Ahmad Ramudi duduk di belakang meja kerjanya, ruang kantornya di lantai 23 Kementerian tampak sepi, hanya ditemani suara angin yang menghantam jendela-jendela besar. Pikirannya melayang jauh, tak lagi fokus pada tumpukan kertas dan laptop yang menyala di depannya. Ia baru saja menerima email dari bagian kepegawaian yang mengingatkan bahwa masa jabatannya sebagai Staf Khusus akan segera berakhir pada 1 November. Hanya beberapa minggu lagi.
Mata Ahmad melirik ke luar jendela. Jakarta, dengan segala hiruk-pikuknya, tampak begitu kecil dari ketinggian ini. Mobil-mobil kecil seperti semut merayap di sepanjang jalan Sudirman. Jakarta, kota yang selama ini menjadi arena perjuangannya, kini mulai terasa asing dan dingin. Rasanya, ia sudah tahu bahwa pergantian menteri akan datang seperti badai yang siap menyapu semua yang ada. Menteri baru pasti akan membawa staf baru, timnya sendiri. Itu sudah menjadi tradisi di birokrasi. Staf seperti dirinya? Bisa jadi tinggal cerita lama.
Tangannya bergerak pelan, merapikan berkas-berkas yang terserak di meja. Ada dokumen-dokumen penting yang perlu dihancurkan, file rahasia yang tak boleh bocor. Tentu saja, rahasia. Banyak yang dia tahu tentang menterinya. Terlalu banyak. Sepanjang lima tahun masa jabatannya sebagai stafsus, Ahmad menjadi saksi bisu dari keputusan-keputusan politis yang tidak selalu bersih, intrik-intrik kekuasaan yang sering kali tak sesuai dengan aturan main. Ada yang menggodanya, sebuah pikiran gelap yang tiba-tiba melintas. Ia bisa membeberkan semuanya, menyerahkan dokumen-dokumen ini kepada media atau pihak yang bersedia membayar mahal. Itu bisa menyelamatkannya, memberi kehidupan baru yang mungkin bahkan lebih kaya dari pekerjaannya saat ini. Tetapi ia tahu, langkah itu juga berarti menutup hidupnya selamanya.
Ia menggelengkan kepala. Tidak, ia tidak bisa melakukannya. Selain karena risiko yang terlalu besar, ada sisi dalam dirinya yang masih memegang prinsip. Ya, ia bukan orang yang bersih, tapi ia juga bukan orang yang tega mengkhianati segalanya demi uang. Tidak begitu. Ahmad menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Satu-satunya pilihan yang tersisa sekarang adalah bertahan, berharap ada keajaiban yang akan mengubah nasibnya sebelum November tiba.
Nursita, nama itu tiba-tiba melintas di kepalanya. Sekretaris pribadi bapak menteri, wanita yang sering membuat jantungnya berdebar setiap kali melewatinya di koridor kantor. Senyumnya, caranya berbicara, ada sesuatu yang magnetis dari wanita itu. Sejak pertama kali mereka bekerja bersama, Ahmad sudah tahu bahwa dia memiliki perasaan pada Nursita, meski selama ini ia selalu menahan diri. Tidak mungkin, pikirnya. Mereka bekerja terlalu dekat, dan Ahmad juga sadar Nursita tak pernah menunjukkan tanda-tanda yang serupa. Tetapi akhir-akhir ini, sejak berita tentang pergantian menteri merebak, Nursita sering mendekat. Mungkin sama seperti dirinya, Nursita juga merasa hari-harinya di kementerian akan segera berakhir.
Tapi apakah itu cukup? Apa benar Nursita hanya mendekatinya karena situasi? Atau memang ada sesuatu di antara mereka yang selama ini terselip di balik kesibukan? Ahmad tak berani menebak terlalu jauh.
Ia mengalihkan pandangannya ke kalender yang terpajang di dinding. Setiap hari yang berlalu mendekatkannya pada akhir karirnya di kementerian ini. Kembali ke kantor lama? Pikiran itu muncul lagi. Dulu, sebelum menjadi stafsus, Ahmad bekerja di sebuah lembaga penelitian. Karir yang menjanjikan, sampai akhirnya ia ditawari posisi di kementerian. Tapi ia tahu, teman-teman lamanya tidak akan menyambutnya kembali dengan tangan terbuka. Ahmad telah memilih pihak, dan di dunia politik, memilih berarti kehilangan pihak lain. Ia telah menjadi bagian dari rezim yang banyak dibenci oleh kalangan intelektual, termasuk teman-teman sejawatnya.
