WAHAB duduk di pinggir jalan kampung, menyandarkan tubuhnya pada batang pohon tua yang sudah mulai keropos. Di depannya terhampar sawah-sawah hijau yang berakhir di kaki bukit, tempat matahari sore mulai merayap turun. Angin bertiup pelan, membawa hawa dingin yang menyapu wajahnya, namun tidak bisa menghilangkan gejolak di dalam dadanya.
Ia memikirkan nasib manusia. Manusia yang katanya beradab, tetapi menurut Wahab semakin jauh dari Tuhan. Semakin lama, semakin sibuk dengan urusan dunia, dengan uang, jabatan, pameran harta, dan keangkuhan. Bahkan ibadah, yang seharusnya tulus kepada Tuhan, kini menjadi ajang pamer. Wahab menyaksikan orang-orang di kampungnya beribadah dengan khusyuk di depan publik, tetapi di belakang, mereka bicara penuh kesombongan tentang amal ibadah mereka.
"Ini tidak adil," pikir Wahab. "Dulu, umat manusia punya nabi-nabi yang membimbing mereka, mengingatkan mereka tentang kebenaran. Sekarang? Tak ada lagi nabi. Manusia dibiarkan terombang-ambing dalam nafsu duniawi. Padahal, manusia hari ini jauh lebih buruk daripada manusia zaman dulu."
Wahab bukanlah seorang anak yang biasa. Sejak kecil, ia selalu merasa ada panggilan dari dalam hatinya, suara yang membisikkan bahwa dirinya memiliki tugas besar. Tugas untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran moral yang semakin nyata. Ia sering kali memandangi langit malam, bertanya kepada bintang-bintang, "Mengapa aku tidak bisa menjadi nabi? Mengapa harus berhenti di masa lalu? Tidakkah manusia hari ini membutuhkan nabi yang baru?"
Gagasan itu telah lama mengendap di benaknya, tetapi kini semakin kuat. Setiap kali Wahab melihat ketidakadilan, kemunafikan, dan keserakahan di sekelilingnya, tekadnya semakin bulat. Ia ingin menjadi seorang nabi. Seorang pembawa kebenaran yang baru. "Tuhan, berikan aku kesempatan," Wahab sering berdoa dalam hati. "Izinkan aku menjadi pembawa pesan-Mu untuk manusia yang semakin tersesat ini."
Di benaknya, Wahab telah merencanakan semuanya. Untuk menjadi nabi, dia tahu bahwa dia harus pergi menjauh dari keramaian, menenangkan diri, menemukan pencerahan. Dia ingat cerita tentang para nabi dan wali yang menyendiri, bermeditasi di gua-gua, di puncak bukit, di tengah hutan belantara. Hanya dengan begitu, ia percaya, wahyu akan turun kepadanya.
***
Keesokan harinya, Wahab memutuskan untuk memulai perjalanan spiritualnya. Dengan membawa beberapa bekal—sepotong roti, air minum, dan beberapa buah yang dikumpulkannya dari pohon di sekitar rumahnya—ia berjalan meninggalkan kampung. Tujuannya adalah bukit di ujung sana, di balik sawah-sawah itu. Bukit yang sering ia lihat dari jauh, namun tak pernah ia dekati.
Langkahnya ringan pada awalnya, penuh semangat, seolah ia yakin bahwa di puncak bukit itu ia akan menemukan jawabannya. Di sana, ia akan menyepi, berdoa, dan menunggu petunjuk dari langit. Namun, belum jauh ia berjalan, baru beberapa ratus meter meninggalkan batas kampung, seekor anjing liar muncul di depannya.
Anjing itu tampak kurus, dengan bulu kotor dan mata merah menyala. Giginya yang tajam terlihat saat ia meringis, mengeluarkan suara rendah yang membuat bulu kuduk Wahab meremang. Wahab terhenti. Tubuhnya gemetar, kakinya seperti tertanam di tanah, tak mampu bergerak.
Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Wahab hanya berdiri di sana, menatap anjing itu yang terus menggeram. Ia ingin berlari, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia ingin berteriak, tetapi mulutnya terasa terkunci. Akhirnya, dengan segenap keberanian yang tersisa, Wahab berbalik dan berlari pulang secepat mungkin, meninggalkan anjing itu yang hanya menatapnya dengan rasa bingung.
