Tikus
Istriku mungkin adalah orang
yang paling jijik dengan tikus. Setiap kali kami mengontrak rumah, yang paling
dia risaukan adalah apakah rumah itu dengan mudah bisa dimasuki binatang
pengerat berbulu abu-abu kehitaman yang bisa memasuki lubang berukuran 1
sentimeter itu. Karena itu, dia akan dengan sangat rewel memerintahkan tukang untuk
menutup semua lubang angin dengan kawat kassa, menambal bagian bawah pintu
dengan sebilah papan tripleks, serta memastikan semua lubang pembuangan air di
kamar mandi tidak dapat dijebol dari bawah. Yang terakhir ini, jika tidak bisa
dilem dengan lem besi maka dia akan membeli bata ringan untuk menutupnya.
Sebenarnya, hal yang terakhir
itu menyisakan keruwetan tersendiri. Maklum, kami masih mempunyai seorang bayi yang
belum bisa buang air besar di toilet. Walhasil, sisa-sisa tahi sering sekali
menempel di bata ringan itu. Perlu ekstra waktu dan tenaga untuk
membersihkannya, minimal seminggu sekali. Dari kegiatan membersihkan kamar
mandi ini, aku kemudian mendapatkan musibah. Larutan pembersih lantai keramik
sering menciprat ke kaos hitam yang sering aku kenakan, dan yang paling parah
mataku pernah tepercik sehingga meninggalkan noda merah seperti berdarah selama
berhari-hari.
Saat aku dipanggil atasanku,
mataku yang merah itu membuat keningnya berkerut dan lantas dengan cepat dia
menutupi matanya. “Ah. Kamu lagi sakit mata ya? Pakai kacamata dong! Biar
teman-teman di kantor tidak ada yang tertular.” Buru-buru aku menjelaskan bahwa
mataku baik-baik saja. Maksudku bukan sedang sakit mata akibat virus yang
gampang menular lewat udara. Tetapi, penjelasanku seperti sia-sia. Dia lantas
menyuruhku cepat-cepat meninggalkan ruangannya. Dan percakapan yang tadinya
hendak disampaikan langsung disusulkan dalam bentuk e-mail.
Akibat email dari atasanku,
hari ini aku lembur. Padahal, malam ini aku sudah berjanji untuk pulang cepat
karena istriku kurang enak badan. Dia ingin tidur setelah minum obat dan tak
ada yang menjaga bayi kami. Belum aku member kabar kepadanya, tiba-tiba telepon
genggamku berbunyi. Nana! Istriku.
“Ya?”
“Katanya mau pulang cepat? Kok
sudah jam 9 belum sampai rumah?” Cerocosnya seperti senapan serbu tentara.
“Lembur,” jawabku singkat.
“Huh. Kebiasaan! Selalu tidak
bisa tepati janji. “ Suaranya terhenti dan tergantikan bunyi tut-tut-tut tanda
panggilan itu sudah berakhir.
Belum lagi aku sempat
memasukkan jenis kelamin, usia, dan pengeluaran per bulan untuk mencari media
apa yang tepat bagi target penonton iklan yang hendak ditayangkan dalam sebuah
sistem analisis data, telepon genggamku kembali berbunyi.
Nana! Istriku kembali
meneleponku.
Sebelum aku berkata apa-apa,
terdengar jeritannya, “Ayah! Ada tikus masuk rumah!”
Perkataan ini membuatku tidak
bisa tidak untuk menyanggupi kepadanya untuk segera pulang. Aku minta waktu
sepuluh menit untuk membereskan pekerjaanku, minimal mendapatkan data yang
sedang aku cari, menyimpannya dalam format Microsoft Excel dalam folder data
pengiklan yang bersangkutan. Sebenarnya, aku perlu waktu sekitar dua puluh
menit untuk sampai di rumah. Artinya, setidaknya , aku akan berada di rumah
setengah jam kemudian.
“Naik ojek saja biar cepat
sampainya!” Teriaknya kembali di ujung telepon.
Sampai di rumah, istriku sudah
tidur menurut pengakuan ibu mertuaku. Aku segera masuk ke dalam kamar. Kulihat
anak bayi kami tertidur pulas sambil menyusu pada botol susunya dengan kaki di
atas bantal guling. Istriku terbangun ketika aku tadi membuka pintu.
“Tikusnya di dapur. Tadi Nunik
melihat ekornya di bawah lemari makan,” bisiknya pelan. Nunik adalah adik
istriku yang tinggal bersama kami setelah memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran di kota M.
“Kenapa Nunik tidak
memburunya?” godaku.
