BANGKAI

Sebaik-baik menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga, begitu pepatah yang menunjukkan bahwa orang tidak bisa menyimpan begitu saja kesalahan atau dosa. Tetapi, tokoh kita ini senang sekali menyembunyikan banyak hal-hal ganjil di dalam kepalaku, seolah kepalaku adalah kuburan bagi bangkai-bangkai yang ia bawa ketika mengunjungiku. Aku menyebutnya sebagai bangkai karena tokoh kita ini menceritakan hal-hal ganjil yang ia anggap layak untuk dibuang jauh-jauh dari kehidupannya, baik kehidupannya sebagai seorang bapak, seorang suami, atau seorang karyawan sebuah perusahaan. Barangkali karena ia menganggapku begitu baik mau menampung apapun ceritanya tanpa mengumbarnya kepada teman-teman lainnya, atau mungkin lebih dari itu, bertemu denganku seolah masuk ke dalam bilik pengakuan dosa. Namun, untuk yang terakhir, aku tak berani jemawa apalagi aku tak sedikitpun pernah memberinya wejangan bahkan memintanya untuk bertobat dan berdoa. Aku hanya menampung ceritanya tanpa pernah menyela ataupun memotongnya. Aku lebih mirip tong sampah, atau, ya, seperti tadi aku bilang, kepalaku adalah kuburan bagi ceritanya itu.

"Kau tahu tidak? Kemarin itu aku hampir menempeleng istriku!" Katanya sambil menyesap kopi dari cangkir ke tiganya. Tanpa perlu aku bertanya "mengapa?" ia segera melanjutkan ceritanya, "Masakan di depan mertuaku, istriku bilang bahwa aku suami yang tak diuntung. Sudah berpenghasilan kecil, merasa sudah sangat berjasa, tidak pernah mau meringankan beban istri mengurus anak-anak dan membersihkan rumah. Padahal, untuk mendapatkan gaji yang dia sebut kecil itu aku sudah mati-matian bekerja dengan baik, pergi pagi, pulang malam. Masak ia tidak mau mengerti?"

Aku hanya tersenyum kecil dan mendengus mendengar keluhannya itu. Melihat aku tersenyum, tokoh kita ini tidak protes padaku semisal beranggapan aku menertawakan deritanya, atau dengan dengusanku itu, ia akan menduga bahwa aku akan membela tingkah istrinya karena ia tahu aku sangat memerhatikan isu-isu KDRT dan feminisme selama ini. Dan seperti biasa, tanpa aku minta untuk meneruskan ceritanya, ia kembali mengoceh, "Bukannya aku tidak tahu diuntung, Bung! Aku juga sadar bahwa tugas sebagai istri itu berat. Aku pun tidak segan untuk membantu pekerjaan rumah kalau pas libur tapi bercerita yang bukan-bukan di depan orang tuanya itu 'kan kurang ajar namanya. Seolah menuduh aku orang yang tidak bertanggungjawab pada kesejahteraan keluargaku sendiri. Padahal kurang apa coba aku, setelah bertahun-tahun menjadi karyawan di suatu perusahaan dengan gaji kecil lalu berpindah dua tiga kali ke perusahaan lain agar gajiku naik. Belum lagi mengejar upah lemburan, dan kau lihat saja sendiri, sampai sekarang aku belum bisa beli mobil mewah tapi ke mana-mana pakai motor butut itu yang kau tahu sendiri 'kan sejak kita masih kuliah sudah aku pakai."

Tokoh kita ini menyomot pisang rebus, yang tadi aku iseng membelinya karena kasihan pada penjualnya yaitu seorang pelajar kelas dua SMP yang terpaksa berjualan karena ayahnya di-phk dan ibunya meninggal karena wabah covid-19, yang tidak lebih dari enam detik sudah lumat dalam mulutnya sebelum kemudian meneguk lagi kopi di cangkir ke tiganya sebelum mulut itu kembali menyemburkan kata-kata, "Aku sudah banyak berkorban untuk keluargaku tanpa pernah mengejar sesuatu untuk aku pakai atau aku gunakan dari sebagian gaji yang aku terima setiap bulan untuk melakukan kesenanganku, ah kau tahu 'lah, dari dulu aku suka memancing di laut. Dan kau juga tahu sudah lama aku tak memancing, bukan?"

