Ketika Yosef membuka matanya pagi itu, ia merasa seperti tenggelam dalam kehampaan. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis di jendela tidak membangkitkan semangatnya, hanya menambah kontras antara dunia luar yang bergerak dan dirinya yang terjebak dalam kekosongan. Hari ini adalah hari pertama sejak ia resmi putus dari Mykaila. Rasanya seperti ruang kosong dalam hatinya semakin melebar, menelan bagian-bagian dirinya yang dulu penuh gairah.
Yosef menatap langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan alasan untuk bangun. Tapi setiap alasan yang ia pikirkan selalu kembali ke satu hal: Mykaila sudah pergi. Tidak ada gunanya mencoba meraih telepon, tidak ada pesan yang perlu ia kirimkan, tidak ada kata-kata yang akan mengubah kenyataan. Ia merasa lelah, bukan fisik, melainkan mental, seolah jiwanya kehilangan arah.
Suara dari luar kamar apartemen terdengar samar-samar—orang-orang berjalan, kendaraan berlalu lalang, sebuah kota yang tak pernah berhenti. Namun, bagi Yosef, dunia di luar sana terasa begitu jauh, begitu tidak relevan. Di sini, di dalam kamar yang sempit dan suram ini, hidupnya terasa berhenti. Sejak malam mereka berpisah, semuanya menjadi kabur, seakan hidupnya terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa ia singkirkan.
Yosef teringat hari-hari awal saat mereka bertemu, di sebuah pesta kecil di rumah temannya. Mykaila tampak berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya—tenang, dengan senyum yang lembut namun misterius. Mereka mengobrol tentang hal-hal sederhana—cuaca, buku yang sedang mereka baca—tetapi obrolan itu mengalir begitu alami, seolah mereka sudah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Semuanya terasa begitu mudah, begitu pas.
Namun, sekarang, setelah semuanya berakhir, kenangan itu seperti duri yang tertancap dalam di pikirannya. Setiap ingatan tentang Mykaila kini terasa seperti serangan mendadak, membuat dadanya sesak dan kepalanya berat. Ia tahu, seharusnya ia tidak terus memikirkannya. Ia harus bergerak maju, melupakan, melanjutkan hidup. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya begitu lama?
Yosef beranjak dari tempat tidur, langkahnya lemah saat ia berjalan menuju dapur. Kopi sudah menjadi rutinitas pagi yang tak terelakkan, meskipun hari ini, bahkan secangkir kopi tidak mampu menyegarkan pikirannya. Sambil mengaduk perlahan, ia menatap ke luar jendela, melihat orang-orang di trotoar di bawah, mereka tampak begitu sibuk, begitu tidak terpengaruh oleh patah hatinya.
Ada suatu ironi yang pahit di situ—dunia terus berjalan tanpa peduli. Orang-orang yang berlalu lalang di luar sana tidak tahu, tidak peduli bahwa seseorang di lantai atas ini sedang berjuang hanya untuk menghirup udara. Mereka punya hidup mereka sendiri, masalah mereka sendiri, dan bagi mereka, ini hanyalah pagi biasa, tidak ada yang istimewa.
Yosef kembali ke ruang tamu dengan cangkir kopinya, duduk di sofa dan menatap kosong ke dinding. Ia tahu hari ini akan datang—hari di mana Mykaila sudah tidak ada lagi di sisinya. Sudah lama ia merasa hubungan mereka retak, sudah lama percakapan menjadi datar, dan jarak di antara mereka semakin nyata. Namun, meskipun ia tahu, ketika kenyataan itu benar-benar terjadi, sakitnya jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Waktu berlalu lambat. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit seperti jam. Yosef mencoba untuk melakukan hal-hal sederhana, seperti membuka buku yang belum selesai ia baca atau menyalakan TV hanya untuk mengisi kesunyian, tapi tidak ada yang bisa menahan pikirannya dari kembali ke satu hal: Mykaila.
Ia ingat bagaimana Mykaila selalu duduk di sudut sofa itu, dengan kakinya yang melipat, membaca novel favoritnya sambil sesekali mengintip ke arahnya dengan senyum kecil. Itu adalah hal-hal kecil seperti itu yang paling ia rindukan. Bukan hal-hal besar, bukan pertengkaran atau percakapan serius, tapi momen-momen sederhana yang terasa begitu berharga ketika sekarang sudah tidak ada lagi.