“Kamu itu. Perempuan di mana
pun takut sama tikus!” balasnya.
“Takut atau jijik?”
“Sudah, cepat sana cari! Keburu
dia bersarang di gudang lalu beranak pinak. Hiii…”
Hanya mengganti celana panjang
dengan celana pendek dan membuka kemeja, aku pun segera pergi ke dapur.
Mengintai celah-celah lemari, kardus-kardus, galon-galon air minum, tabung gas,
ember-ember, bahkan sampai keranjang pakaian kotor pun aku bongkar. Tidak ada
tanda-tanda tikus itu.
Menunggu dan mencari tikus ke
segala penjuru rumah itu membuat aku mengingat penelitianku sewaktu di bangku
kuliah. Skripsiku adalah tentang morfologi, sebuah ilmu yang mempelajari
bagian-bagian dari tubuh hewan untuk membedakan antar spesies. Ilmu inilah yang
digunakan untuk menggolongkan aneka jenis burung finch ketika Darwin mendarat
di Galapagos. Khusus untuk hewan mamalia, morfologi juga berarti tentang sidik
jari. Penelitian yang aku lakukan ketika itu adalah mencari pola sidik jari
tikus yang ada di Kota B. Membandingkan apakah ada perbedaan sidik jari tikus
itu dengan catatan sidik jari yang pernah dibuat di Jepang dan Norwegia sekian
puluh tahun silam sebelum penelitianku itu.
Jadi, menangkap tikus bukanlah
pekerjaan yang sulit untuk aku lakukan sebenarnya. Tapi, setelah selesai
penelitian yang memakan korban puluhan ekor tikus di Kota B itu karena aku
memburunya setiap malam selama enam bulan, aku juga merasa jijik dengan
binatang itu. Bau klorofom bercampur bau tikus yang setiap malam aku hirup
telah membuat aku merasa sangat mual jika melihat binatang itu baik dalam
keadaan hidup atau sudah berbentuk bangkai yang banyak ditemui di jalan-jalan
perumahan akibat tertabrak sepeda motor atau mobil.
Rasanya sudah satu jam aku
menekan perasaan jijikku sendirian di dapur. Aku tak berani untuk minum karena
takut muntah. Rasa mual yang timbul di perut itu terjadi karena aku
membayangkan bagaimana nasib Sang Tikus nanti di tanganku. Bisa-bisa kepalanya
pecah karena terpukul gagang sapu, isi perutnya keluar karena tersabit, atau
dia mengalami luka dalam karena terlempar kayu pengganjal pintu. Semua
alat-alat pembunuhan itu telah kusiapkan dekat dengan tempatku berdiri. Senter
di tanganku mengarah ke berbagai sudut ruang dapur yang temaram.
Telinga kuawas-awaskan untuk
mendengar setiap bunyi, tapi tak kudengar cicit ataupun krasak-krusuk yang
menandakan adanya tikus. Pernyataan dari Nunik bahwa ia melihat ekor tikus di
bawah lemari makan kembali aku selidiki. Rasanya sudah tiga kali aku membungkuk
untuk melihatnya, dan hasilnya tetap tidak ada. Aku pun mulai cemas. Kalau
malam ini tikus itu tidak ditemukan, besok pagi bisa-bisa aku diminta untuk
ijin tidak masuk kerja. Hanya demi mencari sampai dapat seekor tikus di dapur.
Kalau aku beralasan sakit,
bisa-bisa teman-teman di kantor akan menganggap mataku yang merah dari kemarin
itu memang benar sakit mata yang disebabkan karena virus. Lalu mereka akan
memintaku mengambil sisa jatah cutiku untuk beristirahat di rumah. Apalagi jika
atasanku mendengar kabar ketidakhadiranku di kantor. Dia yang dari tadi yakin
kalau aku sakit mata pasti akan menelepon dengan panik untuk memastikan bahwa
dia tidak tertular. Dan jika aku berkata aku sakit yang lain, pasti dia tidak
percaya karena hari ini aku terlihat sehat dan bugar.
Paling-paling aku akan
beralasan sakit perut akibat salah makan. Istilah yang aneh menurutku. Karena
untuk makan, seharusnya kita bisa memilih makanan yang akan masuk ke dalam
tubuh kita. Supaya kita tetap terjaga kesehatannya. Maka, mana mungkin kita
bisa salah makan? Misalnya kita makan di warung pun makanan yang akhirnya masuk
ke dalam perut kita adalah makanan yang kita pilih berdasarkan kesadaran kita.
Artinya tidak mungkin salah.
