Kisah Sepotong Jempol


Aku lahir dari sebuah potongan. Sebuah jempol kanan yang terbuang di antara rerumputan kering dan tanah yang keras. Jempol itu milik Bambang Ekalaya, ksatria yang dulu terbuang dan ditolak, yang memotong bagian dari dirinya demi hormat kepada seorang guru yang tak pernah benar-benar mengajarkannya apa-apa. Tapi dari jempol yang terbuang itu, aku lahir. Sebuah potongan tubuh yang ditakdirkan untuk tak gentar, tak kenal takut, dan menjadi bagian dari kisah yang nyaris terlupakan.

Aku anak dari sebuah jempol yang telah jatuh, tapi darah Ekalaya mengalir deras dalam tubuhku, dan amarahnya—amarah yang tenang dan dingin—menjadi darahku. Mereka mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap kali pedangku menembus udara atau kudaku berpacu di padang, setiap kali aku mengangkat tanganku, mereka melihat potongan masa lalu yang tak bisa dihapus. Aku adalah warisan dari pengkhianatan, sebuah fragmen yang tak akan lenyap.

Sejak aku sadar sebagai entitas, aku tahu satu hal: dunia ini penuh dengan pengkhianat, dan aku adalah jawaban bagi mereka yang berani mengkhianati kehormatan seorang ksatria. Aku tidak tahu siapa yang memanggilku, atau mengapa aku dihidupkan. Namun yang pasti, aku di sini untuk menuntaskan sesuatu yang belum terselesaikan. Takdirku berdesir di udara, mengarahkan aku pada jalan yang harus kutempuh.

Hari itu, aku mengendap-endap di antara bayangan kemah-kemah Pandawa. Bayi Wisanggeni, cucu dari Arjuna, ada di dalam salah satu tenda. Sang bayi, meskipun kecil, membawa bayangan besar akan masa depan perang yang mendekat. Banyak yang ingin nyawanya melayang sebelum takdirnya terwujud. Dan aku—aku diutus untuk menjalankan tugas itu. Aku tidak tahu siapa yang mengirimku; mungkin takdir itu sendiri, mungkin sesuatu yang lebih besar dari diriku atau Ekalaya. Aku adalah alat. Aku adalah jempol yang terlempar dari tubuh ksatria, menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar potongan tubuh yang tak berguna.

Dengan langkah ringan, aku masuk ke dalam tenda. Di situ dia, terbaring, bayi tak berdosa, tertidur dalam damai. Aku menghunuskan belatiku. Saat aku mendekat, suasana malam yang sunyi pecah. Aku merasakan kehadirannya sebelum aku melihatnya—angin berputar dengan sedikit getaran, seolah alam memperingatkanku.

Aswatama. Dia berada di sini. Dia, putra Guru Drona yang sama. Dia juga datang untuk mengambil nyawa bayi ini, meskipun dengan motivasi yang berbeda. Dalam kegelapan, kami saling menatap, dua penunggang nasib yang berbeda, dua bayangan yang berlawanan namun serupa. Aku tahu siapa dia, dan dia tidak tahu siapa aku.

"Aswatama," bisikku. "Kau di sini juga?"

Dia tidak menjawab. Tapi matanya bercerita. Kebencian, amarah, dendam—semua itu ada di sana, terpahat dalam tatapannya. Bagiku, Aswatama bukanlah manusia, melainkan simbol dari segala pengkhianatan yang pernah dialami Ekalaya. Aku melihat Drona di matanya, aku melihat seluruh penolakan dan perintah yang merenggut jempol dari tubuh Ekalaya itu. Aku tahu satu hal: Aswatama harus mati.

Pertarungan terjadi dalam diam, hanya derak besi dan langkah kaki di tanah yang berbicara. Aku bukan ksatria dengan pedang mewah atau ilmu memanah yang legendaris, tetapi aku punya keberanian yang tak terbatas. Aku lahir dari sesuatu yang tak termaafkan, dari luka yang tak bisa sembuh, dan dalam setiap tebasan pedangku, aku merasakan energi dari sesuatu yang lebih tua daripada aku sendiri.

Aswatama adalah lawan yang kuat. Pedangnya memotong udara dengan kecepatan yang menggetarkan, tapi aku tak mundur. Aku menangkis setiap serangannya dengan kekuatan yang lahir dari amarah kuno. Di tengah pertarungan, aku bisa merasakan jempol Ekalaya yang hilang, seolah masih bersamaku, memberiku kekuatan. Aku tahu aku harus menang. Bukan hanya untukku, tapi untuk Ekalaya. Untuk setiap orang yang pernah dikhianati oleh takdir dan kekuasaan.

Bukan pedangku, yang akhirnya menemukan jalannya ke dada Aswatama. Tapi sebuah panah melesat dari sisi Wisanggeni, yang tak sengaja terpijak olehku. Aswatama jatuh dengan berat ke tanah, tubuhnya terbujur di antara bayangan malam. Aku berdiri di sana, napasku berat, tangan gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena kemenangan.

Namun, aku tak bisa menikmati kemenangan itu lama-lama. Suara langkah kaki para prajurit Pandawa mendekat. Mereka akan datang, dan mereka akan menemukan mayat Aswatama. Dan aku, anak dari jempol yang terbuang, harus pergi.

Sebelum pergi, aku menatap bayi Wisanggeni sekali lagi. Ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang mengingatkanku pada kekuatan yang lebih besar dari takdir itu sendiri. Aku tahu, bayi ini akan tumbuh menjadi lebih dari sekadar cucu Arjuna. Dia mungkin akan membawa dunia ke dalam pusaran kekacauan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tapi itu jelas bukan urusanku.

Aku keluar dari tenda, menghilang ke dalam kegelapan, seperti bayangan yang tidak pernah ada. Aku hanyalah sisa dari pengorbanan yang pernah dibuat Ekalaya, sebuah potongan tubuh yang hidup kembali untuk menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan.

Dan di saat malam semakin pekat, aku menyadari bahwa aku bukan lagi hanya potongan dari jempol yang terbuang. Aku adalah legenda yang tidak akan pernah diceritakan dengan lengkap.

Sudimara, 2024

Comments