Tipuan Kobat dari Kistaham


Takdir memang aneh dalam bekerja. Sebenarnya aku sudah tahu tidak seharusnya aku menanggapi dengan serius apa yang diucapkan oleh Pangeran Kobat dari Kistaham, karena ia termasuk dalam dua golongan manusia yang tidak bisa diberi masukan karena ia tengah dimabuk cinta dan ia hanya meyakini bahwa Muninggar akan menderita jika tidak menikah dengan dirinya.

Tetapi, aku temui juga ia di balairung istanaku. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya, dan di tubuhnya juga terdapat luka gores, luka lebam yang timbul karena kalah pertarungan dengan Amir Ambyah di dalam pasanggiri di Medayin, untuk memperebutkan Muninggar, putri Raja Nusirwan.

“Jadi, kedatanganmu ke Kaos ini meminta diriku mencampuri urusan percintaanmu itu, Pangeran Kobat?”

“Tidak secara langsung demikian, Raja Jobin. Perlu Paduka ketahui bahwa nasib negara-negara di Atas Angin ini sangat ditentukan oleh keberhasilan Amir Ambyah menikahi putri Raja Nusirwan itu. Dan seperti Paduka telah paham bahwa Raja Negara Medayin itu, sangat berambisi untuk menaklukkan negara-negara lain, Kuparman telah jadi contohnya. Wong Agung telah diminta Raja Nusirwan untuk mencaplok Kuparman dan menggelari dirinya Sultan Kuparman sebelum ia menikah secara resmi dengan putri Muninggar nanti.”

“Kuparman adalah Kuparman, bukan Kaos. Lain cerita kalau Amir Ambyah dan Nusirwan menggeruduk ke mari. Itu baru urusanku.”

Wajah Kobat menunduk ke lantai. Aku senang dengan suasana kikuk yang terjadi kemudian. Pikiranku bisa tenang sejenak dan berandai-andai akan banyak hal. Cerita tentang datangnya Amir Ambyah ke Atas Angin memang sudah diramalkan sejak Patih Betal Jemur menggantikan Patih Bestak, pamannya, untuk mendampingi Raja Nusirwan di Medayin.

Namun, aku dan Nusirwan telah berteman lama. Aku tahu, Nusirwan memang orangnya sangat ambisius. Jika benar bahwa Kuparman telah tunduk pada Medayin karena jasa Amir Ambyah, aku tidak ragu bahwa itu memang keinginan Nusirwan. Tetapi, aku belum pernah mencium keinginan untuk menyerbu Kaos darinya.

“Jujur saja, aku ragu bahwa Nusirwan akan meminta Amir Ambyah menyerbu ke sini. Sebab ia dulu malah pernah memintaku bersama dengan Patih Bestak pergi ke Kuristam menemui Raja Bahman mencari cara untuk bisa mengalahkan Amir Ambyah.”

Kobat berdehem sejenak sebelum menimpali perkataanku, “Itu dulu, Paduka, Patih Bestak sudah tidak lagi mendampingi Raja Nusirwan. Sementara, Patih Betal Jemur begitu percaya akan ramalan yang telah ditulis oleh Kiai Lukmanakim, kakeknya, bahwa Atas Angin ini akan bersatupadu dalam cahaya agama baru yang dinamakan Selam dan itu dimulai dari munculnya Wong Agung Jayengrana yang tak lain adalah Amir Ambyah.”

Kini giliran aku yang terpekur. Benarkah Nusirwan sudah berubah karena kini ia didampingi oleh Patih Betal Jemur? Aku melihat Kobat juga semakin gelisah. Duduknya seperti orang punya bisul di salah satu pantatnya. Sebentar-bentar ia mengubah posisi duduknya.

