demikianlah tekadnya.

Maka disibaknya rerimbunan belukar untuk tetap bisa mengamati ke arah mana anak gembala itu pergi. Sapi-sapi yang digembalanya dari tadi sudah gelisah, mungkin dia mencium bau tubuhnya. Bau tubuh sang pemangsa! Padahal sebenarnya dia sudah mencari arah agar tubuhnya tidak terpapar oleh angin yang mengarah kepada anak gembala dan kumpulan ternaknya. Tapi cuaca memang sudah banyak berubah. Angin kencang juga hujan bisa datang sertamerta. Atau seperti sekarang, panas berkepanjangan. Bau tubuhnya meruap di udara terbuka. Ah, perburuan ini nampaknya akan sia-sia.

Sebelum dia melangkah lebih dekat, tiba-tiba anak gembala itu kembali bernyanyi; “Siang ini tak ada pelangi, langit seperti kampung memedi, pokok-pokok dilukis dalam sunyi. Tatu hutan tatu aku!”

Induk serigala itu sekarang tidak peduli lagi. Yang betul-betul dipahaminya adalah rasa laparnya sendiri juga rasa lapar anak-anaknya membuat dia harus mendapatkan makanan. Dia semakin mendekat kepada anak gembala yang tengah bersandar di batang pohon.

+++

Seperti ini juga nyanyian seorang perempuan; “Sungai-sungai memandikan diri begitu bayangan hutan menyebelah barat. Pada batu padas kupunggungkan lelah ternak dan mimpi yang tak pernah jenak. Rumput segar; hidup yang hingar bingar. Serupa lenguh yang kudengar sebagai tanda saatnya untuk menerabas belukar. Ayo kawan, kita kembali berjalan ke arah reruntuhan bulan. Sebab di sana kita tempatkan sebentuk rumah bagi tubuh yang mulai lungkrah.

Perempuan itu masuk ke bilik kamar. Sekarang sudah senja. Waktunya bekerja. Dia sudah berusaha menguburkan keletihannya di pagi hari tadi. Hanya saja rasa letih itu seakan-akan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Beban yang berat membawanya untuk masuk lebih dalam ke bilik kamar yang hanya ditutupi oleh kain. Bilik itu bagian belakang dari sebuah warung remang-remang di pinggiran kota. Tempat di mana dia sekarang membanting tulang demi hidupnya dan keluarganya di sebuah kampung. Di dalam bilik itu sudah menunggu seorang lelaki yang segera menyambutnya dengan sebuah pertanyaan.

“Dari mana asalmu?”
“Panyuren,” jawab perempuan, yang baru saja duduk di dalam kamar itu, singkat.

Gerakan perempuan itu terlihat masih kikuk. Benar seperti kata pemilik warung ini, dia ini pendatang baru! Jakunnya bergerak turun naik melihat kemolekan perempuan itu. Hanya saja dia masih penasaran dengan nama kampung asal yang tadi disebut.

“Panyuren. Agaknya saya pernah ke sana. Kampung itu terletak dekat dengan hutan lebat bukan?”

“Iya benar,” perempuan itu menjawab singkat dan terdengar ragu. Jangan-jangan lelaki di hadapannya pernah mengenal dirinya. Hal itu semakin menambah kekikukannya di depan lelaki itu. Sementara lelaki yang dikuatirkan mengenalnya itu rupanya asyik meneguk sejenis minuman beralkohol. Pada botol minuman itu, ada gambar seekor banteng yang tengah menanduk. Dia ingat pada orangtuanya yang punya dua ekor sapi. Ayahnya pernah bilang kalau nanti anak yang dilahirkannya sudah agak besar, akan dikenalkan dengan ternak dan hutan seperti kakeknya. Ah, rahasia. Kenapa harus begitu kelam?

