Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar muncul di atas kota, aku sudah berdiri di sini, di jalanan yang panjang dan ramai. Aku menyapu trotoar, mengambil sampah yang tercecer, mengumpulkan daun-daun kering yang jatuh semalaman. Dalam setiap gerakan sapu di tanganku, aku merasakan kesunyian yang aneh.
Kota ini begitu bising, begitu ramai, tetapi di antara semua itu, aku selalu merasa sendiri. Kesibukan mereka adalah kesibukan yang tidak bisa kurasakan. Mereka bergegas dengan kepala tertunduk, terhimpit oleh sesuatu yang aku tak tahu persisnya. Dunia mereka tampak begitu jauh dari duniaku.
Aku menyukai saat-saat sebelum kota benar-benar terbangun. Ada momen ketika langit masih biru bersih, seperti kanvas yang belum diwarnai. Saat itu, aku bisa menikmati ketenangan sejenak, sebelum semua berubah. Sebelum debu dan asap kendaraan mulai naik, sebelum hiruk-pikuk mengaburkan segalanya, warna-warna yang saling bertabrakan, menghancurkan keindahan yang sempat ada. Orang-orang berjalan melewati jalan yang kusapu, tetapi mereka tidak pernah melihat apa yang kulihat. Dunia mereka penuh dengan tujuan yang aku tidak punya, sementara aku... aku masih punya langit pagi.
Namun, pagi ini berbeda. Ada sesuatu yang berat, sesuatu yang menekan dadaku sejak aku bangun dari tidur. Aku tidak tahu dari mana perasaan ini datang, tapi langit yang biasanya biru kini tampak kelabu, lebih gelap dari biasanya. Aku terus menyapu, mencoba mengabaikan rasa berat itu, tapi sepertinya semakin lama semakin memberat.
Lalu, sapu lidiku menyentuh sesuatu. Sebuah amplop kusut tergeletak di antara daun-daun kering di trotoar. Aku berhenti, memungutnya. Amplop itu kecil, seperti sudah terlupakan lama di sana, atau mungkin jatuh tanpa sengaja dari seseorang yang tidak sempat memungutnya kembali. Aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, tapi entah kenapa, kali ini aku merasa perlu membukanya.
Aku membuka amplop itu, menemukan selembar kertas di dalamnya. Tulisan tangan di surat itu hampir tidak terbaca, tintanya sedikit pudar, tapi aku bisa mengenali kata-kata yang ada di sana. Surat itu tampak ditulis dengan putus asa, dan semakin aku membacanya, semakin terasa bahwa ini bukan surat biasa.
_"Ibu,_
_Tolong maafkan aku. Hidupku terasa seperti berjalan dalam kegelapan, dan aku tidak bisa menemukan cahaya lagi. Semua terasa hampa, tak ada yang berarti. Aku sudah berusaha, ibu, tapi setiap hari hanya menjadi lebih sulit. Aku tahu kau akan sedih, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kesedihan ini._
_Aku mencintaimu, tapi aku tak lagi mencintai hidupku._
_Mungkin setelah ini, kau akan mengerti..._"
Aku berhenti membaca. Rasanya seperti ada yang menusuk jantungku. Surat ini, surat dari seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya, seseorang yang tidak mampu lagi menanggung beban yang ada. Aku berdiri terpaku di sana, memandang surat itu dengan perasaan campur aduk. Siapa orang ini? Di mana dia sekarang? Apakah dia masih hidup, atau...?
Aku mendongak ke langit yang semakin kelabu. Orang-orang terus berjalan melewatiku, seolah-olah aku tidak ada, seolah-olah surat di tanganku tidak ada artinya. Tapi surat ini punya arti. Setidaknya, bagiku. Entah mengapa, aku merasa ada yang harus kulakukan. Aku tidak bisa membiarkan surat ini begitu saja, seperti sampah yang biasa kutemukan di jalan. Tapi apa yang bisa kulakukan?
