Berjalan ke utara, Werdinata tetap mengingat menantunya Arya Wiralodra. Meskipun di utara, Nawangwulan yang lebih tinggi kadigdayaannya sudah pasti akan mudah untuk mengalahkan dirinya dalam waktu yang singkat. Tidak akan selama waktu dia dan Arya Wiralodra bertarung sebelas bulan lamanya di sekitaran Cimanuk. Tidak juga selama dia bertapa dan mendapatkan penglihatan akan datangnya tsunami di Dermayu.
Nawangwulan, Ratu Laut Utara itu, pernah didengarnya sebagai seorang bidadari yang turun ke bumi. Karena itu, Werdinata berharap dia akan bersifat welas asih pada keinginannya itu. Keinginan yang menurutnya mustahil, tetapi pantas dicoba jika memang benar Nawangwulan bisa mengabulkannya. Sambil berjalan, Werdinata berzikir, "Subhanallah. Subhanallah. Subhanallah."
Werdinata telah menerima islam sebagai pengganti agama lama, karena itu dia tidak lagi memegang tameng Kopyahwaring sebagai senjata, hanya tasbih yang terbuat dari kayu cendana. Dia tinggalkan tameng yang terbukti ampuh menahan gempuran Cakra Baswara milik Arya Wiralodra bertahun silam itu karena dia percaya, Nawangwulan tidak hendak mencegah keinginannya dan mengajaknya bertarung. Kalaupun hal itu tidak terbukti dan Nawangwulan akan memerangi dirinya, Werdinata sudah pasrah.
Kali ini kepasrahannya melebihi ketika dia mendengar saran dari Kalacungkring untuk menyerah kepada Arya Wiralodra dan menerimanya sebagai sahabat daripada terus menerus mengobarkan peperangan antara Pulomas dan Dermayu. Kali ini dia sangat yakin dengan perkiraannya bahwa Nawangwulan akan mengabulkan permintaannya. Lebih yakin daripada ketika menyerahkan anaknya, Puteri Inten ke tangan Arya Wiralodra sahabatnya itu. Maka, ketika dia selesai bertapa dan mulai berjalan ke utara, Werdinata hanya meminta Allah untuk menjadi penjamin keselamatannya.
Memasuki keraton Laut Utara yang gaib, Werdinata tidak ingin memandang ke kanan dan ke kiri. Pandangannya tunduk seperti seorang anak yang ketahuan berbohong pada orangtuanya. Dia bahkan tidak melihat Nawangwulan masuk balairung dan duduk di atas singgasananya.
"Katakanlah apa keinginanmu, Werdinata, sampai datang seorang diri ke keraton ini. Jauh dari asalmu di Pulomas." Sambut Nawangwulan.
"Duhai. Ratuku, Nawangwulan, yang kepadamu disebutkan seluruh harapan nelayan di pesisir Jawa digantungkan agar beroleh keselamatan dan kesejahteraan selama di berada di lautan, dan yang namanya disebut sebagai perwakilan kebaikan Tuhan melalui cahaya bulan oleh anak-anak perawan, aku datang untuk sebuah permohonan."
"Katakanlah, Werdinata, apakah permohonanmu itu. Siapa tahu aku bisa mengabulkannya."
"Baiklah, Ratuku. Aku telah mendapatkan penglihatan tentang bahaya yang mengancam anak turunku di Dermayu. Sebuah ombak besar datang menerjang pantai, air bah masuk ke kampung-kampung dari hilir Cimanuk. Menewaskan semua yang aku kasihi dan sayangi."
"Hm. Aku juga sudah mendapatkan penglihatan seperti itu. Lalu, apa yang kau inginkan?"
"Kalau Ratuku sudah melihat hal itu, tentulah sudah melihat hal yang lain lagi," jawab Werdinata.
Kali ini Nawangwulan merasa Werdinata menguji kesaktiannya dengan perkataan itu. Seolah-olah, dia sebagai Dahyang Ratu Pantai Utara tidak bisa melihat hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Alih-alih menanyakan apa yang dilihat oleh Werdinata, Nawangwulan berkata, "Ya. Aku melihat ombak itu berputar, masuk ke selat Sunda, dan mengempas demikian keras di Ciamis dan Pangandaran."
Werdinata terkejut. Padahal bukan itu yang dia maksudkan, tapi perkataan itu justru menggembirakan dirinya karena Nawangwulan bermaksud memindahkan tsunami itu ke selatan. Werdinata jadi tahu bahwa Nawangwulan tidak mengetahui apa yang telah dia lihat setelah penglihatan tentang tsunami itu. Dan demi menghormati Nawangwulan, Werdinata berkata,"Sungguh aku merasa benar-benar jauh dari seujung kuku dengan dirimu, Duhai Ratuku. Aku tak bisa melihat hal itu. Yang aku lihat adalah betapa anak cucuku kembali memohon bantuanmu agar orang-orang Swarnadwipa, dari Palembang, bisa selamat datang ke tanah Jawa supaya rencana anak cucuku mengusir orang-orang tinggi besar berkulit putih di kota pelabuhan sebelah barat dapat terwujud."
Nawangwulan tersenyum. Dia mengerti Werdinata tidak ingin dia kehilangan wibawa di hadapan para menteri dan pejabat di istananya. Meski begitu, ada yang masih mengganjal dalam hatinya.
"Werdinata, mengapa kau sangat membela orang-orang Dermayu? Bukankah saat tsunami datang, Pulomas, kerajaanmu, tidak terkena dampaknya?"
"Ratuku, Arya Wiralodra adalah sahabatku, menantuku, dan meskipun dia sudah mangkat bertahun-tahun lalu, anak keturunannya adalah anak keturunanku. Dia menghormatiku dengan tidak mau memandangku hina meski aku menyerahkan anakku agar dia tak menyerang Pulomas, dan agar dia mau menjalin persahabatan denganku. Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang sahabat selain menjaga kehormatan sahabatnya? Tentulah Ratuku setuju, bukan?"
Nawangwulan mengangguk. Kini dalam pikirannya mulai berkecamuk bagaimana menghadapi kemarahan Nyi Rara Kidul penguasa Laut Selatan jika dia mengalihkan tsunami itu ke Ciamis dan Pangandaran. Namun, demi menghormati sikap Werdinata, dia tak memperlihatkan kegundahannya. Meski demikian, Werdinata sempat melihat telapak tangan Nawangwulan bergetar saat mempersilakan dirinya masuk ke ruang makan.
2016
Comments