Panggih terlihat lebih kurus dan hitam dibandingkan beberapa bulan
lalu aku melihatnya, tapi senyumnya tetap sama. Bersahabat. Dia
merentangkan kedua lengannya, melupakan sejenak koper besar yang tadi
diseretnya, untuk segera mengharapkan aku berada di dalam pelukannya.
“Kau tetap cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Itu yang membuat aku bahagia bisa datang ke kota ini,” bisiknya.
“Kau tak berubah. Nggombal senantiasa,” balasku.
Dan tawa kami segera pecah, sebelum dihentikan oleh seorang bapak yang menggerutu karena tersandung kakinya oleh koper Panggih dan nyaris jatuh. Buru-buru Panggih melepaskan pelukannya dari tubuhku lalu menghampiri bapak tersebut dan meminta maaf. Aku memalingkan badan untuk menelepon Yanto, sopirku, untuk segera menjemput kami. Ketika badanku kembali ke posisi awal, Panggih sudah berdiri dekat denganku dengan raut muka seperti keheranan.
“Sudah berganti pemimpin, kota ini masih saja semrawut lalu lintasnya,” keluhnya.
Aku teringat tulisan-tulisan pendek Nalfin yang kerap mengomentari tentang kota dan tata pemerintahan kota termasuk janji-janji politik yang tak ditepati, tak jarang pula Nalfin menuliskan tentang perilaku warga kota yang justru membuat ruwet kota. Aku mengutipkan tulisan Nalfin untuk menimpali keluh kesah Panggih, ”Sebenarnya bukan pemimpinnya yang salah urus dan salah atur, tapi warganya juga semakin ngawur dan tetap mau menang sendiri. Lihat saja, di daerah yang sebenarnya tidak boleh parkir, mereka parkir semaunya. Ini baru di kawasan bandara.”
Panggih tertawa, lalu katanya, ”Kau tak perlu menjelaskan seperti itu, mentang-mentang aku baru kembali dari luar kota. Toh, aku penduduk kota ini.”
Aku jadi tersipu, tapi lantas egoku muncul.
“Kalau kau sudah tahu, kenapa tadi mengeluh? Pekerjaan yang sia-sia. Haha.”
Lagi-lagi Panggih mengubah raut mukanya. Kali ini terlihat sangat serius. Agaknya dia mau mengeluarkan argumentasinya. Benar saja, kata-kata ini segera meluncur dari bibirnya dengan cara yang sama sekali tidak mengandung nada bercanda – Di dunia ini tidak ada pekerjaan yang sia-sia. Orang bisa saja menganggapnya begitu, tetapi kenyataannya belum tentu demikian. Kau pernah melihat topi yang dimuati gulungan tisu yang berfungsi jika penggunanya sedang kena flu? Bagi banyak orang hal itu sia-sia tetapi ada masanya hal itu berguna meskipun cuma sesaat. Banyak hal bagus dimulai dari apa yang dianggap sia-sia, tetapi karena perkembangannya, modifikasi, evolusi, bahkan revolusi, justru pada akhirnya menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Lihat saja sekarang ini trem yang dulu dianggap tak lagi memenuhi kebutuhan suatu kota, sekarang malah hendak dihidupkan lagi di Surabaya.
Kalau dia sudah mericau begitu, sulit untuk menghentikannya. Pertemuan yang tadinya dimulai dengan hangat berangsur dengan pasti menjadi sesuatu yang sangat menjemukan. Tapi Panggih bukanlah Panggih jika tidak bisa membelokkan cerita. Begitu melihat aku merengut, Panggih mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah novel!
“Novel apa itu? Karya siapa?”
Panggih mengatakan bahwa dia bertemu seseorang dalam perjalanan. Che Sien, namanya. Menurut Panggih pasti nama samaran atau nama pena, karena kata tersebut ada dalam petikan puisi Inferno karya Dante Alighieri, yang lengkapnya adalah “e avanti che sien di là discese, anche di qua nuova schiera s'auna.” Dan orang itu juga bukan seorang keturunan Tionghoa, lagi pula seorang Tionghoa tidak akan menulis Sien, pasti menulisnya Xian. Dan Chen Sien mengaku sebagai penulis.
