SEBUAH pertanyaan tertulis pada kertas berukuran folio; Apakah manfaat dari memelihara sapi? Sofma mengamatinya dengan tak sengaja karena kertas itu tiba-tiba berada di dekat kakinya, tergeletak di lantai peron. Ia hendak melakukan perjalanan ke Luna Turka, mengikuti anjuran dari Don Seri agar sekali-kali meliburkan diri daripada bekerja terus-menerus 24/7 tapi tak bisa menjadi orang kaya. "Berlibur itu seperti mengisi daya baterai bagi hati dan pikiran," Begitu bujuk Don Seri padanya. Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat mengambil cuti dan berlibur. "Paling-paling berjalan dari satu ke lain tempat di daerah tujuan pariwisata, nongkrong sana-sini, makan-minum, menghamburkan uang saja." Keluhnya. Don Seri, pemusik dan petualang yang dijumpainya di kedai minum Crab Legs memberi jalan keluar untuk berlibur murah dan benar-benar berbeda dari kebiasaan.
"Apa dan bagaimana itu?" selidiknya, penasaran.
Don Seri mengatakan padanya, pada bulan September, di Luna Turka, ada festival keagamaan di sebuah ashram. "Kau tinggal datang ke ashram, berbaur dalam acara dan kegiatan yang ada, tidur berbagi dengan para peserta lain di tenda-tenda yang disediakan, makan bersama. Semuanya gratis!"
"Tapi, itu kan festival keagamaan? Dan aku bukan pemeluk teguh dari satu agama atau kepercayaan tertentu. Aku ragu." Sofma mendadak seperti kehilangan minat pada pembicaraan terlebih anjuran Don Seri. Dan bukanlah Don Seri jika ia tidak bisa memberi jawaban atau alasan yang menyenangkan. Pergaulannya yang luas membuatnya selalu punya cara untuk membujuk orang bergembira. Lagi pula ia seorang penghibur yang siap mengajak orang menikmati musik yang ia persembahkan.
"Kau tahu apa manfaat dari orang memelihara ternak? Orang yang bersikap fragmatis tentu akan menjawab untuk diambil daging, susu, telur, atau lainnya yang bermanfaat. Namun, kau tahu hal spiritual apakah yang bisa didapat dari memelihara ternak? Ia menjalankan perintah Tuhannya selain mengambil manfaat dari beternak, juga menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Jadi, berdoa itu bisa dengan beragam bahasa, dan menyebut Tuhan bisa dengan beragam namaNya. Kau paham?"
Perkataan Don Seri itu seperti dikuatkan kembali kepadanya saat Sofma melihat kertas dengan pertanyaan di dekat kakinya. Yang terutama saat ini adalah ia bisa berlibur dan melupakan pekerjaan sehari-harinya sebagai akuntan swasta yang selalu dirumitkan dengan angka-angka dalam tabel rugi-laba. Lamunan Sofma terhenti karena ia mendengar pengumuman dari pelantang yang menyebutkan kereta api dengan tujuan Luna Turka segera tiba. Sofma menggenggam erat tali-tali tas ranselnya, sebelum akhirnya melangkah ke anjungan peron sesaat kereta yang hendak dinaikinya benar-benar sudah berhenti di hadapannya.
Melangkah sambil memerhatikan nomor kursi untuk mencari tempat di mana ia harus duduk sesuai dengan yang tertera di karcis, membuat Sofma berjalan seperti tergesa dan terhenti. Para penumpang lain yang berusaha mencari tempat duduk atau meletakkan barang bawaan mereka ke rak di atasnya membuat semacam kemacetan kecil berkali-kali bagi langkahnya. Sofma baru merasa sedikit lega setelah ia melihat nomor yang diperhatikan dengan saksama sedari tadi pada karcisnya.
20 B! Kursi dekat lorong. Tempat duduk yang sebenarnya ingin ia hindari. Maklum, duduk dekat lorong akan selalu mendapatkan gangguan dari para penumpang yang lewat. Demikian juga dari penumpang yang duduk di dekat jendela kalau mereka ingin buang air ke toilet di ujung gerbong. Namun kali ini ia tidak merasa begitu menyesal, yang penting sudah dari jauh hari ia bisa mendapatkan konfirmasi tempat duduk dan keberangkatan, mengingat festival keagamaan di Luca Turka itu membuat kereta api ke sana di awal bulan September ini melonjak jumlah calon penumpangnya.