Bertahun silam, seorang mandor penebangan kayu melihatnya sedang mandi di sebuah telaga. Akhirnya terjadilah peristiwa yang merenggut kegadisannya sekaligus menimbulkan tumbuhnya janin di perutnya. Dia tadinya tidak bisa terima. Begitu lahir, bayi itu ditinggalkannya dengan kedua orangtuanya sementara dia lari ke kota. Kini dia sadar bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk menghidupi anak yang pernah dikandungnya. Walau bagaimanapun dia adalah darah dagingnya. Dia ibu dari anak itu. Dari tempat paling hina di dunia ini, warung remang-remang tempat dia menjajakan badan, dia selalu diingatkan pada hal itu. Apapun. Apapun harus ia lakukan demi kehidupannya dan anak itu.

“Kamu cantik sekali. Marilah dekat ke sini.”

Suara itu membuyarkan lamunannya. Pada awalnya dia tampak ragu untuk meladeni rayuan lelaki itu. Akan tetapi sebentar tadi, masa lalu yang kelam sudah menyeretnya pada sebuah kesadaran; dia ingin melupakan kepahitan hidupnya. Melupakan deritanya pada sosok lelaki yang menistakan dirinya, pada sosok jabang bayi yang meruak dari celah selangkangannya, pada kesadaran bahwa dia adalah perem-puan yang sewaktu-waktu mudah dihempas oleh jerat nafsu.

Kali ini, dia membulatkan tekad untuk berkuasa sepenuhnya pada daya tubuhnya. Hanya itu yang dia punya. Hanya itu. Maka…

“Bergairahlah lelakiku. Aku ingin sekali menyempurnakan keinginanmu.”

Lelaki itu tersenyum lebar. Dia mengulurkan segelas minuman pada perempuan itu yang segera disambut dan dituntaskan dalam satu tegukan. Mereka tenggelam dalam pelukan dan ciuman.

“Tunggu dulu. Aku ingat lesung pipit ini. Bagaimana bisa kau datang kemari?”

Dengan terpaksa, perempuan itu melepaskan erat pelukan, berjalan ke arah saklar untuk menyalakan lampu kamar. Dia ingin menegaskan wajah lelaki itu. Apakah memang dia mengenalnya?

“Tidak. Tidak. Aku tidak mengenalmu. Dan tidak juga ingin mengenangmu setelah pertemuan ini.” Begitu hatinya bergemuruh.

“Ya. Aku pun begitu. Tapi kau kukenali sebagai gadis yang berjalan menunduk ketika melewati kemah kami. Gadis yang cantiknya sering sekali Mandor Onih ceritakan. Gadis yang setiap malam kutangisi setelah kejadian itu.” Lelaki itu tiba-tiba mengisak. Tangannya mengapai seakan meminta perempuan itu mendekat dan memeluk dirinya. Dan ketika perempuan itu terengkuh olehnya, pada telinganya dia berbisik lirih.

“Gadis yang aku cinta.”

Ah, inikah cinta? Dia pun gemetar dalam pelukan lelaki itu. Seperti lampu di kamar yang berpijar, dia merasa terbakar sendirian.

“Kau punya anak?” Lelaki itu kembali bertanya.

Mengangguk lemah, dia memejamkan mata. Dua butir air mata segera meluncur di atas pipinya yang keputihan oleh pupur.

“Anak Mandor Onih?”

Dia mengangguk lagi. Kali ini dia melepaskan pelukan lelaki itu. Lelaki itu kaget. Apakah dia menolak cintanya? Dipandangnya lekat mata sembab perempuan itu. Mata itu sudah berubah menyala. Ada sesuatu yang akan terjadi.

“Kita jadi tidak? Aku dan anakku perlu makan bukan rayuan!”

+++

Senja itu, di sebuah lubang sarang, anak-anak serigala mengunyah rerumputan. Induknya belum juga pulang. Anak gembala yang lengan dan kakinya terluka karena gigitan serigala tertatih menggiring ternaknya ke kandang, dan perempuan yang adalah ibunya, di dalam kamar mengisak perlahan. Entah isak tangis senang hari ini dia mendapat uang dari langganan pertamanya, atau tangis kerinduan pada kampung halaman. Atau…

Jakarta, Agustus 2007.