Sambil menunggu tikus itu
muncul – setidaknya memberikan tanda di mana dia berada – aku membaca novel
Salman Rushdie, Harun dan Samudra Dongeng. Salah satu yang membuat aku membeli
novel ini adalah gara-gara perkataan Murakami yang menyebut (tidak secara tepat
begini ucapannya, tetapi bisa diartikan sama) bahwa agar kita punya pikiran
yang berbeda dengan orang lain, carilah bacaan yang sekiranya orang tidak ramai
membacanya. Dan menurutku, pilihanku untuk membelinya – meskipun salah satu
alasannya adalah buku ini masuk dalam obral sebuah toko buku – tidak salah.
Rushdie menulis dengan sangat lancar. Dia menceritakan dongeng yang tidak mirip
dengan dongeng-dongeng yang pernah aku baca sebelumnya. Tidak ada tokoh yang
begitu heroik, bahkan tokoh-tokohnya kebanyakan punya cacat dan tidak menarik
tampilannya. Bayangkan saja seorang putri raja disebut-sebut punya deretan gigi
yang tidak bagus dilihat. Belum lagi bentuk hidungnya. Belum lagi suaranya. Dan
dia punya kebiasaan yang sangat aneh sebagai putri raja, jalan-jalan ke
perbatasan negara tetangga yang bermusuhan dengan negerinya hanya untuk melihat
senja.
Sebenarnya bisa dimaklumi
kebiasaannya itu, karena negerinya adalah negeri yang selalu siang. Tidak ada
pagi, senja, bahkan malam. Aku bisa mengerti alasannya. Dan aku yakin jika aku
tinggal di tempat seperti itu juga akan melakukan hal yang sama dengan putri
yang namanya berasal dari kata dalam Bahasa India yang artinya bergunjing.
Stereotip memang, perempuan dan pergunjingan. Dan gara-gara membayangkan
kebosanan Batcheat, putri raja itu, akan kondisi negerinya yang selalu siang,
aku jadi mengantuk.
Tapi aku berpikir jika aku
jatuh tertidur di dapur, bisa-bisa tikus itu mendekatiku dan masuk ke dalam
celana pendekku. Bisa sangat menderita aku bila hal itu terjadi. Maka aku
kuatkan mataku agar tidak menutup. Aku kembali mengawasi sekitarku. Dan…tiba-tiba
aku lihat tikus berukuran sebesar anak kucing itu tengah berada di atas pipa
air! Aku kebingungan – bagaimana cara membunuh tikus yang berada di atas pipa
air seperti seorang akrobat di sebuah sirkus itu?
Walhasil, yang aku lakukan
hanyalah menggusah agar tikus itu mengarah ke angin-angin di atas pintu yang
kawat kasanya telah rusak karena pemasangan pipa air itu. Dan benar saja, dia
berlari ke ujung pipa air di atas pintu. Aku bersyukur, setidaknya jalan
pikiranku dengan tikus itu sama! Begitu dia terlihat berusaha merusak (tepatnya
memperbesar bagian kawat kasa yang berlubang karena pemasangan pipa air itu)
aku matikan lampu dapur, menutup pintu dapur yang ke arah ruang tengah dan
mengganjal bagian bawah pintu dengan palang kayu agar tikus itu tidak bisa
masuk ke dalam ruang tengah. Setelah itu aku masuk ke dalam kamarku.
Istriku terbangun ketika
pegangan pintu kuputar.
“Sudah dibunuh tikusnya, Yah?”
“Tidak. Dia sudah lolos ke
lubang kawat kasa di atas pintu dapur,” jawabku berbohong.
“O,” tanggapnya singkat dan bersiap
untuk tidur kembali dengan menarik selimut.
“Besok, Ibu panggil saja tukang
untuk membetulkan kawat kassa itu. Biar dia tidak bisa masuk,” aku menambahkan
sebelum naik ke ranjang dengan teramat pelan supaya anak bayi kami tidak bangun.
Tapi aku belum bisa tidur meski
mataku sudah sangat mengantuk. Aku berpikir bagaimana jika tikus itu berubah
pikiran – tidak jadi ke luar malah masuk ke dalam kardus sepatu misalnya?
Seperti dalam novel Harun dan Samudra Dongeng, Jikka, Sang Jin Air, itu mencuri
(tepatnya mengambil) kembali alat pemutus hubungan dari bantal Harun yang
tadinya digunakan oleh Harun untuk melakukan negosiasi dengannya agar dibawa ke
majelis Kepala Telur untuk diberikan penjelasan mengenai Proses Rumit yang
Tidak bisa Dijelaskan – kenapa dunia ini bisa terhubung dengan dunia dongeng
setiap saat.
Jakarta, Oktober 2014.
Comments