Selesai meletakkan tas ransel di rak di atas kursi, Sofma mendengar ada yang mengucapkan "Permisi" dengan nada lembut namun jelas. Seorang perempuan berambut panjang hitam legam dengan wangi seperti dupa sudah berdiri begitu dekat dengan dirinya.
"Nomor kursi saya 20 A." Perempuan itu kembali bersuara.
"Oh, maaf saya menghalangi Anda masuk. Sebentar. Sebentar." Sofma bergegas duduk agar perempuan itu bisa masuk ke dalam ruang yang dibatasi oleh dua deret kursi itu. Perempuan itu menyeret tas besar yang kemudian dia letakkan begitu saja di hadapannya segera setelah ia duduk pada kursinya di dekat jendela. Tas berukuran besar itu memadati ruang dan membuat Sofma harus menyesuaikan duduknya. Sofma adalah pria bertubuh lumayan tinggi dengan tungkai kaki yang panjang.
Demi keleluasaan duduknya, Sofma memberanikan diri untuk bertanya pada perempuan itu apakah boleh tas besarnya ia letakkan di rak saja. Perempuan itu merasa keberatan, katanya, "Aku hanya sampai dua stasiun dari sini. Paling lama satu setengah jam perjalanan. Semoga kau tidak keberatan." Sofma mengangguk dengan kikuk, dengan senyum yang dipaksakan.
Perempuan itu berkata lagi, "Aku hanya sampai Wan Johi! Bukan sampai Luna Turka, tujuan terakhir kereta ini. Kau bisa mengerti?" Ucapannya kali ini terdengar seperti orang yang kecewa. Ini membuat Sofma tak ingin memperpanjang persoalan sepele ini. Biarlah, pikirnya, ia tahan-tahan duduk demikian. Toh, hanya selama satu setengah jam jika benar ucapan perempuan itu. Sofma mengangguk kembali. Kali ini sedikit lebih santai.
"Syukurlah kalau kau bisa mengerti. Aku ingin kereta ini segera berangkat." Lagi, perempuan itu bicara padanya. Entah dengan maksud apa. Sofma sebenarnya ingin menahan diri agar tidak membuat perempuan di sampingnya makin bertambah emosi. Meski ia tahu bukan ia penyebabnya. Namun perkataan perempuan itu menggelitik rasa penasarannya.
"Saya kira kau ingin ke Luna Turka untuk mengikuti festival keagamaan seperti saya," pancing Sofma.
"Kenapa kau mengira demikian?" Kali ini Sofma bisa melihat jelas mata perempuan berambut legam itu. Mata yang bulat besar dengan riasan maskara yang membuat mata itu terlihat semakin bulat dan besar. Mata yang bisa membuat degup jantung semakin kencang jika menatapnya lama-lama.
"Maaf, ada bau dupa yang begitu kuat ketika kau datang dan lewat di depanku."
"Oh." Hanya itu yang terucap sebagai responnya.
Perempuan itu membelalakkan kelopak matanya dan dengan tisu di tangannya ia menyeka sudut matanya sebelum melanjutkan bicara, "Tidak. Aku tidak pergi ke festival itu. Aku akan turun di Wan Johi. Urusan keluarga."
"Oh." Kali ini Sofma yang mengatakannya.
"Mau berdoa pada dewa apa kau di sana?"
"Maaf? Dewa? Saya belum tahu. Ini kali pertama saya pergi ke festival itu. Kau pernah ya?"
Perempuan itu kemudian menyebutkan beberapa nama dewa yang kepada mereka setiap acara dalam festival itu dihelat. Masing-masing akan punya waktu dan tempat sendiri dalam festival itu. Dan setelah ia menjelaskan cukup rinci, perempuan itu bertanya pada Sofma, "Apa pekerjaanmu? Kalau kau ingin rejekimu lancar dan karirmu baik, kau bisa berdoa sesuai dewa yang menaungi pekerjaanmu."
