Cara Kesebelas Mengatasi Mabuk Laut

Barangkali hanya ingatan yang bisa memperpanjang sebuah peristiwa, begitulah yang Ishtar ingat dari sebuah percakapan seseorang, entah siapa. Hal itu dia ungkapkan setelah kami berciuman di teras bungalow di pinggir pantai sebelum kami berdua pergi untuk melihat penyu bertelur.

“Kau mengharapkan aku mengenangmu?” tanyaku dengan nada sangat hati-hati, takut dia akan merasa dipojokkan dengan pertanyaan itu. Toh, dia yang lebih dulu mengatakan bahwa antara kami berdua hanyalah teman yang merasa saling membutuhkan. Tidak lebih, dan terlebih bukan sepasang kekasih.

“Tidak. Aku tidak berharap kau akan terus mengingatku. Aku pun demikian, tidak akan mengingat apa yang telah terjadi dari kemarin, atau akan terjadi pada sisa hari ini, atau bahkan besok. Karena aku tahu kau tak akan memilih aku, apa pun alasannya.”

Aku mendengus. Nada bicaranya terdengar seperti orang yang rela disakiti asalkan aku merasa bahagia.

“Kau sangat naïf, Ish. Kau pikir aku bisa melupakan perasaan…atau getaran yang timbul di dalam hati ini ketika kita sedang berdua seperti saat ini?”

“Aku tidak naïf. Tidak juga egois. Apa lagi yang perlu dirumitkan dari sekedar saling membutuhkan saat kita tidak sedang bersama dengan orang yang sebenarnya kita cintai? Atau mungkin bagimu, kau gilai?”

Ya. Aku memang tidak menganggap Ishtar sebagai kekasih. Dia juga tahu bahwa aku sangat tergila-gila pada Kinan, seorang gadis yang cantik dan lama aku incar sebagai pacar, dan kini dia memang sudah jadi pacarku. Meskipun demikian, aku tak bisa menipu diriku sendiri bahwa untuk beberapa hal, aku lebih suka berada di dekat Isthar daripada Kinan. Dia seorang gadis yang pandai membawa diri bahkan lebih dari itu, dia seperti seorang ibu yang tahu kebutuhan anak-anaknya. Tanpa harus meminta kepadanya, Isthar banyak menawarkan sesuatu yang memang kuperlukan. Contohnya ketika aku hendak berlayar, dialah orang yang memberikan daftar cara untuk mengatasi mabuk laut. Dia tahu aku sama sekali belum pernah naik kapal.

“Ada dua belas cara mengatasi mabuk laut, Do. Mulai dari hal-hal yang perlu kamu waspadai sebelum naik kapal sampai pada ketika kau sedang mengalaminya. Tidak hanya obat yang harus kau minum, tapi juga makanan atau minuman apa yang seharusnya kamu hindari agar tidak memancing reaksi berlebihan pada lambung supaya kau tak mengalami mabuk laut.”

Kinan? Dia hanya mengatakan, “Sering-sering update status ya? Kasih tahu apa yang menarik di sana. Jangan lupa oleh-oleh. Aku tak mau makanan, takut basi sampai sini. Kalau ada yang mirip-mirip snow globe, bolehlah. Eh, di sana punya kain khas tidak? Seperti batik, lurik, atau kain tenun? Kalau ada, boleh juga.”

Ishtar juga yang menjelang hari keberangkatanku, tiba-tiba menelepon dan mengatakan,”Aku ambil cuti, Do. Aku tak mau ketinggalan kisah perjalananmu. Aku sudah packing dan membawa peralatan fotografi. Siapa tahu banyak obyek yang menarik.”

Antara perasaan senang dan kuatir karena kenekatannya, aku begitu terkejut.

“Jadi, kau akan ikut bersamaku?”

“Siapa bilang begitu? Aku hanya bilang aku ambil cuti. Kebetulan aku juga memilih berlibur ke Bagansiapi-api. Sama denganmu. Aku dengar di sana ada Upacara Bakar Tongkang yang diadakan komunitas orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di sana.”

“Tapi, aku tidak akan tinggal lama di Bagansiapi-api. Aku lanjut ke Pulau Jemur. Tempat penyu-penyu hijau bertelur.”

