La Vie en Rose

 

“Puisi nggak bisa dimakan, tau!” teriak Rose, memecah keheningan sore di kontrakan kecil itu. Ia membanting piring ke lantai. Nasi berhamburan, sendok mental ke bawah meja. Pecahan piring berserakan di lantai yang basah oleh sisa kuah.

Drolim berdiri, mendorong kursinya dengan kasar. Jemarinya mengepal di atas meja reyot yang penuh tumpukan kertas.

“Aku juga nggak diam, Rose! Aku udah cari kerja lain! Tapi apa salahku kalau ijazah sarjana itu nggak cukup buat kerja kantoran kayak kamu?”

Hujan di atap seng menambah bising suasana. Di sudut meja, selembar kertas puisi basah kena percikan air. Lampu redup bergoyang tertiup angin, membuat ruangan makin suram.

Rose menatap Drolim. Dia tahu laki-laki itu bukan orang jahat. Drolim dulu lembut, suka membacakan puisi sebelum tidur. Tapi sekarang, kata-kata indah tak bisa bayar utang di warung, tak bisa beli beras.

Tanpa bicara lagi, Rose mengambil jaket lusuhnya dan keluar. Drolim sempat memanggil, tapi dia terus berjalan menembus hujan. Dia tak tahu mau ke mana. Yang dia tahu, dia ingin pergi dari hidup yang rasanya mentok.

Jakarta sore itu muram. Langit kelabu, jalanan basah, lampu kendaraan memantul di aspal. Rose terus berjalan tanpa tujuan. Dia hanya ingin menjauh dari kontrakan itu, dari semua pertengkaran dan puisi yang tak bisa menenangkan lapar.

Di perempatan Kuningan, sebuah sedan abu-abu berhenti di lampu merah. Seorang perempuan muda di dalamnya menatap Rose yang berdiri di trotoar, rambut lepek, wajah sayu.

“Mas, berhenti sebentar deh. Kayaknya perempuan itu butuh bantuan,” katanya pada suaminya.

Jendela mobil turun.

“Mbak, kamu nggak apa-apa?” suara perempuan itu lembut.

Rose menoleh. Mata mereka bertemu di bawah hujan.

“Mbak mau ke mana?” tanya laki-laki di balik kemudi.

Rose ingin bilang “entah”, tapi yang keluar cuma satu kata, pelan: “Cipanas.”

“Cipanas?” Perempuan itu kaget.

Rose mengangguk.

Pasangan itu saling berpandangan, lalu tersenyum. “Kebetulan banget, kita juga ke sana. Ayo, naik aja.”

Rose masuk ke mobil. Udara hangat dari AC langsung menyentuh kulitnya yang dingin.

“Aku Hedi,” kata perempuan itu. “Ini suamiku, Faid.”

“Rose,” jawabnya pelan.

“Rose? Cantik banget namanya,” kata Hedi sambil tersenyum.

“Orangnya juga cantik,” celetuk Faid.

Hedi memukul bahu suaminya pelan. “Ih, ganjen.”

Mereka tertawa. Rose mencoba tersenyum, tapi pikirannya kosong. Suara tawa itu terasa datang dari dunia lain, dunia yang tenang dan mapan.

Beberapa menit kemudian, Faid menyalakan radio. Lagu La Vie en Rose terdengar, suara Edith Piaf serak dan jauh.

Rose tak paham liriknya, tapi dia tahu itu lagu yang dulu sering Drolim putar sambil bercanda, “Suatu hari, kalau aku sukses, kita ke Paris. Kita duduk di kafe kecil, dengerin Edith Piaf, makan roti Prancis, dan ngerasain ‘langit Paris’ kayak di lagunya,” katanya dulu.

Sekarang, jangankan ke Paris, pulang ke kampung pun mungkin Drolim tak punya ongkos. Rose menunduk. Air matanya jatuh diam-diam.

Hedi memperhatikan, lalu pelan berkata, “Rose, kamu tahu nggak? Kita ke Cipanas cuma pengin lihat Taman Bunga Nusantara. Katanya ada mawar biru yang lagi mekar.”

Faid menimpali, “Padahal mawar biru itu nggak ada. Cuma hasil pewarnaan. Kalau ada di taman, ya paling palsu.”

Hedi tertawa kecil. “Biarin. Aku pengin lihat aja. Mungkin keinginan si jabang bayi ini.” Dia mengelus perutnya yang hamil muda.