***
Wahab duduk terengah-engah di depan rumahnya, wajahnya pucat. Keringat mengalir deras di dahinya. "Bagaimana mungkin?" pikirnya. "Bagaimana mungkin aku, yang bercita-cita menjadi nabi, takut hanya pada seekor anjing?" Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia yang ingin menyelamatkan dunia, menyampaikan pesan kebenaran, tetapi tak sanggup menghadapi seekor binatang jalanan.
Malam itu, Wahab tak bisa tidur. Pikiran tentang ketakutannya terus menghantuinya. Ia teringat kisah-kisah para nabi yang tak gentar menghadapi rintangan dan ancaman, yang berjalan dengan keberanian di jalan Tuhan. Ia merasa kecil, tak layak. Namun di balik itu, ada sebuah suara kecil yang berbisik di dalam dirinya: "Jangan menyerah."
Keesokan harinya, Wahab mencoba lagi. Kali ini ia menghindari jalan yang sama, mencari jalur lain menuju bukit itu. Ia berjalan melewati ladang tebu yang jarang dilewati orang, berharap tak ada lagi yang menghalanginya. Namun, belum jauh dari kampung, ia berpapasan dengan seorang lelaki tua yang sedang menuntun kambingnya.
Lelaki tua itu berhenti di tengah jalan, menatap Wahab dengan sorot mata yang penuh misteri.
“Mau ke mana, Nak?” tanya lelaki tua itu dengan suara serak, menggema seperti suara yang berasal dari tempat jauh.
Wahab ragu, namun ia merasa tidak ada alasan untuk berbohong. “Aku mau ke bukit. Aku ingin menyendiri di sana, mencari pencerahan.”
Lelaki tua itu memandang Wahab dari ujung kepala hingga kaki, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia kemudian tertawa kecil, suaranya seperti gemerisik daun kering yang diinjak.
“Bukit itu, ya? Kau tahu, Nak, bukit itu bukan tempat yang aman untuk seorang anak seperti dirimu. Ular-ular besar masih berkeliaran di sana. Dan harimau yang sudah tua, suka mengintai dari balik pohon-pohon kering. Belum lagi kabarnya ada angin kencang yang sering menghempas orang hingga terlempar ke jurang.”
Wahab terdiam. Kata-kata lelaki tua itu menyusup seperti racun ke dalam keberaniannya yang mulai goyah. Harimau? Ular besar? Jurang? Ia merasa kakinya sedikit gemetar, tapi hatinya berusaha menolak ketakutan itu. "Tidak mungkin seburuk itu," pikir Wahab. Ia tahu bukit itu hanya sebidang tanah yang gersang, bukan hutan belantara yang mengerikan. Tapi bayangan harimau dan ular besar yang berkelebat dalam imajinasinya membuat pikirannya kacau.
“Sudah banyak yang tak kembali dari sana, Nak,” lanjut lelaki tua itu dengan nada yang lebih rendah, seperti berbisik. “Jangan sampai kau jadi yang berikutnya.”
Mendengar itu, Wahab merasa dingin menjalari tulang belakangnya. Ketakutan yang tadinya hanya bisikan kecil kini mulai membesar menjadi teror nyata. Ia menatap bukit itu lagi, namun kali ini bukan dengan semangat, melainkan dengan rasa gentar yang tak bisa ia hindari.
Ia memutuskan, mungkin hari ini bukan waktu yang tepat. "Aku akan mencoba lain kali," batinnya. Wahab berbalik, pulang ke kampung dengan perasaan campur aduk antara malu dan takut.
***
Wahab duduk di pinggir ranjangnya, menatap langit-langit kamar yang rendah. Malam itu hening, terlalu hening. Hanya suara angin yang berdesir pelan di luar jendela. Wahab mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk kembali adalah langkah bijak. Namun di dalam hatinya, ia merasa seperti pecundang.
“Mengapa aku takut? Jika aku benar-benar dipilih menjadi nabi, seharusnya aku tidak takut pada ular atau harimau,” bisiknya pada dirinya sendiri. Rasa malu itu terus menghantui, membuat hatinya terasa berat. Apa gunanya bermimpi menjadi nabi jika berhadapan dengan seekor anjing saja sudah membuatnya gentar?
