Tas Mewah Merah Muda


Martono menurunkan ransel kerjanya dengan pelan, berhenti sejenak di depan jendela butik yang memajang tas kulit berwarna merah muda. Tas itu mencolok, mewah, dan indah—jenis tas yang dulu pasti diinginkan oleh Yuni, mantan istrinya.
Ia bisa membayangkan Yuni berdiri di sini, menatap tas itu dengan mata berbinar-binar. Yuni selalu suka hal-hal seperti ini. Tapi Martono? Dia lebih peduli pada angka-angka yang harus ia simpan di bank untuk masa depan mereka. Rumah yang nyaman, pendidikan anak-anak yang layak, hidup yang terjamin. Itu semua yang ada dalam pikirannya, bukan tas mahal atau pakaian mewah.
Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir kenangan itu. Namun, tak bisa dipungkiri, setiap kali dia melewati butik ini, bayangan Yuni selalu hadir. Setiap tas atau gaun di etalase butik ini seakan berteriak, mengingatkan pada hubungan mereka yang hancur.
Tujuh tahun yang lalu, Martono duduk di meja makan, menatap Yuni yang tampak sibuk membolak-balik katalog. Matanya penuh semangat, jari-jarinya menunjuk ke gambar tas dan pakaian yang baru saja diluncurkan butik langganannya.
"Mas, lihat deh ini? Bagus, kan?" Yuni mengangkat katalog, memperlihatkan tas cantik yang menurutnya sempurna.
Martono hanya tersenyum kecil, lalu menyesap kopinya. "Bagus, tapi tidak perlu, kan? Kita harus hemat untuk membeli rumah."
Wajah Yuni seketika berubah. Semangat di matanya padam, digantikan oleh tatapan kecewa yang sudah sering Martono lihat akhir-akhir ini.
"Rumah, rumah, rumah," Yuni mendesah, meletakkan katalognya di atas meja dengan keras. "Kapan kamu akan memikirkan kebahagiaan kita sekarang, Mas? Aku hanya ingin sekali-kali merasa dimanjakan. Aku tidak butuh rumah besar kalau kamu tidak pernah membuatku merasa dihargai."
Martono menghela napas. "Ini bukan soal memanjakan, Yuni. Ini tentang memastikan kita punya masa depan yang aman. Apa artinya tas-tas itu kalau kita tidak punya tempat tinggal yang layak?"
Yuni diam, matanya beralih dari katalog ke Martono. "Kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku, ya?"
Pertanyaan itu membuat Martono terkejut. "Apa maksudmu? Tentu saja aku mencintaimu."
"Tidak," Yuni menggeleng. "Kamu hanya mencintai ide masa depanmu. Kamu mencintai cita-citamu, bukan aku."
Martono ingin menjelaskan, tapi kata-katanya tertahan di tenggorokan. Dia berpikir cinta itu adalah menyediakan hal-hal yang akan membuat hidup mereka lebih baik. Bagaimana bisa Yuni tidak melihat itu?
Hari-hari setelah itu berjalan kian sulit. Yuni semakin menjauh, dan Martono semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Yuni mulai sering berbicara tentang kolega di kantornya, Rizal. Martono tidak terlalu memperhatikan awalnya, tapi nama Rizal semakin sering muncul dalam percakapan mereka.
"Rizal tadi memberi aku oleh-oleh dari liburannya di Bali. Lihat, ini kalung yang cantik, kan?" Yuni berkata dengan senyum yang Martono tak pernah lihat lagi untuk dirinya.
Martono mengangguk acuh, berusaha tenggelam dalam pekerjaannya di meja dapur. "Bagus."
Namun di balik sikapnya yang acuh, hati Martono mulai gelisah. Rizal. Rizal. Nama itu terus menghantuinya, meskipun dia berusaha menepisnya. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Martono tak pernah bertanya, dan Yuni pun tak pernah memberi tahu. Tetapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang berubah.
Lalu suatu hari, Yuni menghilang. Dia meninggalkan Martono dengan sepucuk surat yang diletakkan di meja makan, tempat mereka biasa berbicara. Surat itu singkat, tapi mengiris hati.
"Aku pergi. Aku tahu ini menyakitkan, tapi aku tidak bisa bertahan di sini lagi. Aku butuh cinta yang bisa kurasakan, bukan hanya harapan masa depan yang tak pernah datang. Maafkan aku, tapi aku harus mengejar apa yang aku yakini sebagai cinta sejati. Yuni."
