Kota Tanpa Anjing

Benarkah taman firdaus diciptakan sedemikian sempurna? Jika demikian, rasanya kita tak perlu berpanjang-panjang bercerita tentang sebuah kampung kumuh di pinggiran kota besar. Sebab bagiku, kampung ini begitu sempurna. Kami bisa menjumpai aneka tanaman, sebut saja sebuah jenis tanaman langka, terkoleksi dengan baik di dalam sebuah buku - anak-anak sini menyebutnya buku, padahal yang dimaksud adalah lembaran herbarium - milik Pak Pandi, seorang pensiunan pegawai kebun kota. Sepulang sekolah, kami biasanya bermain di rumahnya untuk mendengarkan asal tanaman-tanaman itu. Kami senang sekali bisa tahu lebatnya hutan di Kalimantan dulu, juga hutan Amazon. Karena dari televisi, kami senantiasa dijejali dengan berita tentang kebakaran hutan. Pak Pandi adalah orang yang sering memberiku uang jajan. Kata Ibu, dia juga yang memberiku beasiswa agar tetap sekolah.

Jika kami ingin mengenal berjenis-jenis binatang, maka kami datang kepada Bung Akar, mantan demonstran 60-an yang tak pernah sukses untuk mempunyai jabatan politik pada satu partai pun. Andai kami ingin tahu bagaimana hidup seekor meerkat – kucing kecil padang gurun di Afrika, maka Bung Akar akan bercerita panjang lebar betapa rapuhnya sebuah organisasi. Ah, memang pintar sekali dia menggunakan imaji binatang untuk berkisah. Dia pula yang menjuluki kami, anak-anak kampung ini dengan berbagai nama binatang. Mastur yang tubuhnya ceking dipanggilnya Mastur Lemur, Lemur adalah binatang seperti kera namun mukanya mirip tupai itu pandai sekali menari. Lalu ada Gudil Jerapah, Roni Kuda Nil, dan Agus Zebra. Ah, ini yang lucu. Agus dinamakan Zebra karena dia sering sekali masuk angin, dan oleh ibunya dia sering dikerok. Lucu bukan? Aku sendiri dinamainya Ajak. Arman Ajak, itulah panggilanku. Ajak itu artinya serigala dalam bahasa Jawa. Tapi hingga kini, aku tidak tahu apa alasan Bung Akar menyebut aku demikian.

Suatu ketika Pak Lurah bertandang ke rumah Pak Pandi. Kebetulan kami sedang berada di sana. Tanpa sengaja kami mendengar sebuah rencana. Rencana yang jika terjadi, akan menghapuskan taman firdaus, kampung kami ini. Sebuah perusahaan kontraktor, yang dipimpin oleh saudara Pak Lurah ingin membangun perumahan modern yang cukup luas di pinggiran kota. Pak Pandi adalah cukup dihormati di kampung kami oleh sebab itu dia sering didatangi pejabat-pejabat RT, RW sampai utusan Walikota jika akan ada peninjauan kebersihan kota. Maklumlah kampung kami dianggap begitu kumuh.

“Oh, jadi begitu ya, Pak.”
“Ya. Rencananya seperti itu.” Pak Lurah memasang senyum sementara jidat Pak Pandi berkerut.
“Lalu, kami semua ini akan dikemanakan?”
“Ah. Begini. Ini jujur saja, ya,” bisik Pak Lurah.
Lalu segera menyambung sambil membuka map yang dibawanya.
“Proyek ini nilainya memang besar. Pak Pandi tahu sendiri bukan, bahwa harga bahan bangunan sekarang ini sangat tinggi. Maka dari itu, pesan dari Pak Camat, sesuai edaran dari Pak Walikota juga, diusahakan. Ini mohon pengertiannya. Agar biaya relokasi warga diminimalisir. Begitulah Pak Pandi.”
“Tapi Pak, sebagian besar rumah dan tanah di sini sudah bersertifikat?”
“Ya. Saya tahu. Saya ini ‘kan Lurahnya. Hehehe…” Pak Lurah tertawa.
Pak Pandi cuma bisa tersenyum nyinyir.
“Saya sudah menginventarisasi berapa kepala keluarga yang harus merelakan tanah dan rumahnya. Paling nanti saya kasih uang sekedarnya untuk kontrak,”lanjut Pak Lurah.
“Jika sudah benar-benar dipikirkan, saya rasa warga di sini juga tidak keberatan. Selama ini kami sudah diakrabkan dengan kekumuhan, jadi seandainya kami di relokasi ke tempat yang lebih baik tentunya kami tidak keberatan.”
Lagi-lagi Pak Lurah tertawa. Pak Pandi bingung sebab merasa tak ada kata-katanya yang lucu atau salah.
“Saya ini cuma bilang biaya relokasi, Pak Pandi. Soal mau pindah ke mana, saya tidak peduli.”
“Kalau begitu, ini seperti pengusiran Pak?”
“Hus, jangan ngawur! Saya tidak mengusir siapa pun. Hanya merelokasi saja.”
“Aduh, Pak?”

