Aku tak pernah mengerti kenapa Arnold selalu memanggil orang dengan nama "Stanley". Setiap kali ada seseorang yang mendekat ke lapaknya di pasar, dia akan menoleh dengan senyum tipis, memamerkan pisau lipat yang diputar dengan lincah di antara jarinya, dan berkata, "Stanley, pisau lipat bagus, murah."
Sehari-hari, aku melihatnya dari lapakku sendiri, yang hanya beberapa meter di sebelahnya. Aku menjual baju-baju bekas. Pasar ini, di kota yang penuh kebusukan, sudah jadi tempatku sejak belasan tahun lalu. Di sini, orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah mereka tak pernah berubah, sama-sama keras dan dingin. Kota ini, begitulah tempat ini bekerja—sebuah lautan tanpa dasar, menelan semua yang tak bisa menyesuaikan diri.
Tapi Arnold, dia berbeda. Aku mulai berjualan di sampingnya setahun yang lalu. Tidak seperti kebanyakan pedagang di pasar, dia pendiam, terisolasi dalam dunianya sendiri. Satu hal yang segera membuatku penasaran adalah kebiasaannya memanggil semua orang dengan nama yang sama. Entah mereka laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua orang di mata Arnold adalah Stanley.
"Stanley? Siapa Stanley?" Suatu kali aku memberanikan diri bertanya kepadanya, saat lapak kami sama-sama sepi pengunjung. Aku berharap, mungkin, aku bisa mendapat jawaban yang masuk akal.
Arnold hanya tersenyum, pandangannya tajam namun kosong, seperti melihat sesuatu di balik keramaian pasar yang tak bisa aku lihat. “Stanley adalah semua orang di sini, Sari,” jawabnya, suaranya begitu datar dan tidak terbaca, seolah mengatakan sesuatu yang hanya dia pahami.
Jawaban itu menambah misteri tentang siapa Arnold sebenarnya. Tidak banyak yang tahu asal-usulnya. Seorang pedagang tembakau pernah bilang, “Dia itu mantan tentara, katanya dulu pernah di Aceh, pas Daerah Operasi Militer.” Rumor itu dengan cepat menyebar di kalangan pedagang lain. Mereka bilang dia kehilangan seorang teman di medan perang. Teman itu bernama Stanley. Sejak saat itu, Arnold memanggil semua orang dengan nama temannya yang mati, seolah tidak ingin melupakan siapa pun yang pernah melewati hidupnya.
Tapi ada juga yang mengatakan sesuatu yang berbeda. Mereka bilang Arnold bukan nama aslinya. Ada yang percaya dia adalah Mahmud, seorang pria yang melarikan diri dari masa lalunya. Seolah dengan menggunakan nama palsu dan memanggil semua orang Stanley, dia sedang mencoba menciptakan jarak antara dirinya dan dunia. Semacam perlindungan dari sesuatu yang dia tahu, tapi kita tidak.
Pasar semakin gaduh hari demi hari. Di kota ini, kekerasan seperti udara yang kita hirup. Banyak orang jahat yang berkeliaran, dan bagi mereka, pisau lipat seperti yang dijual Arnold adalah barang berharga. Tapi anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang berani mengganggu Arnold. Mereka bilang itu karena keahliannya memainkan pisau. Setiap kali ada seseorang yang mendekatinya dengan niat buruk, Arnold hanya perlu membuka pisaunya dengan satu gerakan cepat, dan dalam sekejap, pisau itu sudah berputar di antara jari-jarinya. Gerakannya begitu lincah, hampir seperti pisau itu punya kehidupan sendiri.
Orang-orang yang menonton dari jauh pasti merasa takut, atau setidaknya, berhati-hati. Aku sendiri pernah melihatnya, bagaimana pisau itu seolah menari di antara tangannya, membuat udara di sekitar Arnold terasa lebih dingin. Aku tak pernah tahu apakah dia benar-benar akan melukai orang lain atau tidak. Tapi aku mengerti kenapa orang-orang jahat di kota ini memilih untuk menghindarinya.
