Terlalu Bodoh untuk Mati, Terlalu Lucu untuk Menyerah

Malam itu, aku berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayanganku sendiri yang tampak lebih asing dari biasanya.

Mata bengkak, lingkaran hitam di bawahnya, dan rambut yang sudah berantakan selama berhari-hari. Rasanya kosong, benar-benar kosong, seperti aku sudah menghabiskan seluruh energiku hanya untuk sampai di titik ini—siap untuk mengakhiri segalanya.

Aku menatap tali yang sudah kupersiapkan dengan begitu hati-hati, simpulnya sudah kuikat seperti yang diajarkan di internet. Tanganku bergetar, bukan karena takut, tapi karena kesadaran yang aneh bahwa aku akhirnya akan lepas dari semua ini.

Tapi kemudian, entah kenapa, aku berubah pikiran. Bukan karena aku menemukan secercah harapan atau sesuatu yang klise seperti itu, tidak. Aku hanya merasa... malas.

Rasanya benar-benar malas untuk menghabiskan malam ini sendirian di kamar ini, seperti halnya malam-malam sebelumnya. Aku melempar tali itu ke sudut ruangan dan menarik jaket.

Aku butuh keluar dari sini, ke mana saja, di mana aku bisa melihat orang lain. Aku ingin melihat sesuatu yang tidak berhubungan dengan depresi atau kesedihan.

Langkahku membawaku ke sebuah bar di ujung jalan, sebuah tempat yang selalu kuabaikan sebelumnya. Malam itu, ada poster di luar yang bertuliskan *Stand Up Comedy Night*. Mungkin tawa orang lain bisa membantuku melupakan segalanya, setidaknya untuk sementara waktu.

Aku mendorong pintu bar itu dan masuk, mencari tempat duduk di sudut yang agak gelap, berharap tidak ada yang memperhatikanku.

Bar itu tidak terlalu ramai, tapi cukup penuh. Orang-orang duduk dengan minuman di tangan, beberapa tertawa kecil, beberapa sibuk dengan telepon mereka.

Panggung di depan, kecil dan diterangi dengan lampu sorot kuning yang kusam, tampak sederhana. Aku menyesap birku, menunggu komika berikutnya muncul. Saat itulah seorang pria naik ke atas panggung. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Abdul.

“Hei, apa kabar? Nama gue Abdul,” katanya dengan senyum lebar yang tampak sedikit dipaksakan. “Gue di sini malam ini buat ngomongin... bunuh diri.”

Penonton terdiam. Aku juga terdiam, mendadak perhatianku terfokus sepenuhnya. Bunuh diri? Topik itu terlalu dekat, terlalu pribadi.

Abdul tersenyum kecil, seolah tahu dia sudah menarik perhatian semua orang. “Tenang, gue nggak serius kok... setidaknya, nggak sekarang. Tapi gue mau cerita. Gue pernah hampir bunuh diri.”

Satu dua orang mulai tertawa gugup, tapi Abdul terus berbicara dengan tenang, seolah dia tahu ini adalah bagian dari permainannya.

“Iya, serius. Gue berdiri di atas atap apartemen gue waktu itu, mikir kalau ini mungkin akhirnya... tapi lo tau apa yang bikin gue nggak jadi? Fisika!”

Penonton mulai tertawa, dan aku sendiri tersenyum kecil, meski masih belum sepenuhnya mengerti ke mana arah cerita ini.

“Gue bodoh soal fisika,” lanjutnya. “Gue nggak ngerti gravitasi, nggak ngerti tali simpul, dan apalagi soal sudut jatuh yang bener. Gue berdiri di sana, pegang tali, dan tiba-tiba gue mikir, ‘Anjir, kalau gue salah hitung, gue nggak bakal mati, gue cuma bakal tercekik dan lumpuh seumur hidup.’”

Tawa penonton semakin keras, dan tanpa sadar aku ikut tertawa. Ada sesuatu yang begitu konyol dalam cara dia membicarakan sesuatu yang begitu serius, sesuatu yang pernah hampir kulakukan sendiri.

Abdul melanjutkan ceritanya dengan memutar-mutar ekspresi, membuat parodi tentang bagaimana dia mencoba memahami hukum-hukum fisika yang rumit hanya untuk gagal bunuh diri dengan ‘elegan.’