Teleponnya bergetar di meja, tapi Yosef tidak meraihnya. Ia tahu itu bukan dari Mykaila, dan siapa pun yang menghubunginya tidak penting saat ini. Dunia luar bisa menunggu. Ia hanya ingin tenggelam lebih dalam dalam pikirannya, membiarkan rasa kehilangan itu menguasainya, berharap entah bagaimana, setelah rasa sakit itu mencapai puncaknya, ia bisa merasa lebih baik.
Tapi rasa sakit itu tidak hilang. Itu menetap, diam-diam menusuk, seperti hujan yang turun tanpa henti di jendela. Yosef tahu, ia harus bangkit, harus kembali ke dunia nyata, tapi untuk sekarang, ia hanya ingin terjebak di sini. Di ruangan ini, di tempat ini, di antara kenangan yang masih segar tentang seseorang yang telah pergi.
***
Beberapa hari berlalu seperti mimpi buruk yang tidak berujung. Pagi datang dengan cahaya yang sama, tetapi hati Yosef tetap gelap. Ia tidak pernah benar-benar pulih dari rasa sakit itu, hanya belajar untuk hidup dengannya, seperti seorang pelari yang harus terus berlari meski kakinya terluka.
Mykaila tidak pernah menghubunginya lagi. Mungkin ini yang terbaik, pikirnya. Lebih baik tidak ada komunikasi daripada saling menyakiti dengan harapan palsu. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang hilang, sebuah bagian dari dirinya yang sepertinya ikut pergi bersama Mykaila.
Teman-temannya mencoba mengajaknya keluar, mengusir kesedihan dengan tawa dan obrolan ringan di bar atau kedai kopi. Mereka bilang, Yosef hanya butuh waktu, dan segalanya akan baik-baik saja. Namun, Yosef tahu, waktu tidak bisa menyembuhkan segalanya. Beberapa luka tetap tinggal, tidak peduli berapa lama pun waktu berlalu.
Suatu sore, ketika hujan turun lebat di luar jendela apartemennya, Yosef merasa dorongan untuk keluar. Hanya keluar dan merasakan dunia lagi, meskipun hanya untuk sejenak. Ia mengenakan jaket dan keluar dari apartemen, membiarkan hujan membasahi wajahnya saat ia berjalan tanpa tujuan di trotoar.
Kota itu ramai, seperti biasa, orang-orang bergegas ke sana kemari, mobil-mobil melintas dengan cepat, semuanya tampak begitu sibuk. Tapi Yosef tidak merasa terhubung dengan semua itu. Ia merasa seperti hantu, berjalan di antara mereka tanpa pernah benar-benar ada.
Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah taman kecil yang dulu sering ia kunjungi bersama Mykaila. Bangku-bangku di sana basah oleh hujan, dan dedaunan bergoyang perlahan di bawah tetesan air. Yosef berhenti sejenak, mengingat bagaimana mereka dulu duduk di bangku itu, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang telah pudar, seperti jejak kaki di pasir yang tersapu ombak.
Ia duduk di salah satu bangku, membiarkan hujan turun di atasnya, tidak peduli jika ia basah kuyup. Di sini, di taman ini, di bawah hujan yang deras, Yosef merasa sejenak tenang. Tidak ada yang perlu dipikirkan, tidak ada yang perlu dihindari. Hanya ada dirinya dan alam, berbaur dalam kesunyian.
Entah berapa lama ia duduk di sana, tapi akhirnya Yosef bangkit, menarik napas panjang, dan berjalan kembali menuju apartemennya. Meski hatinya masih hampa, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Mungkin bukan kebahagiaan, tapi penerimaan. Mungkin, setelah semua ini, ia bisa mulai berjalan lagi, meskipun perlahan.
Dan ketika ia sampai di pintu apartemennya, Yosef merasa, untuk pertama kalinya sejak Mykaila pergi, bahwa mungkin segalanya akan baik-baik saja. Atau setidaknya, ia bisa belajar untuk hidup dengan luka itu.
Comments