Tak Ada yang Mati di Cimanuk


Beginilah titah Ramanda Gagak Singalodra berkenaan dengan kematian dua puluh lima orang Palembang di tanah perdikan Arya Wiralodra anaknya; Siapa pun dia, Nyi Endang Darma harus bertanggungjawab atas peristiwa itu. Pertarungan yang adil melawan Pangeran Gagak Lumayung harus dilakukan di hadapan Pangeran Guru dari Palembang. Hal ini supaya Pangeran Guru tahu dan menyadari, meskipun Gagak Singalodra tidak berkuasa atas tanah perdikan Arya Wiralodra, tetapi sebagai bapaknya, dia ikut bertanggungjawab. Dan juga supaya Pangeran Fatah dari Demak ikut mendengar, bahwa Banyumas tidak punya hubungan apa-apa dengan kematian 25 orang Palembang itu. Hal ini disampaikan Tanujaya dan Tanujiwa, adik-adiknya, kepada Arya Wiralodra.
Mendengar putusan dari ayahnya, Arya Wiralodra termenung seketika. Bagaimana mungkin Pangeran Gagak Lumayung yang sakti itu bisa dia kalahkan. Kian Santang atau Gagak Lumayung yang terkenal telah menaklukan raja-raja kecil dan besar di hampir seluruh tatar Sunda, sudah pasti dengan mudah menghancurkan perdikan di lembah Sungai Cimanuk ini. Dengan kata lain, ayahnya memberi ijin pada Cirebon untuk menguasai perdikan ini lantaran kematian dua puluh lima orang Palembang yang merupakan teman-teman dari Pangeran Guru itu.
Padahal mereka berduapuluh lima itulah yang sejak pertama datang sudah bersikap ingin menguasai lembah ini. Pangeran Guru merasa perdikan ini perlu diajarkan lagi agama Islam yang benar, sedangkan keduapuluh lima anak buahnya merasa tanah lembah ini perlu dijadikan perkebunan dengan seenaknya menanam aneka bibit tanaman tanpa berdiskusi dengan warga setempat. Dan ketika mereka ditegur, mereka selalu mengatakan bahwa Palembang adalah sahabat Cirebon dan Demak Bintoro, serta kedatangan mereka sudah atas ijin raja-raja itu. Hal itulah yang menyakitkan hati Arya Wiralodra.
"Mereka tidak tahu bagaimana aku dan Ki Tinggil bersusah payah menemukan tempat ini. Mereka tidak tahu bagaimana aku dan Ki Tinggil harus berperang dengan jin dan siluman. Mereka tidak tahu betapa kuatnya Budipaksa dan Bujarawis yang bahu membahu untuk mengalahkan aku dan Ki Tinggil. Juga mereka tidak pernah tahu berbulan-bulan aku bertempur sendirian melawan Werdinata, raja jin Pulomas itu." Desis Arya Wiralodra, marah.
"Tapi Kanda, bukankah engkau tidak bertanggungjawab atas kematian duapuluh lima orang Palembang itu?" Tanujaya bingung dengan kemarahan Arya Wiralodra yang tiba-tiba.
"Ya. Benar kata Tanujaya. Apa hubungannya Kanda dengan Nyi Endang Darma?" Tanujiwa juga ikut bingung.
"Ketahuilah, adik-adikku, kematian mereka berduapuluh lima adalah tanggungjawabku. Pertama, karena mereka mati di tanah ini. Kedua, karena sesungguhnya yang bernama Nyi Endang Darma itu tidak ada. Tidak pernah ada."
Kedua adik Arya Wiralodra bertatapan heran. Tak mengerti maksud pembicaraan Arya Wiralodra. Setelah saling memandang, keduanya bertanya lirih nyaris serempak, "Maksud Kanda..."
Seakan mengerti pikiran adik-adiknya, Arya Wiralodra mengangguk dan bicara, "Benar. Nyi Endang Darma adalah aku sendiri."