Rose menatap tangan Hedi di perutnya. Gerakannya lembut, penuh kasih. Lalu dia menoleh ke Faid, laki-laki itu menatap istrinya dengan senyum kecil yang tulus. Tidak berlebihan, tidak dibuat-buat. Hanya senyum seseorang yang benar-benar bahagia dengan hidupnya.

Hedi kemudian bercerita ringan tentang masa lalunya, bagaimana dulu mereka juga susah, pernah ngontrak di rumah sempit, pernah makan mi instan tiga hari berturut-turut.

“Tapi ya gitu, kalau berdua tuh rasanya semua bisa dilaluin,” katanya sambil menatap suaminya.

“Walau kadang pengen nyekik juga,” seloroh Faid, membuat mereka berdua tertawa.

Rose ikut tersenyum tipis. Tapi di dalam dadanya ada sesuatu yang mengganjal. Dia teringat Drolim, bukan Drolim yang barusan berteriak padanya, tapi Drolim yang dulu, yang pernah bilang hal yang sama, ‘Kalau berdua, semua bisa kita lewatin, Rose.’

Hening sejenak. Mobil terus melaju, menembus kabut tipis di luar. Dari speaker masih terdengar lagu-lagu lembut. Lalu, tiba-tiba ponsel Hedi berdering.

Nada suaranya berubah ketika menjawab. “Iya, Dok... oh, hasilnya sudah keluar?... Iya, saya siap dengar.”

Hening beberapa detik. Wajah Hedi menegang.

“Iya, jadi... bukan hamil, ya?... oh begitu... iya, saya paham...”

Rose menatapnya. Hedi menutup telepon, memalingkan wajah ke jendela. Faid menepikan mobil ke bahu jalan.

“Sayang?” tanya Faid pelan.

Hedi menggeleng, matanya mulai basah. “Ternyata bukan hamil... katanya cuma kista kecil.”

Sunyi. Hanya suara wiper menggesek kaca.

Faid mengulurkan tangan dan menggenggam tangan istrinya. “Nggak apa-apa. Kita tetap punya waktu. Kita masih punya satu sama lain.”

Hedi mengangguk, air matanya menetes. Dia tersenyum, mencoba tegar.

Rose menatap mereka, merasa dadanya ikut nyesek. Dia baru saja melihat sesuatu yang nyata: cinta yang tidak bergantung pada keberhasilan, anak, atau uang. Cinta yang tetap bertahan walau harapan runtuh.

Beberapa kilometer selanjutnya, mobil berjalan namun penuh dengan keheningan, selain hanya lagu-lagu yang mengalun pelan. Suasana muram itu, kemudian pecah oleh suara Rose, “Sepertinya, saya perlu turun di sini saja, Mas.”

Faid menoleh, heran. “Lho, Cipanas sebentar lagi.”

“Saya harus pulang,” jawab Rose pelan.

Hedi menatapnya lama, tapi tidak menahan. Dia hanya berkata, “Jaga diri ya, Rose.”

Mobil berhenti di pinggir jalan. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah. Lagu La Vie en Rose kembali terdengar pelan.

Rose turun. Hedi membuka jendela, berteriak lembut, “Rose, semoga kamu juga bisa lihat mawar birumu sendiri suatu hari.”

Rose menoleh, tersenyum samar. Dia membatin, “Mungkin... mawar biruku ada di rumah.”

Faid turun sebentar, menyodorkan beberapa lembar uang. “Ini buat ongkos pulang. Nggak usah mikir yang aneh-aneh.”

Rose sempat menolak, tapi akhirnya menerimanya. “Terima kasih,” katanya hampir tak terdengar.

Faid kembali ke mobil. Mereka tidak langsung jalan. Dari dalam mobil, Hedi dan Faid memperhatikan Rose yang berdiri di bawah lampu jalan, jaketnya basah, wajahnya lelah tapi lebih tenang.

Sebuah angkot jurusan Bogor lewat. Rose melambaikan tangan, lalu naik. Mobil Faid perlahan melaju menjauh.

Dari kaca belakang angkot, Rose menatap lampu mobil mereka yang makin kecil. Lagu La Vie en Rose masih bergema di kepalanya. Dia tahu hidupnya tidak akan berubah secepat itu, tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, dia ingin pulang, bukan karena merasa telah kalah, tapi karena dia ingin mencoba lagi.


Wanalampah, Agustus - Oktober 2025

Comments