Dengan tubuh yang terasa berat, Ahmad bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Tangannya menyentuh kaca yang dingin, memandang jauh ke bawah. Semuanya tampak begitu kecil. Mungkinkah ia juga sekecil itu dalam skema besar kehidupan ini? Pikiran tentang melompat dari lantai 23 ini pernah terlintas di benaknya beberapa kali, terutama di saat-saat seperti sekarang, saat semua pintu tampak tertutup. Tetapi ia selalu menyingkirkan pikiran itu. Itu bukan solusi. Hidup bukan hanya tentang apa yang terjadi sampai tanggal 1 November. Ada kehidupan setelahnya, meskipun ia belum bisa membayangkan bentuknya.
Pintu ruangannya berderit saat terbuka. Ahmad menoleh dan melihat Nursita berdiri di ambang pintu, tersenyum kecil. “Hai, kamu masih di sini?”
“Hai,” jawab Ahmad sambil tersenyum lelah. “Iya, lagi beres-beres.”
Nursita melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku juga sedang bersiap-siap, rasanya aneh ya, sebentar lagi kita semua akan berpisah.”
Ahmad hanya mengangguk. “Kamu sudah tahu mau ke mana setelah ini?”
Nursita mengangkat bahu. “Belum ada rencana pasti. Mungkin aku akan coba-coba di sektor swasta. Kamu sendiri?”
“Entahlah,” jawab Ahmad dengan jujur. “Aku sedang berpikir untuk kembali ke kantor lama, tapi rasanya teman-teman di sana tidak akan menerimaku dengan baik.”
Nursita tertawa kecil, meski ada nada getir di dalam tawanya. “Kita semua akan menghadapi hal yang sama. Tapi hidup harus tetap berjalan, kan?”
Mereka berdua terdiam sejenak. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Ahmad ingin mengatakan sesuatu, tentang perasaannya, tentang bagaimana ia akan merindukan senyum Nursita, tapi lidahnya kelu. Ia tak pernah pandai dalam hal-hal seperti ini.
“Ahmad,” suara Nursita memecah keheningan, “apa kamu pernah berpikir untuk keluar dari semua ini? Maksudku, kadang aku merasa kita terlalu lama terjebak di dunia ini, dunia politik, kekuasaan, seolah-olah hidup kita hanya berputar di sana.”
Ahmad menatap Nursita. “Aku sering berpikir begitu, tapi aku belum tahu bagaimana caranya keluar.”
Nursita tersenyum tipis. “Mungkin kita perlu cari jalan keluar bersama.”
Ahmad menatapnya dalam-dalam, mencari makna di balik kata-kata itu. Apa yang sebenarnya ia maksud? Apakah ini hanya basa-basi, atau ada harapan yang lebih dalam?
Mereka kembali terdiam. Akhirnya, Nursita berkata, “Yah, aku harus kembali. Masih banyak yang harus diurus. Kamu hati-hati ya.” Ia berbalik menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh dan menambahkan, “Kamu tahu kan, kamu bukan orang yang mudah dilupakan, Ahmad.”
Setelah pintu tertutup, Ahmad kembali duduk di kursinya. Kata-kata Nursita terus bergema di kepalanya. Apakah itu sebuah pesan? Sebuah harapan?
Hari semakin sore, dan Jakarta di luar sana mulai ditelan bayang-bayang malam. Ahmad menarik napas panjang. Ia tahu, hidupnya tidak akan berakhir pada tanggal 1 November. Masih ada waktu, masih ada peluang. Entah bagaimana, ia akan menemukan jalan keluar dari kegelapan ini, meski sekarang ia belum bisa melihatnya.
Dan mungkin, hanya mungkin, Nursita akan ada di sana bersamanya.
***
Hari terakhir di kementerian tiba lebih cepat dari yang Ahmad duga. Koper-koper kecil dan dokumen yang telah dihancurkan sudah tersusun rapi di sudut ruangannya. Hari ini, Nursita lewat tanpa senyum, hanya anggukan singkat. Rupanya mereka sudah bersepakat dengan kehidupan masing-masing. Tanggal 1 November sudah di ambang pintu, tapi tidak seperti yang ia kira, dunia masih terus berputar, dan begitu pula hidupnya.
Di suatu tempat, di balik hiruk-pikuk kehidupan kota, Ahmad Ramudi tahu bahwa akan selalu ada kesempatan kedua, asalkan ia terus bergerak maju.
Comments