“Bayangin aja,” katanya sambil tertawa kecil. “Lo niat mau mati, tapi malah lumpuh gara-gara lo salah hitung sudut jatuh. Ironis banget, kan? Gue lebih takut mati bodoh daripada mati sendiri.”

Aku terus tertawa bersama orang-orang di ruangan itu, tapi tawa itu mulai terasa lain. Di balik semua leluconnya, ada kejujuran yang tak bisa kutolak. Abdul membicarakan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan bisa dilihat dari sisi komedi. Aku merasa seolah dia sedang berbicara langsung padaku, seolah dia mengerti apa yang kurasakan, rasa putus asa yang begitu dalam tapi diwarnai dengan absurditas hidup yang selalu hadir, bahkan di saat-saat tergelap.

"Dan lo tau apa yang bikin gue akhirnya turun dari atap malam itu?" lanjut Abdul. "Gue mikir, 'Oke, gue gagal bunuh diri sekarang, mungkin karena gue terlalu bodoh buat mati. Jadi kenapa nggak gue hidup aja dan bikin orang ketawa soal ini?'"

Penonton tertawa keras, menepuk-nepuk meja, sementara aku hanya terdiam. Entah kenapa, ucapan itu membuat sesuatu dalam diriku bergetar. Itu bukan pencerahan tiba-tiba, bukan kesadaran bahwa hidup ini penuh dengan makna.

Tidak, aku masih merasa kosong, masih merasa tak ada yang benar-benar berubah. Tapi ada sesuatu yang aneh dalam cara dia melihat hidup, cara dia menerima bahwa hidupnya tidak sempurna, tapi tetap bisa dijadikan bahan tawa.

Aku menyadari bahwa mungkin itulah yang aku butuhkan. Tidak ada jawaban pasti tentang kenapa aku harus hidup, tapi mungkin ada cara untuk terus berjalan tanpa harus memikirkan semuanya terlalu dalam. Mungkin aku bisa melihat hidup dari sudut yang berbeda—sebuah absurditas yang, jika dilihat dengan benar, bisa membuatku tertawa.

Pertunjukan selesai, Abdul mengucapkan salam perpisahan dan turun dari panggung. Penonton masih tertawa dan berbincang-bincang, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja kudengar. Aku menyelesaikan birku, bangkit dari kursi, dan melangkah keluar dari bar.

Di luar, udara malam dingin menggigit. Jalanan sepi, hanya suara beberapa mobil yang melintas. Aku berjalan perlahan, membiarkan pikiranku melayang-layang tanpa arah. Tali yang kutinggalkan di sudut kamar tadi seolah masih menggantung di pikiranku, tapi entah kenapa, sekarang terasa jauh lebih ringan.

Malam itu, aku berjalan tanpa tujuan. Langkahku membawa aku ke atap gedung apartemenku, tempat yang seperti cerita Abdul ketika hampir saja mengakhiri segalanya. Aku berdiri di tepi, menatap ke bawah. Kali ini, tidak ada rasa takut atau keinginan untuk melompat. Hanya ada keheningan.

Aku menatap bintang-bintang yang muncul samar-samar di langit malam. Di sana, di tengah gelapnya malam, aku tersenyum kecil. Aku masih tidak tahu kenapa aku harus terus hidup, dan mungkin aku tidak akan pernah tahu. Tapi setidaknya, untuk malam ini, aku masih di sini.

"Ya, mungkin gue terlalu bodoh buat mati," kataku pelan, mengutip lelucon Abdul sambil tertawa kecil.

Aku berbalik, meninggalkan atap itu dan berjalan kembali ke dalam apartemenku. Hidup masih terasa sama—kosong, tak bermakna. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, kekosongan itu terasa sedikit lebih ringan, seperti beban yang bisa kutertawakan. Dan mungkin, itu cukup untuk membuatku bertahan sedikit lebih lama.

Aku menutup pintu apartemen, duduk di sofa, dan menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang akan terjadi besok, entah bagaimana aku akan menjalani hari-hari ke depan. Tapi untuk sekarang, aku merasa sedikit lebih damai. Bukan karena aku menemukan makna hidup, bukan karena ada jawaban yang jelas. Tapi karena aku sadar bahwa, di tengah absurditas yang ada, kadang kita hanya perlu tertawa.

Mungkin hidup ini memang tidak pernah benar-benar masuk akal. Dan mungkin itu adalah bagian dari keindahannya. Entah itu soal depresi... atau fisika lagi.

Comments