Thursday, September 28, 2006

Silaturahmi Saudara Tua

Konon, di dalam segala kitab perwahyuan, diceritakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal tanah liat. Lalu Tuhan membuatnya lebih istimewa dibandingkan ciptaanNya yang lain. Lebih lanjut lagi semua alam raya diperintahkan oleh Tuhan untuk menghormat kepada manusia. Waktu itu hanya Iblis yang berani berkata tidak, sebab dia merasa lebih tua dan lebih mulia. Dia tanpa sengaja telah mengutip sebagian isi kitab Sifat-sifat Tuhan. Pasal Kesombongan. Digunakanlah ayat-ayat dari pasal itu sebagai bahan argumentasi dengan Tuhan. Iblis pun terusir dari taman surga.
Tak perlu dijelaskan lagi, jika Iblis begitu dendamnya. Hingga dia akhirnya bisa memaksa Tuhan untuk mengusir pula manusia dari taman surga. Dan berkeriapan lah manusia dan keturunannya di atas tanah ini.

Sesuai dengan janji-janji yang dipatrikan Tuhan, maka manusia pun berkuasa atas segala isi bumi. Dari hewan, tumbuhan, bahkan sampai perut bumi. Entah gara-gara racun-racun yang ditebarkan iblis tingkat kontaminasi dan umur radiasinya sangat lama, yang pasti lebih hebat dari nuklir sekalipun, maka manusia kini sangat getol berkata-kata satu dengan yang lainnya dengan ayat-ayat Pasal Kesombongan.

Alih-alih mencari kepuasan diri, segala cara pun ditempuhnya. Disikutnya sesama manusia, digerusnya tanah dan samudera, dimamahnya segala tetumbuhan, bahkan hewan-hewan, yang memang diperuntukkan sebagai makanan dan permainan, akhirnya nasibnya benar-benar menjadi mainan manusia semata.

Tingkah laku manusia yang kadang menjadi tuhan bagi alam semesta sekaligus menjadi iblis bagi kehidupan yang harmoni, telah membuat Tanah liat gelisah. Diam-diam dia bergerak menemui Air, Tanah dan Bebatuan. Mereka semua adalah elemen dasar dari kelangsungan kehidupan. Hal yang sepertinya tidak pernah terlintas di dalam benak anak cucu Adam untuk dihormati. Sebab, bukankah seharusnya manusia yang dihormati?

Terlupakan. Terpinggirkan. Bahkan terbengkalai. Manusia telah banyak membuang segala kenangan atas proses penciptaannya sendiri. Tanah liat adalah saudara tua bagi dirinya. Dalam pertemuan itu, Tanah liat mengadukan tingkah laku manusia kepada teman-temannya.

"Apa yang harus kita lakukan untuk menyadarkan mereka semua? Tak kurang Tuhan berkali-kali mengingatkan, tetapi masih banyak dari mereka yang lalim". Demikian keluh Tanah liat kepada teman-temannya.
"Mungkin kita sendiri lah yang harus bertindak! Tuhan maha suci untuk hal-hal kotor seperti ini", teriak bumi sambil berkali-kali menggoyangkan punggungnya.
"Aku pikir juga begitu. Lebih baik kita maju bersama-sama untuk mengingatkan mereka!", Air pun menjadi bersemangat. Kadang kala, ia menyurutkan badan sehingga manusia berteriak-teriak.
"Tunggu. Tunggu. Kalian jangan terlalu bersemangat. Apa jadinya mereka jika kalian terlalu bersemangat. Yang ada kita akan membunuh mereka. Padahal di hadapan Tuhan kita sudah berjanji untuk menghormatinya. Kita harus pikirkan cara yang lain!", Bebatuan miris melihat kelakuan kedua temannya.
"Betul juga kata Bebatuan. Kita tidak boleh menghukum mereka. Itu wilayah kekuasaan Tuhan", Tanah liat setuju dengan pemikiran Bebatuan.