"Tapi, bagaimana caranya Kanda menyamar jadi wanita?" Tanujaya bertanya kembali. Sedangkan Tanujiwa segera menatap kakaknya dari ujung kepala sampai kaki sambil berpikir bagaimana caranya tubuh gagah perkasa Arya Wiralodra bisa berubah menjadi tubuh wanita.
"Kalian tahu, ketika aku mencari perdikan ini, aku pun sampai jauh ke selatan. Di kaki Gunung Halimun, aku bertemu dengan Ki Sidum, penjaga seluruh tatar Sunda. Dialah yang mengajari aku bagaimana menipu pandangan lawan. Aku bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Aku bisa jadi kijang kencana, atau perempuan berwajah jelita."
Tanujaya dan Tanujiwa kembali berpandangan. Kali ini dengan wajah yang terlihat penuh kekaguman. Lalu keduanya dengan senyum mengembang berseru hampir berbarengan, "Ajari kami, Kakanda. Ajari kami!"
Arya Wiralodra tiba-tiba tersenyum. Bola matanya berputar seperti tengah melihat satu kesempatan di tengah prahara yang membingungkan dirinya, terutama soal kematian tokoh samaran yang dia mainkan di hadapan Pangeran Guru yang dituntut terjadi oleh ayahnya sendiri.
"Baiklah. Akan aku ajarkan bagaimana kalian bisa berubah wujud. Tetapi, sebelumnya, aku minta pertolongan kalian. Apakah kalian mau menerimanya?"
Kedua adik Arya Wiralodra segera bersimpuh mengiyakan permintaan kakaknya.
Maka, di hari yang ditentukan terjadilah peristiwa ini; Pangeran Guru didampingi oleh Arya Wiralodra melihat Pangeran Gagak Lumayung alias Kian Santang bertempur habis-habisan dengan Nyi Endang Darma. Berkali-kali mereka beradu pukulan dan tendangan. Nyi Endang Darma beberapa kali terjatuh tetapi bangkit lagi menyerang Pangeran Gagak Lumayung. Dan Pangeran Gagak Lumayung hampir saja kalah sebelum sebuah tendangannya menemu perut Nyi Endang Darma dan membuat Nyi Endang Darma berteriak kesakitan, lalu terbanting ke belakang.
Melihat tendangannya masuk telak, Pangeran Gagak Lumayung mencecar Nyi Endang Darma sampai-sampai mereka sudah berada di pinggir Sungai Cimanuk. Dan satu pukulan terakhir dari Pangeran Gagak Lumayung membuat Nyi Endang Darma terjengkang, masuk ke dalam sungai yang airnya sedang deras-derasnya itu. Dan tak lama kemudian, tubuh yang timbul tenggelam itu tak lagi kelihatan. Pangeran Gagak Lumayung berdiri mematung. Kemudian berlari ke arah hilir.
Pangeran Guru menoleh pada Arya Wiralodra penuh rasa puas. Apa yang diinginkan oleh Palembang, Cirebon dan Demak sudah dilakukan Arya Wiralodra. Dia menyalami Arya Wiralodra sambil berkata, "Aku sudah menyaksikan kematian Nyi Endang Darma, dan pasti aku kabarkan ke Cirebon, Demak dan Palembang, bahwa Arya Wiralodra bertanggungjawab penuh atas kematian dua puluh lima orang pengikutku."
Arya Wiralodra menyambut jabat tangan itu dengan cepat. Dia juga tersenyum namun senyum itu cepat terhapus oleh rasa kuatir. Sementara di hilir sungai, Tanujiwa yang menyamar sebagai Gagak Lumayung memanggil kakaknya untuk segera pergi. Tanujaya yang sedang berwujud perempuan cantik dan tengah berusaha naik ke tepian sungai, mendengar Tanujiwa berteriak-teriak, "Nyi Endang Darma, Ayo!"

2016

Comments