“Do. Kalau waktunya pas, kita bisa bertemu di sana.”

Kalau waktunya pas. Itu kata kunci dari apa yang sebenarnya aku dan dia alami. Kami berteman sudah cukup lama. Jauh sebelum aku jadian sama Kinan. Hanya aku merasa banyak kecocokan dengan dia justru setelah Kinan dan aku berkomitmen untuk menikah akhir tahun ini.

Banyak orang bilang menjelang pernikahan, godaan terhadap kesetiaan itu datang. Tadinya aku tak percaya, tapi dengan semakin dekatnya aku dengan Ishtar rasanya hal itu bisa dianggap benar. Meskipun Isthar sering mencandaiku dengan menanyakan keseriusanku untuk menikahi Kinan, dia juga bersikeras bahwa hubunganku dengannya tak akan bisa berubah dari hanya sekedar teman.

“Aku tak percaya cinta. Cinta itu lebih mematikan daripada gigitan ular merah di pantai Pulau Jemur,” ujarnya ketika aku desak dia untuk mengemukakan alasannya kenapa sampai sekarang dia tidak mau punya pacar.

Ucapannya itu langsung mengingatkanku pada kebiasanku untuk mencari tahu apa yang bisa membahayakan jika berkunjung ke tempat-tempat tertentu. Ini juga salah satu kecocokan antara aku dan Isthar, sama-sama suka melakukan survei jika akan bepergian. Beda sekali dengan Kinan yang cenderung percaya begitu saja pada tour leader dari biro wisata atau informasi teman-temannya. Pernah ketika dia habis dari Hanoi, dia ngotot bahwa di Vietnam tidak akan ditemukan Starbuck. Hal itu didasarkan pada ucapan tour leadernya yang mengetawainya dengan menyebutkan bahwa produksi kopi di Vietnam adalah kedua terbesar di dunia setelah Brazil, dan juga betapa militannya dulu pejuang Viet Cong mengusir tentara Amerika dari tanah kelahiran mereka. Begitu ada temannya yang baru dari Ho Chi Minh City, dia baru tahu bahwa Starbuck sudah lama buka gerainya di Vietnam.

“Ya, tapi aku benar kalau di Hanoi memang tidak ada Starbuck.” Demikian kilahnya untuk menutupi rasa malunya.

Jadi, selain kepribadian Ishtar yang keibuan, kecocokan cara berpikir dia dengan aku adalah apa yang tak bisa kupungkiri sebagai alasan untuk lebih dekat dengannya. Tapi apakah aku seorang playboy? Itu yang harus aku bisa aku sangkal jika di kemudian hari hubunganku dengan Kinan gagal dan aku beralih pada Isthar.

“Kau tak pernah merasa aku memanfaatkanmu?” selidikku.

“Hei. Bukankah aku tadi bilang bahwa kita hanyalah orang yang saling membutuhkan belaka jika tak sedang bersama orang yang kita cintai?”

“Jadi, kau sudah punya pacar? Kau belum pernah menceritakannya.” Selidikku lagi.

“Tak penting. Bukankah aku juga tadi mengatakan bahwa hanya ingatan yang bisa memperpanjang sebuah peristiwa? Saat ini aku tidak sedang ingin untuk mengingat apa yang terjadi dalam hidupku di waktu yang lain. Saat ini, aku hanya sedang ingin menikmati perjalananku ke sini.”

“Bagaimana jika kutanyakan padamu, apakah kau merasa dirugikan dengan hubungan ini?”

“Do. Apa kau tak cukup jelas dengan perkataan ‘saling membutuhkan’ dari pernyataanku sebelumnya?”

Memang, selama ini aku tidak pernah memanfaatkan dirinya. Yang terjadi sore tadi juga hanyalah sebuah ciuman. Tidak lebih. Tapi di sebuah pantai di sebuah pulau yang sepi seperti ini, bisa saja ciuman itu berlanjut pada hal-hal yang lebih jauh. Tiba-tiba aku merasa diriku begitu kotor berpikir tentang dia. Entah mengapa.