Wahab merebahkan tubuhnya di atas kasur jerami, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya tak tenang. Ia membayangkan perjalanan yang seharusnya ia lanjutkan, angin yang berbisik di telinganya di bukit, mungkin saja wahyu Tuhan menunggu di sana. Tapi ia telah menyerah bahkan sebelum sampai.
Saat ia mencoba memejamkan mata, tiba-tiba ada sebuah cahaya yang menerobos masuk dari celah-celah atap kamarnya. Cahaya itu sangat terang, hampir menyilaukan. Wahab membuka matanya dan seketika itu juga ia terpaku. Cahaya itu tidak biasa, itu bukan cahaya lentera, bukan juga pantulan bulan. Ia bangkit dari ranjang, dengan jantung yang berdegup kencang, menatap ke arah cahaya itu.
Di dalam cahaya, ia melihat sesosok bayangan. Sosok itu bersinar begitu terang, seakan-akan diliputi oleh ribuan bintang. Bahunya besar, sayapnya menjulang tinggi, hampir menyentuh langit-langit. Seorang malaikat. Wahab tahu itu adalah malaikat.
Tubuh Wahab gemetar, antara kagum dan ketakutan. “Ini dia!” pikirnya. “Ini saatnya. Tuhan mengirimkan malaikat ini untukku. Aku akan menerima wahyu!”
Namun, sebelum Wahab sempat berkata apa pun, sosok malaikat itu berhenti di tengah cahaya. Seolah-olah ragu, sosok itu menatap Wahab dalam diam. Lalu, perlahan-lahan, malaikat itu berbalik. Cahaya di sekelilingnya mulai memudar, sosoknya semakin jauh, hingga akhirnya menghilang begitu saja, meninggalkan Wahab dalam kegelapan yang pekat.
“Mengapa?” Wahab berteriak dalam hati. “Mengapa malaikat itu pergi? Mengapa aku tidak dipilih?”
***
Keesokan harinya, Wahab bergegas menemui Mahdi, sahabatnya sejak kecil. Ia tahu, Mahdi pasti akan mendengarkan, walaupun Mahdi selalu meremehkan ide-idenya yang aneh. Tapi kali ini, Wahab yakin, ini nyata. Ia benar-benar melihat malaikat.
“Kau tidak akan percaya apa yang terjadi tadi malam,” kata Wahab dengan napas yang terburu-buru saat bertemu Mahdi di tepi ladang. “Aku melihat malaikat!”
Mahdi mengerutkan dahi, lalu tertawa kecil. “Malaikat? Ah, kau pasti bermimpi, Wahab.”
“Tidak, Mahdi. Ini nyata. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ada cahaya yang menerobos masuk dari atap kamarku. Lalu, aku melihat malaikat berdiri di sana. Dia hampir memberiku wahyu. Aku yakin itu! Tapi… lalu dia pergi. Aku tidak tahu kenapa.”
Mahdi tersenyum sinis. “Malaikat, ya? Wahab, kau ini aneh. Sudah aku bilang, jangan terlalu banyak membaca cerita-cerita kuno itu. Kau terlalu terobsesi. Kau bukan nabi, Wahab. Dan kau tidak akan pernah jadi nabi.”
Wahab terdiam, kata-kata Mahdi menusuk dalam. Ia tahu, Mahdi tidak mengerti. Tapi bagaimana jika Mahdi benar? Bagaimana jika semua ini hanyalah khayalan yang ia buat sendiri karena terlalu terobsesi?
Wahab menatap langit di atasnya, hatinya bergumul dengan kebenaran yang tak ingin ia terima. Mungkin memang benar, Tuhan telah memutuskan bahwa dia bukanlah pilihan-Nya. Mungkin memang takdirnya bukan menjadi nabi. Dan kini, Wahab merasa, ia telah menerima pesan itu—bukan dari malaikat, tetapi dari ketakutannya sendiri, dari kemampuannya untuk memahami batas dirinya.
Ia menundukkan kepala. Langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah semua impiannya yang pernah ia bawa kini berubah menjadi beban yang tak tertahankan.
Unit 0138, September 2024
Comments