Mereka pun terdiam. Sesungguhnya kekuatan manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Akan tetapi Tuhan telah sangat bijaksana agar mereka ikhlas merelakan kekuasaan manusia atas mereka semua. Sebab hanya manusia lah yang diberikan keleluasaan untuk mencintai dan menyayangi. Malaikat seperti petugas yang mencintai Tuhan semata. Segala tindakannya demi melayani Dia. Iblis terlalu sombong, dia pasti akan lebih mudah memporakporandakan alam semesta bukan merawatnya.

"Aku ada usul. Menurutku ini adalah hal yang paling sederhana", Tanah liat memecah keheningan.
"Apa itu? Tidak berbahayakah usulanmu untuk mereka?", sahut Tanah.
"Ya. Ya. Silahkan bicara. Aku ingin mendengarnya", Air dan Bebatuan pun penasaran.
"Tapi aku butuh bantuan kalian semua untuk melakukannya", Tanah liat masih belum mengemukakan usulnya.
"Kami semua pasti membantumu. Asal apa yang akan kau lakukan tidak lah membunuh mereka", Air mewakili kedua temannya mengiyakan untuk membantu Tanah liat.
"Begini. Kudengar di Porong ada pengeboran sumur minyak. Aku minta Bebatuan dan Tanah bergerak sedikit saja. Ciptakanlah ruang untuk aku bisa masuk di sumur itu. Dan kau Air, doronglah aku dengan tenagamu. Aku hanya ingin menyapa mereka. Sebab aku lah saudara tua mereka. Masih ingatkah mereka denganku? Itu yang akan aku katakan pada mereka semua. Hanya mengingatkan", Tanah liat menunduk seakan kesedihan yang ditanggungnya begitu berat.
"Kami semua akan membantumu. Tetapi kira-kira apa yang nanti akan terjadi?", Bebatuan menyela.
"Aku juga tidak tahu pasti. Yang pasti aku hanya ingin manusia itu tahu bahwa selama ini sedikit sekali dari mereka yang mengingat kita semua. Mengasihi kita. Apalagi mencintai. Setelah mereka tercipta, kita semua hanya lah alat hidup bagi mereka. Jarang sekali yang berucap syukur kepada Tuhan atas satu pokok pohon yang tumbuh, satu benih padi yang tunas, bahkan satu ekor ayam yang bertelur".

"Kamu yakin ini akan berhasil?", Air bertanya.
Tanah Liat menghela nafas panjang. Terdengar seperti gemuruh di dalam perut bumi.
"Entah lah. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pedulikan lagi", ujarnya.
"Koq begitu?", Tanah bertanya.
"Aku cuma bersilaturahmi. Menyapa. Mengingatkan. Apapun hasilnya, biar lah manusia sendiri yang menjawabnya".

Keempatnya kembali terdiam. Berkecamuk segala pikiran. Ya, kadang memang usaha yang paling maksimal hanyalah mengingatkan. Sebab untuk menegur ataupun menghukum manusia atas tindakannya kepada alam adalah wilayah Raja Manusia. Akhirnya mereka sepakat. Mengingatkan adalah jalan yang terbaik.

Kemudian terdengar suara gemuruh. Getarannya sampai di tempat mereka berkumpul. Kali ini berasal dari mesin bor bermata intan milik sebuah perusahaan pertambangan.

Hari itu, di Porong - Sidoarjo, 29 Mei 2006 terjadilah keributan. Tanah Liat telah bercampur dengan Air. Mereka menahan emosi. Tubuh – tubuh mereka panas. Terjadi lah semburan lumpur yang panas.

Menyembur. Menyembur. Menyapa dan mengingatkan manusia sembari mengadu pada Tuhan. Bercengkerama dengan rerumputan, pepohonan, juga dengan udara. Tanah Liat menyapa sang adik, manusia. Seperti seorang pemuda yang jatuh cinta, yang terus menerus mengirimkan surat cinta kepada gadis pujaan. Tanah Liat berkunjung pada saudara mudanya. Dengan tubuhnya sendiri yang bercampur air. Setiap hari. Sampai kini. Entah sampai kapan.

Sampai manusia mengasihi dan mencintai elemen-elemen itu? Hanya Tuhan yang tahu kunci hati tiap-tiap jiwa yang telah bisa membaca jawabannya.

Nun, Iblis pun menolak bicara atas peristiwa langka ini.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home