Tentang Sura Anggajaya


Jika tidak berkaitan dengan Ki Gede Lurah Agung, maka mungkin cerita ini akan dianggap sebuah lelucon bagi orang Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Sebab tak mungkin kau melacakku di Pantai Utara Jawa yang panas dan bising ini. Kau tahu, Ki Gede Lurah Agung telah menolong serombongan orang Tiongkok yang membawa Ong Tien Nio dari Campa ke Cirebon. Dia hendak menemui Syarif Hidayatullah yang pernah mengunjunginya.

Sayangnya, kapal mereka terkena badai dan terdampar di Pulau Balik Layar. Maka, Syarif Hidayatullah meminta Ki Gede Lurah Agung untuk menemaninya menjemput mereka.

"Maaf Tuan Syekh, kiranya apa yang mereka inginkan sampai datang ke Tanah Jawa ini?" Ki Gede Lurah Agung memulai pembicaraan ketika mendengar ajakan Syarif Hidayatullah itu.

"Cerita lama, Ki Gede, cerita lama. Aku sebenarnya sudah enggan berurusan dengan Tiongkok, tetapi kau tahu betapa Majapahit selalu mengutus orang-orangnya memberi laporan bahwa di Nusantara ini keadaannya baik-baik saja sehinga Kaisar Cina tak perlu menempatkan pasukan atau perwalian di sini membuat setiap perjalanan orang-orang Tiongkok ke Nusantara ini harus dihormati dan dianggap bersahabat. Padahal, kita juga tidak tahu apa yang diinginkan mereka sebenarnya."

"Apa kira-kira kedatangan mereka ada hubungan dengan perebutan kekuasaan di tanah Pasundan ini? Mungkin mereka mendengar bahwa Demak Bintoro dan Palembang sudah bersatu dengan Bantan untuk menguasai seluruh tatar Sunda dan mengenyahkan orang-orang kulit putih itu?"

Syarif Hidayatullah terdiam. Dia malah mengenangkan cerita yang lebih rumit dari sekadar peperangan, penyebaran agama, atau kedatangan kolonialis Eropa, yaitu cintanya pada Ong Tien Nio yang pernah dipupus oleh ayahanda putri itu. Dia yakin kedatangan Ong Tien Nio adalah untuk menyatakan penyesalan ayahandanya dan memberikan dirinya dalam ikatan pernikahan untuknya.

Namun ketika dia lihat Ong Tien Nio tampak lebih gemuk dengan perut yang membusung, Syarif Hidayatullah pun jengah. Apalagi putri itu menginginkan pernikahan mereka dipercepat sebelum anak itu lahir.

"Anak? Kau mengandung?" Pekik Syarif Hidayatullah.

Ong Tien Nio menangis. Syarif Hidayatullah tidak lantas percaya. Dia terawang perut gendut Ong Tien Nio. Dan tak lama kemudian, dia berkata, "Biarlah yang berasal dari bokor kuningan dan bantal tetap menjadi bokor kuningan dan bantal."

Mendengar ucapan Syarif Hidayatullah, Ong Tien Nio terguguk. Memang benar adanya, kehamilannya hanyalah akal-akalan agar pelariannya ke Jawa bisa membuahkan hasil sebuah pernikahan dengan calon penguasa Cirebon itu.

Syarif Hidayatullah melambaikan tangan ke arah Ki Gede Lurah Agung, dan berkata, "Kemarilah Ki Gede. Bawalah mereka ke tempatmu. Dan jika anak putri Tiongkok ini lahir, biarlah dia menjadi anakmu juga. Sebab aku tak mungkin memisahkan Nyi Mas Pakungwati istriku dari amanat Pangeran Cakrabuana yang memintaku merawat Ibunda Nyi Indang Geulis dan putrinya."

Ki Gede Lurah Agung menghormat pada Syekh Syarif Hidayatullah lalu meminta putri Ong Tien Nio dan rombongannya pergi bersamanya ke Saung Galah. Sementara Syekh Syarif Hidayatullah memilih pergi ke Pesantren Amparan Jati.

Sampai suatu masa ketika putri Ong Tien Nio ternyata benar-benar hamil dan melahirkan seorang putera yang sehat, yang oleh Ki Gede Lurah Agung diberi nama Sura Anggajaya. Maka di situlah simpang siur siapa sebenarnya Sura Anggajaya dimulai. Apakah dia memang benar-benar anak Syekh Syarif Hidayatullah atau dia adalah Arya Kemuning, salah satu putera Ki Gede Lurah Agung.

Yang jelas, ketika kabar ini sampai padamu, telah berlangsung peristiwa yang lain. Seseorang yang bernama Syekh Maulana Akbar mendirikan sebuah pesantren di Kajene. Sebuah desa di kawasan Sidapurna. Dialah yang menerima Sura Anggajaya yang terkenal mumpuni dalam olah senjata untuk menuntut ilmu agama Islam, lalu kemudian karena budi pekertinya yang luhur Sura Anggajaya dinikahkan dengan putrinya sendiri, Putri Nimas Kencanawati.

Sejak saat itulah, tidak ada lagi Saung Galah dan Kajene disebut. Sebab begitu menggantikan kedudukan Syekh Maulana Akbar, Sura Anggajaya memilih nama Arya Kemuning atau Pangeran Kuningan. Yang kemudian oleh Syekh Syarif Hidayatullah sebagai penguasa Cirebon didapuk sebagai Adipati pertama di daerah itu pada tanggal 1 September 1498.

Jakarta, 2o16

Comments