“Novel ini mungkin nasibnya akan baik jika bisa mendapatkan penerbit yang jaringan distribusinya luas. Karena beberapa orang yang membaca mengatakan bahwa cerita yang saya bangun dalam novel ini sangat menarik, mengaduk-aduk perasaan. Ya, sayangnya karena penerbit novel ini hanya mampu mendistribusikan ke toko buku lokal dan sekitaran kota ini, akhirnya nasibnya berakhir sebagai tumpukan buku tak berguna di gudang. Saya sendiri harus menebus sekian ratus eksemplar agar bisa saya pasarkan sendiri,” gerutu Che Sien sambil membanggakan karyanya.
“Sudah melahirkan berapa novel, Mbak?”
“Ada tiga novel yang saya tulis, tapi yang berhasil diterima penerbit hanya satu ini,” katanya sambil menyerahkan novel berjudul Monumen Bulan kepada Panggih.
“Yang lainnya?”
“Satu novel tentang cara menulis novel yang saya kelindankan dengan cerita rakyat dikatakan terlalu dangkal ceritanya. Sedangkan yang bercerita tentang anak-anak muda yang penuh suka duka dalam membesarkan sebuah band indie sempat ditaksir untuk diterbitkan sebagai cerita bersambung di tabloid lokal, sayangnya kemudian tabloid itu bangkrut.”
“Kenapa judulnya Monumen Bulan? Memangnya itu ikon di kota ini? Maaf, saya baru sampai di sini jadi belum tahu banyak cerita tentang kota ini.”
“Bukan. Monumen Bulan hanya sebuah kiasan yang saya ambil dari cerita lelaki yang menikah dengan alien.”
“Menikah dengan alien? Betapa absurd cerita seperti itu!” kataku.
“Ya. Che Sien mengatakan begitu karena dia banyak membaca tentang dunia paralel yang menyatakan bahwa kemungkinan besar ada yang seperti kita di planet yang lain. Mereka yang bergerak dan berbicara seperti kita. Ah, kalau aku ceritakan kau tak akan membaca novel ini. Bagus kok!”
“Aku penasaran jadinya,” kataku sambil merebut novel itu dari tangan Panggih.
Panggih diam saja. Sepertinya tidak rela novel itu berpindah tangan.
“Kau masih percaya dengan cinta?”
“Apa?”
“Biasanya orang yang suka membaca kisah percintaan adalah mereka yang kesepian atau memikirkan bahwa cinta itu adalah sesuatu yang indah, sakral, dan begitu mengharu biru.”
“Apa itu salah?”
“Tidak. Tidak ada yang salah dengan kisah cinta. Yang salah adalah orang lebih banyak merasa begitu tetapi dalam keseharian justru menafikan cinta. Sembrono!”
Aku heran Panggih begitu kesal dengan fenomena yang menurutnya terjadi. Padahal aku justru merasa saat ini orang butuh lebih banyak diberikan gambaran tentang cinta agar tidak sembrono dalam menjalani hidup. Seperti pengalaman tadi pagi saat aku menyeberang jalan, seorang pengendara sepeda motor hampir saja menabraknya. Padahal aku sudah berada di tengah jalan dan dia hendak berbelok dari arah kiri ke kanan, dan tetap melaju kencang. Akhirnya aku hanya memelototi pengendara sepeda motor itu, sementara dia dengan tak acuhnya hanya memelankan laju sepeda motornya. Ya. Di kota ini, pejalan kaki adalah pihak yang selalu dituntut mengalah. Trotoar semakin sempit, ketika menyeberang harus menunggu jalan agak lengang, dan hampir tidak ada lampu tanda orang menyeberang.
