Ular atau Anak Kucing

Meskipun semua orang tidak setuju, tapi Wikar tetap berpendapat bahwa Mona itu tidak cantik. Menurut Wikar, kecantikan seorang gadis itu didapatnya ketika dia mengerling, mengikat rambut, dan menoleh sambil berjalan. Mona tidak pernah melakukan itu semua. Wikar berpendapat, Mona selalu tampak serius jika berbicara. Gerak tangannya terlalu kaku. Dan kakinya seperti dihentak waktu berjalan. Semuanya membuat bulat keputusan Wikar untuk menganggap bahwa Mona tidak cantik.

Sebetulnya, Wikar teramat percaya pada omongan Disrun soal kecantikan seorang perempuan. Padahal Disrun hanyalah pemuda pengangguran yang setiap hari mengamen di pasar. Disrun kerap bercerita pada Wikar bahwa perempuan yang cantik itu bergerak seperti ular. Pelan dan gemulai. Itu menurutnya. Karena gerak yang pelan dan gemulai itu memancing rasa penasaran dari lelaki yang memandanginya.

“Tidak semua perempuan bergerak lamban, Wikar,” sergah ibunya ketika Wikar bercerita tentang Disrun dan kriteria kecantikan perempuan.

“Kalau aku bergerak lamban, dari mana kau akan kuberi makan? Aku harus cak-cek-cak-cek mengerjakan ini-itu agar rejeki selalu mengalir di rumah ini. Kau tahu sendiri bapakmu cuma sopir angkot!”

Dalam hati, Wikar membalas perkataan ibunya – makanya ibu tak pernah kuanggap cantik. Wikar hanya manggut-manggut mendengar celotehan ibunya. Dari wajahnya yang menatap kosong ke tumpukan belanjaan, yang sedang dibongkar oleh ibunya untuk segera memasak aneka sayuran matang yang nanti siang dijual secara keliling dari rumah ke rumah di beberapa kompleks perumahan di sekitar kontrakan, tampak bahwa dia sama sekali tidak menggubris perkataan ibunya.

“Mona itu cantik lho, Wikar.”

Perkataan itu membuat lamunan Wikar bubar. Sudah berulangkali ibunya berusaha menjodohkan dirinya dengan Mona dan Wikar selalu menolak. Wikar merasa dirinya lebih cocok bersanding dengan Ayu, janda beranak satu yang rumahnya di ujung gang, atau dengan Dini, buruh pengepakan kacang telur, yang sering berkesah dirinya sudah bosan ditanya “kapan nikah” oleh orangtuanya.

“Bu, Mona itu meskipun tamatan SMA juga, anaknya biasa saja. Kalau dia cantik pasti sudah jadi rebutan lelaki. Mungkin sudah dari dulu Disrun mengajaknya kawin.”

“Ah. Kamu itu. Disrun lagi. Disrun lagi. Lalu kamu maunya sama siapa? Ayu? Janda genit yang sering kau apeli tiap malam minggu? Atau siapa itu? Yang suka kemari itu? Yang anaknya kecil-kecil tapi montok.”

“Dini?”

“Ya. Itu.”

“Tidak lah Bu. Ayu itu hanya perlu teman ngobrol. Dan menurut dia, aku paling enak diajak ngobrol. Kalau Dini ke sini, pasti juga cari teman curhat.”

“Lalu kenapa dengan Mona? Apa kau tidak mau jadi temannya dulu. Paling tidak untuk menjajaki kemungkinan apakah perjodohanmu dengan dia bisa berlanjut atau tidak, Wikar,” keluh ibunya dengan nada agak putus asa menasehati Wikar berkali-kali agar mendekati Mona.

“Disrun bilang, hati-hati dengan perempuan yang bertingkah seperti anak kucing, Bu.”

“Maksudnya?”

Wikar menjelaskan bahwa menurut Disrun, perempuan yang berbahaya untuk didekati itu mirip dengan anak kucing. Terlihat lucu, menggemaskan, seperti tengah mengharapkan perhatian dan kasih sayang, namun ketika sudah dekat, yang ada dia akan berbuat seenak hatinya, bahkan jika dilihat anak kucing ketika merasa kehilangan – dia akan berteriak-teriak di jalan atau di tengah keramaian.
Saat Disrun memberitahu hal-hal semacam itu pada Wikar, kejadiannya persis ketika ibunya menasehati. Wikar hanya manggut-manggut sambil memandang sesuatu di kejauhan.

“Memalukan, ya?” Wikar menyimpulkan paparan Disrun.

“Ya. Begitulah, Kar,” yakin Disrun.