Ya, tokoh kita ini dulu aku kenal memang sering pergi memancing baik di Pangandaran atau di Kepulauan Seribu. Sebelum ramai orang menjawab semboyan sebuah acara televisi dengan kata, “Mantap!” ia aku kenal memang termasuk maniak untuk urusan memancing ikan karena hampir setiap ada kesempatan ia sudah sulit dihubungi oleh teman-teman kami yang lain dengan alasan memancing. Aku mengangguk-anggukan kepalaku seolah menikmati ceritanya. Ganti ia yang mendengus melihat tingkahku.

“Ah. Kau jangan pura-pura bisa memahami isi hatiku! Mana pernah aku lihat kau mau berkorban seperti aku ini. Aku tahu kau masih sering main bilyar dengan teman-temanmu, bukan, berapa yang kau habiskan di sana, tidak mungkin sebulan kau hanya menghabiskan lima ratus ribu di meja bilyar, benar ‘kan? Beli token saja bisa habis dua ratus ribu semalam, belum kasih tips untuk gadis bolanya, belum rokok, belum minum. Benar bukan? Uang lima ratus ribu itu sangat berharga buat keluargaku, Bung, kau tahu ‘kan? Belanja di tukang sayur setiap hari sudah lebih dari lima puluh ribu! Nah, mulailah kau berhemat. Jangan sampai uang itu kau hamburkan percuma. Belum kalau urusan uang sekolah anak, mending kau pikir-pikir dulu, deh sebelum kau menikah.”

Aku membatin, sialan benar omongan tokoh kita itu. Dia tidak tahu bahwa aku pun tengah mengalami kesulitan keuangan semenjak wabah covid-19 ini menyerang. Sektor mana yang tidak terserang kesulitan pada saat begini? Hampir semuanya. Bahkan aku nyaris mendaftar menjadi tukang ojek daring jika tidak diberitahu oleh salah satu rekan yang mencoba lebih dulu bahwa sudah tidak ada lagi pendaftaran untuk menjadi mitra. Untung saja, aku masih bisa menghasilkan beberapa tulisan di sebuah situs hiburan. Berita ecek-ecek yang aku comot dari video-video Youtube para artis lumayan laris dibaca. Namun itu tak banyak menghasilkan uang. Asal ada pemasukan saja, aku sudah merasa beruntung. Terlebih memang aku belum punya keluarga.

Tokoh kita ini, setelah menyelesaikan ocehannya sekitar pukul empat sore, pergi dengan wajah yang masih kusut seperti waktu ia datang. Sedikit uang dan sebungkus rokok yang kuberikan padanya, tidak banyak mengubah air mukanya. Sebelum pergi, ia kembali berpesan, “Kau pikir-pikir dengan betul kehidupan berumah tangga itu. Carilah istri yang bisa lebih memahami keadaanmu! Terima kasih atas waktumu mendengar keluhanku. Jangan bosan!”

Suara sepeda motornya yang akrab itu rasanya belum lama menghilang dari kepalaku, ketika teleponku berdering dan suaranya terdengar menggelegar dengan penuh kepedihan, “Bung! Tolong aku! Aku tak sengaja telah membunuh istriku! Lekas, Bung! Tolong aku!”

Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas pergi ke rumahnya. Rumah tokoh kita ini ada di sudut kampung. Mereka menempati sebuah rumah petakan di atas tanah garapan milik instansi perkebunan. “Hanya bisa menyewa yang murah, Bung,” aku ingat betul ucapan tokoh kita saat aku dan teman-teman mengunjunginya, menyambut undangannya untuk semacam selamatan atas pernikahan tokoh kita dan istrinya yang dirayakan dengan sangat sederhana, hanya makan-makan untuk teman dan keluarga, katanya. Begitu sampai di rumah tokoh kita ini, aku disergap perasaan takut karena rumahnya terasa begitu sunyi. Lamat-lamat aku dengar tangisan anak-anak kecil. Aku mengirimkan pesan kepada teman-temanku mengenai kondisi darurat dari tokoh kita. Amin, seorang teman, menyatakan akan menghubungi pihak kepolisian supaya aku tidak dianggap sebagai kaki tangan dari kejahatan yang dilakukan oleh tokoh kita ini. Amin menjamin dalam pelaporan itu aku datang ke lokasi kejadian karena diminta oleh tokoh kita itu karena hanya aku yang dipercaya olehnya dalam setiap kesulitannya, bahkan ia menyatakan bahwa kedatanganku ke lokasi untuk menahan tokoh kita agar tidak kabur dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Aku setuju saja, yang penting aku tidak akan dituduh sebagai pelaku jika benar tokoh kita telah membunuh istrinya.