“Kamu itu yang sembrono. Menuduh orang tanpa bukti-bukti. Bukankah lebih baik diperbanyak ajaran tentang cinta?”
“Percuma. Sudah begitu banyak orang bicara cinta, tapi manusia tetap tidak berubah. Apa kurang Budha, Kristus, Muhammad, Rumi, Gandhi, Neruda bicara soal cinta?”
Aku tertawa. Panggih heran.
“Kenapa tertawa?”
“Jangan-jangan. Kita ini adalah alien di kota ini. Sehingga selalu heran dengan perilaku manusia lain.”
Panggih tidak menimpali perkataanku, kali ini dia menunduk memperhatikan jam tangannya. Aku segera sigap. Kupencet lagi nomor Yanto.
“Sampai mana, To?”
Dari seberang, Yanto menjelaskan bahwa untuk keluar dari tempat parkir membutuhkan waktu 10 menit karena antriannya begitu panjang. Saat ini dia sudah ke luar, tetapi jalan menuju tempat penjemputan terhambat oleh rombongan bus yang menurunkan jemaah calon haji.
“Yanto sudah mengarah ke sini, tapi terhambat di ujung sana,” jelasku pada Panggih tanpa diminta. Panggih manggut-manggut. Dia menunjuk sebuah bangku panjang yang baru saja ditinggalkan dua orang dengan ransel besar. Aku menuruti kehendaknya, mengekor dia menuju bangku tersebut.
“Kau pernah tidak membayangkan kota itu sebagai suatu organisma yang terus bertumbuh?”
“Tidak. Buat apa? Bagiku kota seperti dikatakan oleh Trancik yang dipentingkan adalah makna dari setiap ruang yang ada di dalam kota itu. Artinya, kota bukanlah organisma tetapi tempat. Dan selalu begitu.”
“Jadi, tidak ada kota yang tumbuh?”
“Secara teori begitu. Kota tumbuh karena adanya aktivitas manusia dan penambahan fungsi dari daerah. Jadi kota itu harus tumbuh jika manusianya mulai kompleks dalam kehidupannya.”
“Wah. Kalau begitu kota harus merdeka dari keinginan manusia.”
“Kok?”
Kata Panggih, dalam novel Monumen Bulan itu, Che Sien menulis kota Dompayuba dimulai dari peristiwa kematian Sang Alien. Sebuah monumen kecil dibuat di atas kuburannya. Sejak itu, banyak orang datang untuk melihat kuburan Sang Alien. Orang-orang itu lantas membangun pemukiman yang awalnya adalah penginapan-penginapan. Kemudian di daerah perbatasan muncul pasar yang menjual kebutuhan perkabungan dan kebutuhan sehari-hari selama orang-orang itu menginap di dekat kuburan itu. Lalu dibangun areal parkir yang besar dan terminal. Dan seterusnya sampai akhirnya Dompayuba itu terbentuk sebagai kota yang besar.
Aku terbahak, dan menukas cepat, ”Kau bodoh, Panggih! Dari tadi kau cerita kalau Dompayuba tumbuh karena keinginan manusia-manusia itu. Jadi contoh yang kau buat sebagai kota yang tumbuh sebagai organisma itu salah!”
Panggih terkejut dengan komentarku. Dia berdiri dengan cepat, lalu meninggalkanku. Tanpa bicara apa-apa lagi.
Aku bengong melihatnya. Hari yang tadinya kupikir menyenangkan karena bertemu teman lama justru berakhir berantakan. Aku tak mengejar Panggih. Kubiarkan punggung dan koper yang diseretnya segera tenggelam dalam kerumunan orang-orang yang lalu lalang di terminal kedatangan bandara. Sementara pandanganku segera beralih kepada novel yang tadi diberikan olehnya.
Segera kubalik sampul berwarna hitam yang dihiasi gambar obelisk dan bulan purnama serta huruf Monumen Bulan berwarna perak yang di-embos untuk mencari tahu seperti apa tulisan Che Sien ini.