Lalu, fragmen singkat itu oleh kami segera masuk ke dalam telinga Bung Akar. Tentu saja, darah demonstrannya kembali menggelegak.
“Ini penghinaan atas hak asasi manusia! Kita hidup di kampung ini karena keadaan. Terpaksa. Dan kita semua telah menghidupi kota ini dengan keringat dan kerja keras kita. Ganti rugi adalah syarat utama! Jangan mau kita dianggap sebagai anjing buduk yang bisa diusir begitu saja!” Berapi-api sekali Bung Akar berorasi di depan pengunjung warung. Akhirnya ramai orang mendatangi rumah Pak Pandi memprotes rencana pembangunan itu.

Lantaran Bung Akar menyebutkan penghuni kampung kumuh ini seperti anjing buduk, maka rencana pembangunan perumahan itu disebut sebagai rencana pembangunan “Kota Tanpa Anjing”. Sebenarnya aku ingin ikut dalam aksi demo itu, namun tiba-tiba Ibu memanggilku.
“Man, jangan ikut-ikut. Bahaya!”
“Ah, Ibu. Arman hanya ingin melihat saja.”
“Pokoknya jangan. Ibu tidak mau engkau celaka.”
Aku hanya bisa memperlihatkan muka cemberut ketika berjalan ke arahnya. Ibu memasang senyum yang manis, mencoba menghiburku. Dia menyambut tubuh mungilku dengan dekapannya. Maka api yang tadinya membara dalam dadaku tiba-tiba padam seperti tersiram air dingin. Setiap pulang bermain aku mampir ke rumah sahabatku, Roni, untuk minta segelas air dingin. Kata orang, Roni menjadi gemuk seperti kuda nil gara-gara sering minum air dingin. Rasanya lega sekali jika meminum air dingin saat hari terik.

“Kau mau tahu kenapa Bung Akar memanggilmu Ajak?”
“Mau. Tapi, apakah ibu benar-benar tahu ceritanya?”
Ibu memainkan anak rambut di dahiku. Ada sebuah bekas luka bertengger di sana, meski tidak berbentuk petir seperti bekas luka Harry Potter, tapi cukup untuk kemudian, entah kapan saatnya, orang-orang akan memanggilku Arman Codet.

“Luka ini kau dapatkan waktu kamu masih bayi. Ada pertengkaran hebat di rumah kakekmu dulu.”
“Di manakah rumah kakek, Ibu?”
“Jauh dari sini. Dan sekarang Ibu, kau, maupun ayahmu tak boleh lagi ke sana.”
“Ayah? Aku punya ayah, Ibu? Di mana Ayah sekarang?”

Ibu menangis begitu saja. Sepasang airmata leleh di kedua pipinya.
“Waktu itu, Ibu masih remaja. Ibu tidak tahu apa yang Ibu telah lakukan dengan laki-laki itu. Kakekmu marah besar, karena Ibu sudah dijodohkan dengan seorang pegawai. Bahkan rencananya tak lama setelah Ibu selesai SMA, Ibu akan dinikahkan dengannya.”
“Katakan Ibu, siapakah Ayahku?”

Ibu menyusut airmata itu dengan lengan bajunya.
“Nenek minta agar aib itu tak terbongkar, Ibu buru-buru dinikahkan dengan laki-laki pilihan Kakek. Tapi akhirnya laki-laki itu tahu, hingga suatu ketika kau jadi pelampiasan kekasarannya. Itu lah asal muasal luka di dahimu, Nak.”
“Siapa Ayahku sebenarnya, Ibu?” Aku mulai tidak sabar.

Tapi Ibu tidak segera menjawab pertanyaanku, Ibu terus saja bercerita.
“Ibu lari dari laki-laki itu untuk mencari Ayahmu. Tapi Ayahmu terlalu sibuk dengan kegiatannya menentang para penguasa ketika itu. Ayahmu ditangkap dan di penjara. Akhirnya Ibu memutuskan untuk tinggal di sini.”
“Di mana Ayah sekarang Ibu?” Aku bertanya lagi.

“Laki-laki itu rupanya menyesal, dia mencari Ibu. Dia meminta maaf atas kekasarannya kepadamu, juga kepada Ibu. Ibu rasa, sebaiknya kau juga memaafkan dia, Nak. Sebenarnya dia laki-laki yang baik, hanya saja waktu itu, dia merasa dimanfaatkan dan ditipu oleh Kakek dan Nenekmu. Karena penyesalannya, dia pun tinggal tak jauh dari rumah ini. Dia juga membantu agar Ibu bisa tetap hidup dan kau bisa sekolah. Meskipun kini dia sudah pensiun.”

“Tapi dia bukan ayahku! Aku mau tahu siapa dan di mana ayahku!” Aku berteriak di pangkuan Ibu. Ibu memegangku erat-erat. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara ramai orang gegap. Tidak berapa lama, terlihat kobaran api dan asap hitam. Sirene mobil polisi pun segera terdengar. Orang-orang berlarian. Mirip tikus di selokan.

Ibu ketakutan, aku juga. Kami tak melepas pelukan. Ibu menutup pintu rapat-rapat. Kuatir akan datang seseorang tak dikenal atau polisi yang merangsek mencari tersangka pembakar kampung ini. Kami mulai menangis bersama. Dalam tangis, masih saja aku didera rasa penasaran.
“Jadi siapakah ayahku, Ibu? Di manakah dia?”
Ibu menyeka air mata yang mengalir di pipiku sebelum menyeka miliknya sendiri.
“Karena dulu, waktu dilukai laki-laki suami Ibu itu, kau tak menangis, maka ayahmu menjulukimu Ajak, Serigala kecil.”

Juli, 2007.

Comments