“Apakah kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari sekadar ciuman?” Pertanyaan itu seperti sebuah pukulan tepat di daguku. Keras sekali!
Aku gelagapan.

“Tidak. Tidak. Aku merasa tadi itu sudah cukup jauh untuk sebuah pertemanan, Ish.”

Dia tersenyum seperti mengejekku.

“Aku tahu pikiran laki-laki. Tidak usah munafik, Do.”

“Sungguh, Ish. Aku tak berani memikirkan hal-hal yang lebih dari sekedar ciuman tadi,” ujarku berbohong untuk menutupi pikiran kotorku padanya.

“Santai saja, Do. Kalaupun kau berpikir begitu, toh belum tentu aku akan memberikannya,” godanya.

Lalu lengannya memeluk pinggangku. Dia juga merapatkan tubuhnya kepadaku.

“Dingin.”

Dengan kaku, aku melingkarkan lenganku ke pundaknya. Dia hanya mengeluarkan suara, hmm..seperti seorang anak yang merasa nyaman berada di pelukan ibunya. Lalu kami berjalan menyusur pantai. Kami melangkah hati-hati karena takut ada ular merah yang memang sering melingkar di atas pasir.

“Lihat, Do. Ada penyu yang sedang bertelur. Mari kita dekati!” Teriaknya riang memecah malam yang sedari tadi hening lantaran kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Dia segera memisahkan tubuhnya dengan tubuhku lalu dilepaskannya tali kamera yang dikalungkan dan dengan cekatan mulai mengambil foto dari penyu tersebut. Aku sedikit berlari mengikutinya.

Penyu hijau yang oleh penduduk setempat disebut pak-ku ini memang tidak akan beranjak jika sudah mulai bertelur, meskipun di dekatnya ada manusia atau binatang pemangsa. Tetapi jika dia baru sampai pantai dan tahu di pasir pantai ada puntung rokok saja, dia bisa batal bertelur dan memilih kembali ke laut.

Aku dan Ishtar mulai sibuk dengan kamera masing-masing. Berbagai gaya dan sudut pengambilan foto kami lakukan agar mendapatkan foto terbaik dari peristiwa penyu bertelur di Pulau Jemur ini. Kami bahkan sudah melupakan apakah di antara pasir pantai yang kami injak barangkali ada ular merah yang siap mengancam nyawa kami.

Puas mengambil gambar, kami saling menunjukkan hasil pemotretan kami. Ishtar beberapa kali mengomentari fotoku yang kerap tampak datar sehingga tidak bisa menampilkan perbedaan background dan obyek foto. “Maklum, sudah mulai harus pakai kacamata positif ya?” ledeknya. Setelah itu, kami pun berjalan pulang ke bungalow, kembali dengan berpelukan.

Begitu sampai teras bungalow, ketika aku hendak membuka kunci pintu, dia bertanya,”Do. Apakah kamu memang sudah siap mental untuk menikahi Kinan?”

Ini sebuah pertanyaan yang serius. Aku terdiam dan mulai menduga apakah dia akan menyatakan cintanya padaku dan berusaha untuk mencegah pernikahanku dengan Kinan.

“Bukan, Do,” katanya seperti tahu jalan pikiranku,”Aku tidak hendak menggagalkan niatmu untuk menikah. Justru aku mengatakan hal itu agar kau tak berubah pikiran. Karena aku merasa apa yang aku lakukan kepadamu atau setidaknya – ini pikiranku – kedekatanku kepadamu selama ini telah membebanimu. Aku melihat ada keraguan di dirimu untuk memutuskan pertemanan kita yang menurutmu tidak wajar ini.”

Meskipun pintu sudah terbuka, aku termangu di depan pintu. Aku merasa tak tahu apa yang harus aku katakan kepadanya.

“Apakah kau merasa begitu, Do?” tanyanya lagi.

Ya. Jujur itulah yang aku rasakan. Tapi bagaimana caranya berkata bahwa aku merasa kecocokan dengannya terjadi setelah aku memutuskan untuk menikahi Kinan tanpa membuat dia merasa sebagai orang yang kusingkirkan?

Lagi-lagi, dia seperti tahu apa yang kupikirkan, sehingga dia berkata,”Jujur saja, Do. Aku tak menyesali jika memang perasaanmu kepadaku terlambat. Aku tak akan sakit hati.”