Suatu hari, Aipda Hartono datang ke pasar. Dia seorang polisi yang sering berpatroli di sini, terutama sejak banyak kasus penyerangan dan pencurian di sekitar area ini. Hartono selalu tampak gelisah setiap kali melihat Arnold. Baginya, Arnold adalah ancaman yang tak kasat mata. Menurut Hartono, seseorang seperti Arnold, yang menjual pisau di kota yang penuh dengan kekerasan, hanya akan memperburuk keadaan.
“Aku tidak suka caranya berjualan,” kata Hartono padaku suatu hari. "Orang-orang jahat di sini sudah cukup buruk, tapi kalau mereka punya akses ke lebih banyak senjata tajam, apa yang akan terjadi? Kita akan punya lebih banyak masalah."
Aku diam saja mendengar omelannya. Bagiku, Arnold hanya seorang pedagang. Meski ia menyimpan banyak misteri, dia tak pernah membuat masalah. Tapi aku bisa melihat kenapa Hartono khawatir. Di kota ini, bahkan hal terkecil pun bisa berubah menjadi ancaman besar. Dan pisau-pisau Arnold, sekecil apa pun, memiliki potensi untuk membawa kekacauan.
Suatu sore, saat pasar mulai sepi dan langit tampak mendung, Hartono akhirnya mendekati Arnold. Aku memperhatikan mereka dari balik lapakku. Mereka berdiri di sana, hanya beberapa langkah dari satu sama lain. Suara Hartono terdengar tegas dan sedikit menantang, meski aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Namun Arnold, seperti biasa, hanya tersenyum tipis, tangannya bermain-main dengan pisau lipat yang baru saja ia buka.
“Apa kau tahu siapa Stanley?” tanyaku dalam hati, seolah-olah aku berada di posisi Hartono, mencoba menyingkap misteri pria itu.
Aku tidak tahu apa yang dibicarakan Hartono dengan Arnold, tapi aku bisa melihat ketegangan di antara mereka. Hartono tampaknya kesal karena tak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Ia menggerutu sebentar, lalu pergi dengan langkah berat, meninggalkan Arnold yang masih berdiri di sana, memandangi pisau di tangannya seolah benda itu adalah sahabat lamanya.
Hari-hari berlalu, dan rumor tentang Stanley semakin menjadi. Beberapa pedagang mengatakan Arnold dulunya seorang pembunuh bayaran. Yang lain berspekulasi bahwa Stanley hanyalah bayangan dari trauma masa lalu Arnold yang tak pernah bisa dia lepaskan. Namun, semakin banyak yang dibicarakan, semakin jauh aku dari jawaban.
Akhirnya, suatu malam, ketika pasar mulai sepi dan gerimis turun, aku melihat Arnold berkemas lebih awal dari biasanya. Dia mengangkat lapaknya dengan perlahan, memasukkan semua pisau ke dalam tas kanvasnya. Aku memerhatikan dari balik lapak, bertanya-tanya apakah hari ini akan menjadi hari terakhir Arnold di pasar ini.
“Stanley…” bisiknya pelan saat ia memandangi langit yang mendung, seolah berbicara kepada seseorang yang hanya dia bisa lihat. Dan dengan langkah pelan, Arnold meninggalkan pasar, tak menoleh ke belakang.
Esok harinya, aku menunggu Arnold di tempat yang sama, tapi dia tidak muncul. Lapak kayunya yang biasa berdiri di sampingku kosong, tak ada jejak keberadaannya. Orang-orang mulai bertanya-tanya ke mana Arnold pergi, dan apakah dia akan kembali.
Tapi aku tahu, mungkin dia tidak akan pernah kembali. Karena Stanley, siapa pun dia, adalah alasan Arnold terus bergerak—seperti bayangan yang selalu ada, namun tak pernah benar-benar terjangkau.
Dan aku, di sini, masih memikirkan satu pertanyaan yang tak terjawab: Siapa sebenarnya Stanley? Apa yang sebenarnya Arnold cari di kota ini?
Comments