Sunday, November 09, 2014

Gadis Pemetik Jeruk

"Kita menangis untuk menunjukkan
bagaimana kejadian sebenarnya,"
David Wagoner


Gadis yang akan aku ceritakan ini, bukanlah gadis yang membawa sekantung jeruk dalam sebuah trem yang berjalan seperti diceritakan dalam novel Gaarder. Karena gadis ini tidak ada bisa membuat rasa ketertarikan yang amat sehingga aku sebagai laki-laki merasa – oh dunia, aku tengah jatuh cinta pada gadis itu - seperti yang dirasa oleh Jan Olav saat itu. Bahkan saking jatuh cintanya, Jan Olav meneruskan rasa cintanya itu dengan bercerita lewat surat kepada anaknya, Georg, setelah dia meninggal. Dia, kalau boleh saya katakan, lebih mirip dengan Sri Sumarah dalam kumpulan cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Betapa tidak, tadi ketika dia terjatuh akibat memetik jeruk, dia berbaring saja di lantai teras rumahku. Dia tidak mengaduh, tidak juga memekik-mekik ketika mengurut lengan dan kakinya yang mungkin sedikit keseleo akibat terjatuh itu. Dia terbaring saja seolah dirinya telah mati dan tengah dihanyutkan di aliran sungai Gangga. Yang aku pikirkan ketika melihat dia terbaring itu adalah – betapa bodohnya dia!

Aku juga bukan tengah meremehkan sikap sumarah atau pasrah yang dianut oleh Sri, dalam novelette Sri Sumarah itu - meskipun orang tuanya menasehatinya untuk terus berbuat bagi hidupnya, yang padahal secara nyata telah dilakukan Sri tanpa harus diminta – ketika aku melihat sikap gadis itu, tetapi menurutku sikap diam dan pasrah gadis itu sungguh keterlaluan. Aku sebagai orang yang paling dekat dengan peristiwa jatuhnya dia akibat memetik jeruk sampai tidak merasa kasihan karena dia jatuh, karena tadi dia langsung berdiri, dan berjalan menuju teras rumahku, lalu berbaring sambil menguruti lengan dan kaki dengan diam. Aku tadi hanya mendengar suara gedebum, dan melihat dia melakukan hal itu semua dalam diam, sehingga aku mengambil kesimpulan: dia tidak mengalami apa-apa akibat dia jatuh tadi.

Kalau aku bercerita dengan gaya bahasa yang merepet seperti tadi, tentu bukan karena aku bosan melihat tingkahnya, tapi sungguh aku kuatir karena akibat dari perbuatannya itu. Jangan-jangan tangan atau kakinya patah akibat jatuh itu. Tapi aku juga bertanya-tanya sendiri: mengapa dia sepertinya tidak mengalami apa-apa? Dan yang membuat aku begini, tak lain karena dia seorang gadis yang manis. Mungkin begini jika diceritakan secara lambat: rambutnya hitam, panjang sebahu. Kulitnya coklat, tetapi sedikit terang. Orang bilang sawo matang? Menurutku lebih cerah dibandingkan itu. Lalu hidungnya mancung seperti hidung peranakan campuran orang Indonesia dengan orang Kaukasian. Bibirnya juga tipis. Dan yang paling penting kelopak matanya tidak sipit sehingga ketika dia terbelalak justru terlihat menjadi lebih cantik. Nah, kira-kira kalau melihat gadis seperti ini di jalan ketika kau berlari sore – seperti yang sedang jadi tren di kalangan pekerja kantoran di wilayah Jakarta Selatan, apakah kau akan menegurnya; selamat pagi, karena kau begitu grogi.

Begitulah, tiba-tiba aku menangis karena sedari tadi aku telah berpikir keras – bagaimana gadis semanis dirinya seolah tidak mampu berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri? Mungkin kondisiku saat ini sama persis dengan patung Bunda Maria yang digambarkan terduduk menangis menerima tubuh Kristus yang telah mati dalam karya bertajuk Pieta yang pernah aku lihat di dalam gereja Santo Petrus di Vatican beberapa bulan lalu. Kau bisa bayangkan orang yang menangis karena tidak bisa berbuat banyak bagi orang lain, bukan?