Langkahku terasa berat ketika aku melanjutkan menyapu. Ada beban yang menekan di dadaku. Aku mencoba mencari-cari, berharap melihat seseorang yang mungkin tampak putus asa, seseorang yang mungkin sedang memikirkan keputusan yang akan mengubah segalanya. Tapi jalanan ini penuh dengan orang-orang yang sama, wajah-wajah yang bergerak cepat, sibuk, tak peduli pada apa pun selain tujuan mereka.
Hari itu, aku tidak bisa melepaskan pikiran tentang surat itu. Kata-kata di dalamnya terus berputar di kepalaku. Aku mencoba membayangkan siapa yang menulisnya. Seorang anak, mungkin laki-laki, mungkin perempuan, yang sudah terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Seseorang yang merasa hidupnya tidak lagi memiliki makna. Tapi kenapa? Apa yang terjadi padanya? Apakah hidup memang bisa begitu kejam?
Aku merasa terjebak dalam rasa tidak berdaya. Aku ingin menolong, tapi aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Orang-orang terus berlalu, tak peduli, sementara aku berdiri di tengah-tengah dunia yang terasa semakin asing. Segala sesuatu di sekitarku menjadi kabur, seperti warna-warna yang bercampur dalam lukisan abstrak yang tidak bisa kupahami.
Ketika malam mulai turun, aku kembali ke tempat di mana aku menemukan surat itu. Jalanan kosong, dan trotoar yang sudah kusapu bersih tampak sepi. Surat itu masih ada di tanganku, seperti beban yang belum bisa kulepaskan. Apa yang seharusnya kulakukan? Bagaimana aku bisa menolong seseorang yang tidak kukenal, yang mungkin sekarang sudah tidak ada?
Aku duduk di bangku taman, memandang langit yang perlahan-lahan berubah menjadi hitam pekat. Di atas sana, bintang-bintang mulai bermunculan, tapi cahaya mereka tidak cukup untuk menerangi perasaan gelap yang ada di dalam diriku. Aku merasakan kesepian yang aneh, seolah-olah aku terjebak di antara dua dunia—dunia orang-orang yang sibuk, dan dunia yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan.
Aku mencoba membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi penulis surat itu. Merasa hidupmu tidak berarti, merasa tak ada jalan keluar. Apakah aku pernah merasakannya? Mungkin. Mungkin aku juga pernah merasa seperti itu, tapi aku tidak pernah menulis surat seperti ini. Aku tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku.
Tapi sekarang, setelah menemukan surat ini, aku merasa seolah-olah aku memikul sebagian dari beban itu. Seolah-olah kesedihan orang itu menjadi kesedihanku juga. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya menyingkirkan perasaan ini.
Esok paginya, aku kembali menyapu jalanan seperti biasa. Tapi kali ini, semuanya terasa berbeda. Langit yang biasanya biru tampak lebih terang, tapi ada sesuatu yang kosong di dalam diriku. Aku terus berpikir tentang surat itu, tentang orang yang menulisnya, tentang kesedihan yang mereka rasakan. Aku merasa seolah-olah dunia ini hanya sebuah ilusi, sebuah permainan warna yang saling menabrak tanpa makna.
Setiap orang yang lewat tampak seperti bayangan, bergerak cepat, tanpa arah. Mereka hidup dalam dunia yang sibuk, penuh tujuan yang tidak pernah benar-benar mereka pertanyakan. Tapi aku tidak bisa lagi melihat dunia ini dengan cara yang sama. Segalanya terasa hampa, seperti surat itu, seperti kehidupan yang tidak lagi memiliki makna.
Hari itu, aku duduk di trotoar, memandang sapu di tanganku, memandang jalanan yang terus dipenuhi orang-orang. Aku merasa sendirian, meskipun dikelilingi oleh keramaian. Apakah hidup ini benar-benar memiliki makna, atau hanya sekadar perjalanan yang tak terelakkan menuju kehampaan?
Aku tidak tahu lagi. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan pernah melihat langit pagi dengan cara yang sama lagi.
Tangerang Selatan, September 2024
Comments