Waktu terus berjalan. Martono menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, mencoba melupakan Yuni. Namun, setiap kali ia melewati butik itu, kenangan tentang Yuni kembali menghantuinya.
Suatu sore, saat ia sedang berdiri di depan jendela butik, merenungi tas yang mirip dengan yang pernah diinginkan Yuni, sebuah suara memecah lamunannya.
"Mas Martono?"
Suara itu begitu familiar, tapi Martono ragu untuk menoleh. Ketika dia akhirnya mengangkat wajah, dia melihat Yuni berdiri di sebelahnya, tatapan penuh keterkejutan bercampur rasa bersalah.
"Yuni?" suaranya pelan, hampir tak percaya.
Mereka berdiri dalam keheningan sejenak, hanya menatap satu sama lain. Jendela butik di depan mereka seolah menjadi cermin, memantulkan kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.
"Sudah lama," kata Yuni akhirnya, memecah keheningan. "Bagaimana kabarmu, Mas?"
Martono mengangguk pelan. "Baik. Kamu sendiri?"
Yuni tersenyum lemah. "Hidup terus berjalan, ya?"
Martono mengangguk lagi. "Ya, hidup terus berjalan."
Mereka terdiam lagi. Tas yang terpantul di jendela butik itu seakan menjadi pengingat bisu akan semua hal yang pernah terjadi di antara mereka.
"Kenapa kita jadi begini, ya?" Yuni bertanya, suaranya pelan dan penuh dengan penyesalan. "Kenapa kita tidak bisa saling mengerti?"
Martono mendesah. "Aku pikir aku melakukan yang terbaik, Yuni. Aku pikir dengan menabung, dengan merencanakan masa depan, aku menunjukkan cinta padamu."
Yuni menggeleng. "Tapi aku butuh sesuatu yang lebih sekarang. Aku butuh perhatian, kasih sayang, hadiah-hadiah kecil. Itu bahasa cintaku. Dan kamu... kamu selalu menunda, menunda semuanya. Rumah, anak-anak, kebahagiaan."
"Karena aku ingin semuanya sempurna," jawab Martono. "Aku ingin kita memiliki kehidupan yang aman. Aku ingin kita punya segalanya."
"Tapi aku tidak butuh segalanya," kata Yuni dengan suara lirih. "Aku hanya butuh kamu."
Martono menundukkan kepalanya. Kata-kata Yuni menusuk dalam. "Dan Rizal? Apakah dia yang memberimu apa yang aku tidak bisa?"
Yuni tersenyum pahit. "Rizal? Dia bukan cinta sejati. Aku pikir dia adalah jawabannya, tapi dia menolak. Dia tidak mau terlibat lebih jauh. Ketika dia pergi, aku sadar... cinta sejati yang kucari bukan Rizal, dan mungkin juga bukan kamu. Mungkin aku hanya mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa itu."
Mereka kembali terdiam, memandangi tas di balik jendela butik yang indah itu.
"Kamu pernah bahagia denganku, Yuni?" tanya Martono tiba-tiba.
Yuni mengangguk. "Ya. Tapi kebahagiaan itu... hilang, sedikit demi sedikit. Kita tidak pernah berbicara dengan cara yang benar. Kita saling mencintai, tapi dengan cara yang berbeda."
Martono tersenyum sedih. "Mungkin itulah masalahnya. Kita berusaha memahami cinta, tapi kita lupa bahwa cinta juga harus dipahami."
Yuni menatap Martono, matanya basah. "Aku sudah lama memaafkanmu, Mas. Dan aku berharap kamu juga bisa memaafkanku."
Martono mengangguk, merasa hatinya lebih ringan daripada sebelumnya. "Aku juga sudah memaafkanmu, Yuni."
Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat lagi, berbagi keheningan yang kali ini tidak terasa menyakitkan. Martono akhirnya menatap Yuni, tersenyum kecil.
"Tapi kita tidak bisa kembali, kan?" tanyanya.
Yuni tersenyum lemah. "Tidak, Mas. Kita tidak bisa kembali. Kita adalah bagian dari masa lalu masing-masing."
Martono mengangguk pelan. "Baiklah, Yuni. Jaga dirimu."
Yuni melangkah menjauh, berjalan perlahan di trotoar yang ramai. Martono tetap berdiri di depan jendela butik, menatap tas itu sekali lagi sebelum akhirnya melangkah pergi, membawa kenangan yang kini tak lagi menyakitkan.

Tangerang Selatan, September 2024

Comments