Saat pintu rumah sewaan tokoh kita ini aku buka, aku hanya melihat anak-anaknya dan istrinya. Aku heran, bukankah menurut berita yang aku dengar tokoh kita ini telah membunuh istrinya, mengapa istrinya masih hidup. Terkejut melihat kedatanganku, istri tokoh kita justru melontarkan sebuah bentakan, “Kau sembunyikan ke mana suamiku? Tidak tahu sudah malam begini, anak-anaknya belum makan?!”

Aku tergagap. Bukankah sudah sejak pukul empat tokoh kita itu sudah pulang? Dengan tetap tenang, aku berkata kepada istrinya itu. “Mbak, aku ke sini karena diminta untuk menjenguk kalian. Tadi suami mbak pergi ke rumahku dan minta tolong agar dipinjami uang untuk keperluan hari ini.”

“Jadi, kau tidak tahu ke mana suamiku?”

“Tidak, Mbak. Jangan salah paham,” jawabku berbohong tentang kedatanganku ke rumahnya. Aku segera memberikan kepada perempuan itu dual embar uang seratus ribu. “Maaf, saya hanya ada uang segini. Tidak seperti yang diinginkan oleh suamimu untuk diberi pinjaman.”

Ia segera menerima uang itu tapi tatapan matanya masih terlihat bingung.

“Kenapa, Mbak?”

“Aku tidak tahu harus ke mana membeli makanan untuk anak-anakku yang lapar ini. Bisakah aku minta tolong kau belikan, entah nasi atau mi goreng?” Perempuan itu kembali mengangsurkan uang yang telah aku berikan kepadanya. Aku segera menolak.

“Tidak perlu, Mbak. Pakai uang saya saja untuk beli makanan. Sebentar saya pergi dulu.”

Ia mengangguk.

Sambil berkeliling kampung dengan sepeda motor mencari penjual nasi atau mi goreng yang berjualan, aku tidak habis pikir, mengapa tokoh kita ini berbohong mengenai pembunuhan istrinya. Telepon genggamku bergetar beberapa kali tanda banyak pesan yang masuk. Aku berencana untuk membacanya saat menunggu nasi atau mi goreng disiapkan penjualnya setelah aku temukan nanti.

Tak berapa lama, aku sudah menemukan penjual nasi goreng keliling di salah satu jalan. Kebetulan ia sedang melayani seorang pembeli dari sebuah rumah. Setelah menyebut pesananku, aku mulai mengambil telepon genggamku untuk membaca pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari Amin yang mengatakan polisi sudah meluncur menuju lokasi. Aku segera membalasnya dengan pesan pendek, “False alarm! Tidak ada korban.” Yang dengan cepat dijawab oleh Amin dengan emotikon orang menangis dan tulisan, “Waduh! Celaka! Aku bisa kena laporan palsu!”

Entah apa yang kemudian terjadi dengan Amin. Ia tak lagi memberi pesan kepadaku. Barangkali, ia bisa mengatasi masalah tuduhan laporan palsu itu. Pesan-pesan lain hanya dari teman-teman yang mendoakan agar tidak terjadi hal-hal gawat selain meminta tokoh kita menyerahkan diri dan menceritakan yang sejujurnya. Pesan-pesan itu pun aku balas dengan kalimat yang sama dengan pesan kepada Amin tadi dan langsung beberapa orang menjawab dengan kata-kata bernada kelegaan.

Kembali ke rumah tokoh kita yang masih hanya berisi istri dan anak-anaknya, aku, tepatnya makanan yang aku bawa, disambut mereka dengan tangkas dengan kata, “terima kasih” yang terdengar kikuk yang diucapkan oleh istri tokoh kita itu. Aku berdiri di halaman saat mereka menyantap makanan itu, bahkan sebenarnya berharap bisa segera pergi dari tempat itu. Hanya rasa penasaran akan apa yang terjadi pada tokoh kita itu membuatku bertahan, terutama aku ingin sekali mendapatkan jawaban mengapa ia meneleponku dan mengatakan telah membunuh istrinya.

Suara sepeda motor yang akrab di telingatku tiba-tiba terdengar, kali ini dibarengi dengan suara sepeda motor lain. Darahku berdesir kencang, jangan-jangan tokoh kita melakukan suatu perbuatan tercela sehingga ia dikejar oleh mereka yang ramai suara sepeda motornya terdengar olehku. Benar saja, ada banyak orang datang ke rumah petak sewaan tokoh kita. Tetapi, tak ada tokoh kita bersama mereka. Aku melihat seorang mengendari sepeda motor tokoh kita dan ia dengan tergopoh-gopoh mendatangiku.