"Saya seorang akuntan swasta. Kira-kira saya harus berdoa pada dewa atau dewi apa?"
"Akuntan itu berhubungan dengan keuangan dan ketelitian. Kau bisa berdoa pada Dewa Ganesha juga pada Lakshmi Dewi. Pada Dewa Ganesha, kau bisa berdoa dengan mantra - Om Gam Ganpataye Namaha selama 108 kali setiap hari, dan kepada Lakshmi Dewi kau bisa membaca mantra Maha Lakshmi supaya kau diberkati."
Sofma merasa takjub pada perempuan itu. Betapa ia hafal ritual agama dan dewa-dewi yang disembah. Namun ia masih heran dengan sikap perempuan itu yang sedikit ketus dari tadi. Kurang mencerminkan seorang yang saleh.
Sebelum Sofma menanggapi perkataan perempuan itu, sayup terdengar peluit tanda kereta api siap diberangkatkan. Dan benar saja, perlahan-lahan kereta itu bergerak menarik gerbong-gerbongnya menjauhi stasiun.
Pemandangan di luar kereta yang memerlihatkan sebagian dari kota dan selebihnya areal persawahan entah mengapa membuat Sofma merasa ada beban dalam dadanya yang pelan-pelan menyusut beratnya. Ia mulai percaya ucapan Don Seri bahwa dengan berlibur ada hati dan pikiran yang diisi daya kembali.
Tiba-tiba ia melihat ada serombongan orang berdiri di tengah areal persawahan seperti sengaja menunggu kereta api itu lewat. Dari rombongan tersebut ada seorang lelaki berdiri paling depan dan paling dekat dengan sisi rel kereta api dan melambaikan tangannya, entah kepada siapa, tapi pastinya yang dituju adalah salah seorang dari penumpang kereta api ini. Sofma tidak menyadari perempuan di sebelahnya menarik semacam kerudung untuk menutupi wajahnya. Ia baru menyadari setelah perempuan itu bertanya kepadanya, "Sudah tidak terlihat?"
"Apa yang sudah tidak terlihat?"
"Lelaki yang melambai pada kereta api ini di sawah tadi."
"Oh. sudah jauh. Memangnya siapa dia? Kau kenal?"
"Bukan kenal lagi. Dia bernama Demanja, suamiku tadi siang. Aku memutuskan untuk tidak meneruskan upacara pernikahan karena ia seorang pecandu gutka. Tak ada yang memberitahukan sebelumnya kepada keluarga kami sebelumnya."
"Dia masih berharap pernikahan kalian berlanjut?"
"Sepertinya begitu tapi aku tidak bisa. Pecandu gutka itu menjijikan bau mulutnya. Belum lagi ludah merahnya selalu sembarangan dibuang ke lantai. Aku tak akan tahan hidup begitu! Dia sempat bersikeras untuk mengantarku ke stasiun tapi aku lebih dulu pergi."
"Kau tidak mengenal dia sebelumnya?"
"Bukankah tradisi kita untuk menikah tidak perlu saling mengenal pasangan masing-masing? Yang penting keluarga kita sudah sama-sama tahu siapa akan dinikahkan dengan siapa. Bukankah begitu? Apa kau lupa?"
Sofma terpekur. Ia sudah lama melupakan tradisi pernikahan semacam itu. Sofma melarikan diri dari rumah dan keluarganya karena dipaksa menikahi Marmari, anak perempuan kolega ayahnya. Keputusan bulat itu diambil karena ia lebih mencintai Kumbi, teman kuliahnya. Namun cinta itu juga kandas karena Kumbi harus menerima pinangan keluarga Desdas.
"Hei, mengapa kau melamun?"
Sofma mendengar ucapan perempuan berambut legam beraroma dupa di sampingnya dengan jelas tapi ia malas untuk menanggapinya. Sofma lebih tertarik untuk menikmati luka dalam dadanya seperti lelaki yang melambaikan tangan pada kereta api tadi. Ia yang tahu sebenarnya ada yang bisa ditentang dan diperjuangkan dalam hidup ini, tapi memang ada kalanya hanya bisa berkata, "Selamat jalan. Semoga bisa bertemu kembali."
Jakarta, September 2021
Comments