Ya. Aku mengerti. Kau akan mengatakan terlalu jauh perbandingan yang aku kemukakan padamu. Tapi menangis di mana-mana sama saja. Dari mata keluarlah air mata yang lantas turun ke pipi. Bedanya, beberapa orang lalu sesenggukan dan yang lainnya – seperti halnya aku – segera menghapus air mata itu dan meninggalkan segaris tipis kelembaban pada kedua belah pipi.

+++

Tentu aku bukan Bu Susi. Perempuan jebolan kelas 2 SMA yang mampu bicara lewat tindakannya untuk mengubah hidupnya. Dari seorang pembeli ikan di pasar nelayan hingga mampu menjadi pengusaha lawatan pesawat ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Aku lebih cantik dari dia, hingga banyak lelaki yang tertarik pada parasku ini. Mungkin jika dibandingkan dengan Nadine, anak Bu Susi dari suaminya yang asli Swiss, aku sedikit kalah cantik. Tapi, di kampung ini, siapa yang telah mengenal Nadine sebelum hebohnya pengangkatan Bu Susi sebagai menteri dari Presiden Jokowi? Mereka lebih dulu kenal aku. Itulah hebatnya aku.

Aku dilahirkan dari nenek keturunan Portugis yang berasal dari Jepara. Bapakku juga seorang keturunan Arab yang sering sekali menepis untuk disangkut-pautkan dengan para habib, karena menurutnya leluhurnya tidak berasal dari Hadramaut, Yaman, tetapi mereka berasal dari Kuwait. Nah, bayangkan saja wajah campuran antara hispanik dan arab yang aku miliki. Tentu kau tertarik untuk melihat sendiri kecantikannku secara langsung, bukan?

Dari seluruh kampung ini, hanya Ardy yang sepertinya tidak tertarik pada diriku. Padahal aku sudah berusaha memikat perhatiannya. Dari mulai gaya berjalan, berpakaian, bertutur kata, sampai-sampai aku sering mengutip ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jepang ketika berbicara dengannya karena aku tahu dia sangat suka dengan sinema, lagu, dan budaya J-Pop. Tapi semuanya itu seolah tidak berarti baginya. Mungkin dia memang terlalu mengharapkan pendamping gadis Jepang asli. Bukan gadis campuran hispanik-arab seperti aku.

Tadi pagi, aku mendengar kisahmu tentang Ardy. Kebiasaan dia setiap siang – karena dia hampir selalu tidak pernah bangun pagi – adalah menghabiskan waktu di jendela kamarnya. Melihat ke arah rumpun pohon jeruk yang ada di depan rumahnya. Aku berpikir, jika aku berlaku gila seperti tiba-tiba datang dan mencuri beberapa buah jeruk itu dari pohonnya, mungkin dia mau keluar dari rumah lalu mengajakku bicara berdua. Hal yang selama ini tidak pernah bisa terjadi antara aku dan dia.

Tapi keadaannya jadi sangat lain dengan keinginanku. Berusaha memetik langsung jeruk dari pohonnya itu ternyata menyulitkan diriku. Pohon yang agak tinggi tetapi rapuh membuat aku bingung antara harus memanjat atau melompat, dan buah-buah jeruk yang harus dipelintir dan ditarik kuat-kuat agar terlepas dari tangkainya, akhirnya membuat aku jatuh dan terkilir.

Sayangnya, aku tidak ingin aksi ini lantas bubar begitu saja. Aku ingin dia tetap mengamatiku dengan wajah dinginnnya dari jendela kamarnya. Aku tidak ingin dia tergesa keluar dari rumah lantas marah-marah karena aku mencuri buah-buah jeruk miliknya, atau keluar dengan perasaan kasihan karena aku jatuh. Maka aku putuskan untuk segera berdiri, berjalan ke teras rumahnya, lalu membaringkan diri di lantai dan berpikir segalanya akan baik-baik saja. Bukankah seperti kau sering katakan bahwa jika ingin berpikir segalanya akan baik kita harus diam, mengambil napas panjang, lalu memikirkan dalam-dalam hal-hal apa yang akan terjadi kemudian? Aku menuruti semua perkataanmu, Teman.