“Tidak. Tidak, Ish. Aku memang menyukaimu. Tapi kau tahu, sebagai laki-laki aku harus bertanggungjawab pada keputusan yang telah aku buat.”

“Menyukaiku? Berarti kau tidak cinta kepadaku?” desaknya.

“Ya. Cinta. Bukankah tadi aku katakan bahwa aku punya getaran di dada ini sehingga aku sangat menguatirkan perasaanmu?”

Tiba-tiba, dia memelukku. Erat.

“Terimakasih, Do. Kau sudah jujur kepadaku.”

Lenganku terasa kaku sekali bahkan untuk aku angkat dan rengkuhkan pada tubuhnya yang melekat di tubuhku. Aku tak tahu harus berbuat apa.

“Apakah ini menyakitkan, Ish?” Pertanyaanku seperti batu besar yang menggelinding dan menimpa dadaku sendiri.

Dia tidak menjawab, melainkan menjarakkan tubuhnya dan tangannya mencari tanganku untuk kemudian ditariknya untuk mengikutinya masuk ke dalam bungalow. Begitu kami masuk, dia memintaku untuk menutup pintu dan menguncinya. Bagai kerbau dicucuk hidung, aku menuruti saja perkataannya. Ketika aku menoleh, dia sudah berbaring di ranjang.

“Kau masih hafal 12 cara untuk mengatasi mabuk laut, Do?” tanyanya.

“Ya. Aku hafal. Tapi aku tak mengerti arah pembicaraan kita ini.”

Dia bangkit dari sikap berbaring, dan memberi isyarat kepadaku untuk duduk di sebelahnya.

“Berarti kau ingat cara kesebelas untuk mengatasi mabuk laut itu, bukan?”

“Ya. Cara kesebelas adalah dengan cara minum air laut atau menceburkan diri ke dalam laut,” jawabku.

Dia tersenyum manis sekali. Aku tahu arti senyuman yang menggoda itu, tapi aku masih tak tahu apa maksud dari perbuatannya itu. Dan setelah bercinta, dia membisikkan kata terimakasih di telingaku.

“Untuk apa?”

“Untuk menyelamatkan aku dari mabuk laut, Do. Aku sudah mencoba berbagai cara agar tak jatuh hati kepadamu, tapi ciuman tadi sore membuat aku yakin bahwa kau pun mencintaiku. Dan itu tidak cukup, Do.”

Aku tertawa. Edan! Benar-benar gila perempuan ini, rutukku dalam hati. Tapi setelah tertawa, aku mendadak diserang rasa kuatir karena tadi sebelum melakukannya dia bertanya tentang kesiapan mentalku untuk menikah dengan Kinan.

Melihat aku berhenti tertawa, dia justu tertawa.

“Kenapa?”

“Aku tahu kau kuatir ini jebakan, bukan?”

Gila! Bagaimana bisa dia menebak setiap apa yang aku pikirkan kepadanya? Apakah mimik wajahku begitu mudah dibaca olehnya sehingga bisa demikian?

“Tenang, Do. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tak ingin mengganggu keputusanmu. Bahwa kau akan tetap menikah dengan Kinan, itu tak akan membuatku sakit hati.”

“Jadi, kau tak akan menuntut apa pun dariku?”

“Tidak, Do. Aku bahkan tak akan memintamu untuk terus mencintaiku. Toh, berulangkali aku katakan bahwa hanya ingatan yang akan memperpanjang suatu peristiwa. Bagiku, sudah cukup bahwa aku mencintaimu dan kau pun demikian. Besok, aku sudah harus menganggap apa yang terjadi hari ini adalah sebuah peristiwa biasa saja.”

“Apakah bisa?”

“Bisa saja. Yang tidak bisa justru mungkin kau, atau Kinan?”

“Kinan?” Aku kaget mendengar Ishtar menyebut nama calon istriku itu.

“Ya. Kinan. Dia memang minta aku untuk menggodamu.”

Ombak yang berdebur di pantai Pulau Jemur, tiba-tiba terasa sampai deburnya di dadaku.

Cisarua, 2014

Comments