“Begini,” lanjut Disrun, “misalnya hubungan kita gagal, dia bisa saja datang ke rumah kita untuk bercerita perangai atau kelakuan kita ke orang tua kita. Ke saudara-saudara kita. Kemudian, ketika dia pulang, yang ada kita berperang sendiri dengan keluarga kita. Repot, kan?”

“Jadi, aku harus cari perempuan yang seperti ular ya Run?”

“Ya, dong!”

“Siapa, ya?”

Disrun mengangkat bahu sambil menoleh pada Wikar yang garuk-garuk kepala.

***
Sejak diceritakan bahwa kedua pihak orang tua Wikar dan Mona telah sepakat untuk menjodohkan mereka ketika beranjak dewasa, Mona sering berkeluh kesah pada Disrun, pemuda kampung yang wajahnya cukup tampan sebenarnya, tapi karena hidupnya banyak berada di jalan menggelandang dan mengamen di pasar, maka tampilan Disrun selalu awut-awutan. Badannya bau antara bau badan karena jarang mandi, bau rokok, dan bau minuman.

Mona memilih Disrun sebagai teman bercerita karena Disrun adalah cinta monyetnya di SMP. Sejak mereka putus, tentu akibat masa depan Disrun yang tidak jelas, mereka masih berteman. Karenanya, ketika Disrun mengatakan dia akan mencari tahu seperti apa watak dan perangai Wikar, Mona merasa gembira. Setidaknya dia tidak buta-buta amat tentang Wikar, sehingga kalau mereka bertemu nanti dia bisa sedikit bersiasat untuk membuat Wikar tidak mau dijodohkan dengan dirinya.

“Tenang saja, Mona. Aku sudah cekoki Wikar dengan informasi yang ngawur tentang perempuan. Aku bilang, jangan pernah mendekati perempuan yang kelihatan lemah, tak berdaya, klemar-klemer, manja, dan seperti memberikan harapan. Dekatilah perempuan yang seperti ular. Cekatan tetapi bergerak pelan. Aku bilang padanya, kau tahulah bumbu cerita para lelaki, perempuan yang cekatan tetapi bergerak pelan itu akan dahsyat di ranjang!”

“Ih. Kamu pikirannya selalu ngeres!”

“Namanya juga laki-laki. Apa sih yang diharapkan laki-laki dari seorang perempuan selain gairah asmara di ujungnya? Hahaha…”

“Wikar percaya?”

“Jangan bilang Disrun kalau tidak berhasil membujuknya untuk percaya! Hahaha…”

Mona terdiam. Betapa picik ternyata pikiran Disrun. Betapa bodoh juga Wikar yang mau percaya begitu saja pada pikiran dan ucapan Disrun. Diam-diam dia merasa bahagia kisah cinta monyetnya dengan Disrun tidak berlanjut sampai sekarang.

“Aku pulang ya?”

“Kok pulang?”

“Wikar tadi sms mau datang ke rumah. Ini pertemuan pertama aku dengan dia.”

“Jangan lupa! Berperanlah seperti anak kucing yang lembut dan manis. Dia pasti akan menganggapmu tak menarik.”

“Ya. Ya. Lihat nanti saja.”

***

Disrun memandangi kekosongan yang tercipta di pasar ketika para penjual dan pedagang sudah pulang. Pasar saat itu hanya menyisakan bau amis, bacin, dan suara lalat yang mendengung berkali-kali.

Gitar merk Kapook yang digunakan untuk mengamen sedari tadi sudah disandarkan ke salah satu tiang los. Di dekatnya, kantung kain penampung uang receh dan uang kertas kumal digeletakkan begitu saja. Isinya sudah dari tadi disusun di dalam kantung celana denimnya yang sudah robek di sana-sini. Warnanya juga sudah tidak jelas lagi, biru, putih, coklat, kuning, hitam. Yang penting tidak berlubang di bagian selangkangan.

Dihisapnya pelan-pelan rokok yang tinggal seruas jari dengan nikmat. Bibirnya yang kehitaman beberapa kali berdecak.

“Wikra. Wikra. Begitu polosnya dirimu. Kau tidak tahu bahwa aku sering memimpikanmu. Sejak cintaku kandas dengan Mona, aku tak lagi percaya pada perempuan. Perempuan hanya menginginkan kebutuhan fisik saja. Lelaki macam aku mana pernah bisa memuaskan mereka.”

Jemarinya yang dihiasi kuku kecoklatan akibat seringnya kena asap rokok dijentikkannya. Sebatang rokok yang tadi dihisap dibuangnya dengan jentikan jarinya. Puntung itu masuk ke dalam selokan pasar yang dipenuhi air berwarna hitam.

“Wikra. Aku akan membuatmu sadar bahwa cinta bukan cuma bisa didapatkan dari para perempuan!”


Jakarta, November 2014

Comments