Bensawan, patihku pernah menceritakan satu kejadian ganjil tentang hal ini. Katanya, setelah Betal Jemur kembali dari Makkah, ia mengirim pesan pada Raja Nusirwan bahwa Patih Bestak harus menemuinya di perbatasan Medayin. Tetapi, Patih Bestak tidak mau. Bahkan ketika Raja Nusirwan memintanya memenuhi permintaan tersebut. Maka Raja Nusirwan sendiri yang pergi dengan menunggangi gajah. Begitu Raja Nusirwan berangkat, Patih Bestak segera mengiringinya dengan terpaksa. Saat melihat Raja Nusirwan sendiri yang datang menyambut kedatangannya, Betal Jemur sangat terkejut dan segera menjatuhkan diri untuk menyembah Raja Nusirwan. Namun, Raja Nusirwan memotong tindakan Betal Jemur dan membuat mereka kemudian berjabat tangan dan berpelukan seolah dua orang sahabat lama yang baru bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Saat itu, di dekat mereka turun dua ekor burung dan berkicau seolah tengah berbincang. Melihat hal tersebut, Patih Bestak berseloroh kepada Raja Nusirwan bahwa yang bisa mengerti percakapan dua ekor burung itu hanyalah Betal Jemur. Ternyata, Betal Jemur memang bisa mengerti percakapan dua ekor burung tersebut. Kepada Raja Nusirwan, Betal Jemur mengatakan bahwa dua ekor burung itu tengah membicarakan sebuah lamaran dan persyaratannya, agar lamaran itu bisa diterima. Persyaratan yang diminta oleh salah seekor burung itu adalah wilayah bagi calon mempelai berdiam nantinya setelah perkawinan yaitu dua buah desa yang kosong di Negara Medayin. Oleh seekor burung lainya, persyaratan itu mudah sekali untuk diwujudkan mengingat selama Patih Bestak berkuasa, banyak sekali desa-desa yang kosong ditinggalkan penduduknya. Ternyata selama ini, Patih Bestak memerintah dengan sangat kejam. Para penduduk desa yang tidak mampu membayar upeti ditangkapi, bahkan disiksa. Dan karena tidak tahan menderita, banyak penduduk yang pergi dari desa-desa mereka, mengungsi ke wilayah negara lain. Mengetahui hal itu, Raja Nusirwan marah dan meminta Patih Bestak mendatangi para penduduk yang mengungsi untuk meminta maaf dan meminta mereka kembali ke desa-desa tempat tinggal mereka sebelumnya, Dan untuk memastikan mereka mau kembali, Patih Bestak tidak boleh pergi sendiri melainkan harus didampingi oleh Betal Jemur yang saat itu juga diangkat secara resmi sebagai Patih Medayin.

Teringat cerita Patih Bensawan, aku jadi maklum mengapa Raja Nusirwan begitu memercayai ucapan Betal Jemur. Dan selama Betal Jemur masih menjabat sebagai Patih Medayin agaknya sulit untuk membujuk Raja Nusirwan mau bersatu padu dengan dirinya dan raja-raja negara Atas Angin lainnya untuk menolak kehadiran Amir Ambyah, terlebih menjadi suami dari putrinya, Muninggar.

Akhirnya, kukatakan pada Kobat, “Agaknya, aku harus mengambil sikap bahwa kesulitanmu akan tetap jadi kesulitanmu. Aku tak punya kuasa apa-apa atas hal itu.”

Kobat mengela napas panjang sebelum menjawab dengan bertanya, “Meskipun itu mengancam kedaulatan negara Kaos ini, Paduka?”

“Aku belum melihat sesuatu yang buruk untuk Kaos dari peristiwa yang menimpa dirimu.”

Aku melihat Kobat tersenyum kecut. Dan setelah lama terdiam, ia berujar kembali, “Paduka, jika kuceritakan kepadamu sesuatu apakah kau akan tetap tidak peduli?”

“Apa itu?”

“Amir Ambyah itu telah memiliki seorang putera yang bernama Raden Maryunani, dari istri yang bernama Dewi Sekar Kedaton. Raden Maryunani itu belum memiliki wilayah kekuasaan sendiri di Atas Angin. Dan yang aku dengar, Raja Nusirwan ingin menjodohkannya dengan putrimu, Dewi Haluljahar, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dan kalau Raja Nusirwan yang meminta putrimu untuk dinikahkan pada cucu menantu darinya, apakah kau akan menolak?”

“Jadi, begitu rencana Raja Nusirwan?”

“Bukankah Paduka juga punya keinginan seperti itu, jika bisa? Sayangnya, baik Paduka maupun Raja Nusirwan sama-sama memiliki anak perempua, begitu bukan?”

Entah tipuan atau rayuan, kali ini apa yang diucapkan oleh Kobat adalah suatu kebenaran. Aku pun ingin sekali bisa berbesanan dengan Raja Nusirwan apabila anakku lelaki dan baik aku maupun Raja Nusirwan tidak punya keberanian untuk mengambil keputusan menjadi menantu dari salah satu dari kami.

“Lalu, apa usulmu?”

Kobat kembali berdehem seolah ada sesuatu yang kasar dan berat berada di dalam tenggorokannya. Sesudah itu, ia bicara dengan nada yang sedikit mengambang, “Menurutku, jika Paduka berkenan, dan hamba lebih rela jika itu terjadi, lebih baik Paduka datang ke Medayin meminta Dewi Muninggar sebagai istri Paduka. Bagaimana?”

Meski terlihat dari matanya seperti hilang harapan, tapi juga aku melihat ada semacam bara yang meletup-letup setelah ia selesai mengatakan kalimat itu. Kini aku benar-benar terpekur karena ucapannya itu. Dalam pikiranku berkecamuk segala hal seperti bayangan wajah cantik dan belia Dewi Muninggar, raut muka terkejut dan heran Raja Nusirwan, amarah yang membuat merah wajah Amir Ambyah, derap pasukan dari Kaos hingga ke Jazirah Arab, sampai ratusan bahkan ribuan prajurit yang meregang nyawa mereka dalam beberapa pertempuran besar. Pertempuran yang mungkin bisa segera terjadi tak lama dari pertemuan antara diriku dengan Kobat dari Kistaham ini.

Comments