Kalau melihat penampilannya, kau akan terkecoh mengira pemuda berhidung panjang berkulit kemerahan itu adalah orang gila. Sebab biarpun berjalan, bibirnya bergerak-gerak seolah sedang berbicara dengan sesiapa. Karena penasaran, aku dekati dia. Dan, masya Allah, ternyata rambutnya yang gimbal dan panjang digelungnya menyerupai konde dan diletakkan di atas kepala seperti sebuah surban. Orang di pantai utara ini menyebut surban dengan kata 'udeng-udeng' karena dibuat dengan cara memutar-lilitkan kain ke kepala yang membuat kepala seolah bergoyang-goyang.
Orang-orang mengolok-olok dia dengan sebutan Pangeran Ramagelung karena gaya rambutnya itu, tapi dia tidak marah. Malah dia bilang padaku, "Justru aku menggelandang ingin mencari seorang sakti yang bisa memotong rapi rambutku."
Aku tertawa mendengarnya. Aku pikir dia bercanda. Apa susahnya memotong rambut meskipun bentuknya gilig dan panjang seperti tambang. Tapi sebelum aku mengutarakan pendapatku, dia sudah berkata lagi, "Kau lihat, jika gelung ini kulepas, panjang rambutku sudah lebih dari sepinggang."
Ternyata rambutnya benar-benar panjang. Ujungnya sudah menyentuh tanah. Pantas saja dia menggelungnya begitu rupa. Jika diriapkan, tentu menyusahkan dia berjalan.
Sebenarnya, kau berasal dari mana?" Tanyaku penasaran.
Dia lalu menceritakan sebuah perjalanan dengan nama daerah yang aku belum tahu. Dia lahir di Yaman, lalu besar di Syam. Dia mengaku bernama asli Syarif. Dan dia datang ke tanah Jawa tak sengaja. Kapalnya terdampar di Karang Kendal. Di daerah itu, dia ditolong oleh seorang bernama Tarsiman.
"Sebetulnya aku tidak tega tinggal di sana, kasihan! Soalnya Ki Tarsiman sendiri sudah punya banyak anak. Kalau tidak salah ada sekitar dua puluh lima orang, sampai-sampai dia dijuluki Ki Buyut Selawe. Bagaimana jika ketambahan aku yang seperti raksasa ini? Makanku juga banyak."
"Lalu, kau menggelandang?"
"Tidak juga. Aku melakukan apa yang disebut orang sebagai dakwah bil hal. Berdakwah dengan perbuatan. Bekerja apa saja untuk menolong orang yang membutuhkan."
"Apa itu berdakwah? Aku tak tahu," tukasku.
"Berdakwah itu mengajarkan ilmu agama. Tapi dalam hal ini, aku mengajar dengan memberikan contoh perbuatan yang baik, yang sesuai dengan petunjuk agama."
"Perbuatan seperti apa itu?"
"Kau akan mengerti jika kau mau menemaniku melakukan pencarian terhadap orang sakti yang bisa memangkas rambutku ini. Bagaimana?"
Dia pun berjalan lagi ke arah sebuah sungai kecil yang tak jauh dari tempat aku mengajaknya bercakap-cakap. Aku pun mengikutinya dengan kepala penuh harap bisa menyaksikan perbuatan-perbuatan luar biasa yang ingin ditunjukkannya.
"Apakah kau bisa menghilang?" Tanyaku.
"Tidak."
Apakah kau bisa berubah wujud?"
"Tidak."
"Apakah kau bisa begini?" Kataku sambil berlari mendahuluinya menggunakan ajian saipi angin sehingga dia tertinggal jauh. Dan aku dengar dia merutuk.
Aku berhenti tepat di sebuah perahu kecil yang ditambatkan di pinggir sungai kecil itu. Di dalamnya, tergeletak jaring ikan. Nampaknya pemiliknya tengah bersiap untuk menjala. Ketika aku tengah mengangkat jaring itu, dia sudah sampai di dekatku dengan napas terengah.
"Allahu Akbar. Subhanallah. Apa yang tadi kau lakukan? Kenapa bisa begitu?"
Aku tersenyum melihatnya kebingungan. Dan aku yakin dia makin kebingungan melihat ikan-ikan besar beterbangan dari sungai kecil itu memasuki jaring yang kubentangkan di depan dadaku.
"Apa lagi yang kau perbuat? Bagaimana bisa seperti itu?"
Aku terkekeh melihatnya dia begitu kebingungan. Sepertinya dia belum pernah melihat suatu karomah, karunia Allah yang terjadi bagi manusia yang dikehendaki Allah untuk menunjukkan kebesaran Dia yang menciptakan langit dan bumi ini.
"Apakah kau seorang waliyullah?" Tanyanya penuh keheranan.
Raut mukanya mulai berseri seperti menemukan sesuatu yang dia cari selama ini.
"Kalau kau benar seorang wali Allah, tolonglah potong rambutku yang panjang dan gimbal ini," pintanya padaku.
"Rambut apa?"
Aku balik bertanya sambil memasukkan ikan-ikan besar di dalam jaring itu ke dalam perahu yang tertambat di pinggir sungai kecil itu.
"Rambutku!" Teriaknya setengah memohon setengah kegirangan.
Lalu kubiarkan dia semakin menjadi-jadi dalam kesenangan melihat rambut-rambutnya berjatuhan seperti rontoknya bunga cempedak. Dan terakhir, lamat-lamat dia berteriak menyebut nama Tuhannya -- "La Ilaha illalah!"
Aku sendiri sudah pergi jauh dari sungai kecil itu.
Aku kembali ke Ampanan Jati.
Jakarta, 2016
Comments