“Benar ini rumah kontrakannya, siapa tadi, sebentar,” Ia merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan selembar kartu tanda penduduk. “Damai Persahabatan!” Meski yakin bahwa sepeda motor yang dibawa oleh si penanya adalah milik tokoh kita itu, tapi aku tak mengenal nama itu. Tokoh kita itu, sepanjang aku mengenalnya bernama Sahabat Perdamaian, bukan Damai Persahabatan. Dengan rasa penasaran yang sangat, aku merebut KTP dari tangan si penanya. Aku perhatikan benar barang itu, dan aku yakin sekali wajah di dalam foto pada KTP itu benarlah wajah tokoh kita!

Perempuan yang sedang makan bersama anak-anaknya itu segera menghambur ke luar rumah. Ia bertanya berkali-kali, “Ada apa ini? Ada apa ini?” pada mereka yang mendatanginya. Si penanya mencabut dengan kasar KTP dari tanganku lalu memberikan pada perempuan itu. “Benarkah ini rumah Damai Persahabatan?” KTP itu dengan cepat berpindah tangan pada perempuan itu yang segera disambut dengan lengkingan tangis yang lebih keras daripada tangis yang aku dengar tadi ketika mereka kelaparan.

Namun, tangisan itu tak berlangsung lama. Dari mulut perempuan itu malah keluar sumpah serapah yang menginginkan orang yang dimaksud oleh penanya itu celaka, ditangkap polisi, bahkan mati, dan ia tak peduli. Tidak lagi peduli pada nasib orang itu.

Dalam kebingungan karena perubahan yang mendadak dari perempuan itu, aku pun bertanya pada si penanya tadi, “Ada apa dengan Damai Persahabatan ini?” Si Penanya balik bertanya, “Kau siapanya?” Yang aku balas dengan mengatakan bahwa aku datang ke tempat itu hanya untuk memberi uang pada perempuan itu dan anaknya.

“O, berarti kau temannya?” Lagi-lagi ia bertanya.

“Bisa dibilang begitu, tapi sebenarnya ini ada masalah apa?”

Si Penanya memerlihatkan air muka bengis, sebelum ia berkata dengan ketus kepadaku, “Damai ini sudah lama berhutang pada kami. Sepeda motor butut ini tidak cukup untuk menutupi hutang-hutangnya. Malam ini, adalah tenggat waktu ia harus melunasi hutangnya. Jika tidak …”

“Jika tidak, apa yang akan kalian lakukan padanya?”

“Bukan kepadanya. Tapi, istri dan anak-anaknya akan menjadi budak-budak kami!”

“Lho, mana boleh begitu? Ini negara hukum dan perbudakan sudah tidak ada lagi,” cegahku.

“Tahu apa kau! Kecuali, kau mau menggantikan posisi mereka atau membayar hutang-hutangnya!”

Aku minta waktu padanya untuk mengontak Amin, barangkali Amin dan teman-temanku bisa segera patungan untuk membayar hutang Damai ini.

“Hah?” Amin terkejut setelah aku bercerita sedikit. “Hutang apa lagi manusia satu itu? Coba tanyakan berapa jumlahnya, baru aku tanya ke teman-teman apakah mereka bisa bantu melunasinya.”

“Berapa total hutangnya?” Tanyaku pada si Penanya tadi.

“Yang harus ia lunasi 900 juta rupiah!”

Perempuan itu menggerung. Di telepon, Amin merutuk, “Anjing!” Aku merasa lemas seketika. Uang sebanyak itu tak mungkin bisa kami lunasi malam ini. Aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya selain bertanya-tanya mengapa tokoh kita itu menjerumuskan aku pada kondisi yang benar-benar berbeda dengan semua yang ia telah ceritakan kepadaku? Apakah selama ini ia berbohong padaku dengan aneka persoalannya itu? Aku merasa barangkali memang tak semua harus dipercaya di dunia ini. Bahkan saat aku menceritakan peristiwa ini kepadamu, kau tak harus percaya, dan lebih baik tidak perlu dipercaya. Bukankah dunia ini memang penuh kebohongan? Dan bukankah satu kebohongan akan selalu membutuhkan kebohongan lain untuk menutupinya?

Dan kebohongan, bagaimana pun juga, akan selalu terkuak seperti orang menyimpan bangkai. Dan di cerita ini, akulah yang menjadi bangkai pada akhirnya. Percayalah!

 

Jakarta, Januari 2021

 


Comments