Dan beginilah aku sekarang: berbaring diam di teras rumah Ardy. Hanya saja, beberapa saat kemudian, rasa sakit mulai menyerang. Akibatnya, tanpa sadar, air mata keluar dari kedua bola mataku. Aku menangis. Segera perasaan malu menekan agar aku tak sesenggukan seperti ketika aku menangis begitu tahu ibuku adalah pelaku kawin kontrak dan bapakku hanya bertahan enam bulan lalu pergi entah ke mana, atau mungkin juga telah mengawini lagi beberapa perempuan lain di Cipanas. Juga sama seperti ketika ibu bercerita bahwa leluhurku memang perempuan yang diambil sebagai istri simpanan orang-orang Portugis ketika menjajah tanah Jawa.

Dalam hatiku saat ini tiba-tiba tebersit keinginan tinggi: aku ingin seperti Ibu Susi, dan aku tak lagi akan peduli pada Ardy!

+++

Aku tengah membaca puisi karya David Wagoner ketika seorang tukang pos – hal yang sangat jarang kutemui belakangan ini – datang. Dia menyampaikan sebuah surat dari seorang teman lama yang kini tinggal di Swedia. Tepatnya di kota Sundshult. (Sungguh, sampai sekarang, aku tidak tahu bagaimana cara mengejanya dengan benar, ada yang mau membantu?).

Dia bercerita tentang sejenis hantu yang disebut Huldra. Hantu yang sering berwujud perempuan cantik tetapi jika didekati akan berubah dengan menampakkan ekornya yang panjang seperti ekor rubah. Konon, di negara tetangganya, Huldra justru mirip dengan sundel bolong di Indonesia. Punya lubang di punggung. Aku tidak tahu motivasi apa yang membuatnya bercerita demikian, tapi aku menangkap dia sangat rindu dengan Indonesia. Mungkin pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga di sana tidaklah seperti dia bayangkan sebelum berangkat ke sana. Mungkin saja demikian. Karena seperti dulu ketika aku mengenalnya, dia tidak pernah berterus terang apa yang dia inginkan.

Dia tidak pernah meminta tolong padaku. Tidak pernah mau merepotkan aku dengan hal-hal yang menurutnya sangat sederhana. Padahal mungkin – jika dia minta – aku tak pernah keberatan.
Jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan dirinya, karena menurutku dia terlalu dibuat-buat ketika bergaya, bercerita, berpakaian juga. Dia sering bertingkah seperti gadis harajuku di depanku. Padahal – jika dia didandani sedemikian rupa – dia mirip dengan Megan Fox. Tapi entah kenapa dia malah ingin seperti gadis Jepang. Aneh bukan?


Sejak peristiwa dia terbaring hampir seharian di teras rumahku, gara-gara jatuh dari pohon jeruk, dia mulai menjauh dariku. Dia juga tidak lagi bergaya seperti gadis-gadis Jepang. Tetapi mulai menjadi dirinya sendiri – yang aku tak bisa ceritakan seperti apa karena dia sungguh berubah dari biasanya. 180 derajat perubahannya. Lalu, dia menghilang, entah ke mana.

Baru belakangan ini, aku menemukannya kembali – terimakasih Zuckerberg! – lewat grup sekolah menengahku di facebook. Kami berinteraksi sekadar berbagi kisah hidup. Aku tidak jadi pergi ke Jepang - meskipun Jepang sekarang menggratiskan visa – karena ijazah keperawatanku tidak sesuai akreditasi yang diminta. Dia, seperti aku telah tuliskan di atas, menjadi asisten rumah tangga di Swedia.

Kembali ke suratnya, dia menceritakan Hulda yang telah menikah dengan seorang pria. Cerita ini berasal dari kota yang berbeda dengan kota tempat tinggalnya yaitu di Sigdal. Sebelum menikah, Hulda itu memberi syarat kepada pria yang akan menikahinya: jangan memberitahu jati diri sebenarnya dari calon pengantin perempuannya. Tapi, lantaran penasaran, pria itu bercerita pada teman-temannya di malam lepas bujang. Entah bagaimana caranya, Hulda itu tahu bahwa kekasihnya itu telah melanggar syarat yang dia minta. Akibatnya, pria itu dihajarnya dengan ekornya, dan mengakibatkan pria itu kehilangan pendengaran sekaligus akal sehatnya alias menjadi gila.

Setelah itu, dia bercerita tentang peristiwa yang dulu pernah terjadi di halaman depan rumahku. Membaca kalimat-kalimat berikutnya, aku merasa menjadi calon pengantin pria dalam kisahnya tentang hantu berekor itu.

Jakarta, November 2014

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home