Sang Alien sudah pergi. Dunia yang tadinya merasa kedatangannya sebagai ancaman malah balik berkabung dan mengagumi perasaan cinta Sang Alien terhadap bumi ini terlebih cintanya terhadap Miru, istrinya yang adalah manusia biasa. Cinta, barangkali, kata yang kurang tepat untuk menggambarkan keinginan Sang Alien sebenarnya, karena menurut pengakuan Miru, kedatangan Sang Alien ke bumi ini hanya untuk belajar berinteraksi dengan manusia. Sang Alien merasa ada yang salah dengan manusia. Dia tahu itu dari adanya perang, perkosaan, pembunuhan, pencurian, korupsi, dan pembuangan bayi-bayi. Belum lagi selalu ada orang-orang yang berbohong dan ingkar janji. Termasuk kepada kekasih sendiri.
Kematian Sang Alien diberitakan Miru setelah lama dia menghilang dari keluarganya. Tentu, untuk melarikan diri bersama Sang Alien, karena sejak awal hubungan mereka tidak direstui oleh masyarakat. Miru menangis di pintu gerbang rumah Kolonel Andre, orang nomor satu di salah satu kota di distrik yang terletak di semenanjung pulau itu. Para penjaga rumah Kolonel Andre segera membawa masuk Miru untuk diinterogasi. Maklumlah, mendekati rumah itu saja sudah dicurigai apalagi dengan menangis terisak-isak dan terjatuh. Miru dibawa masuk setelah digeledah dengan seksama oleh penjaga-penjaga rumah itu.
Tangan dan kaki Miru diikat erat pada sebuah kursi. Di depannya, Kapten Yomi dan seorang lagi yang berkacamata dan merokok mengamati berkas yang didapat dari petugas lain. Berkas biodata Miru.
“Kau anak Tuan Modra?”
“Ya.”
“Kenapa sampai di sini? Bukankah rumah ayahmu berada tak jauh dari sini?”
“Aku memang sedang menuju ke sana. Tapi aku terjatuh.”
“Menurut biodata ini, kau sudah delapan bulan meninggalkan rumah. Pergi ke mana?”
“Aku menikah dan ikut suamiku.”
“Di sini tak ada nama suami. Kau pasti berbohong.”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Suamiku tidak diakui oleh keluargaku.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena dia seorang alien.”
Aku tertawa membaca tulisan Chen Sien. Pantas saja jika buku ini tidak laku di pasaran. Cara dia bercerita begitu buruk. Sama seperti tulisanku. Padahal tugasku membuat reportase feature dari Yayasan yang kerap melakukan CSR. Harusnya aku bisa membuat tulisan yang lebih baik dari tulisan-tulisanku sebelumnya. Aku merasa sebagai orang yang salah di tempat yang tidak seharusnya dalam pekerjaanku. Maka ketika Mas Abram memanggilku ke ruang kerjanya, aku tahu ada yang salah dalam pekerjaanku.
“Yun. Aku tahu kau berbakat sebagai penulis. Tapi aku lihat beberapa tulisanmu belum mampu membangkitkan minat bagi calon investor untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yayasan ini. Aku masih mau memberikan kesempatan. Ini penting buatmu dan buatku.”
“Baik. Mas. Maafkan jika saya masih belum becus, tapi saya mau belajar banyak.”
“Nah. Ini ada kesempatan bagus. Aku harap kau mau membuka telinga, mata, dan hati untuk bisa mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya dari tamuku ini. Dia seorang jurnalis handal. Dia baru datang dari sebuah distrik di semenanjung. Namanya Panggih. Aku tahu kau mengenalnya melebihi aku. Sebab menurut kabar, kau adalah mantan pacarnya. Bisa kau menjemputnya besok pagi?”
Mendengar kata-kata Mas Abram, aku mendadak gugup. Aku tahu besok pagi mungkin aku harus segera mengajukan resign dari kantor ini.
Jakarta, September 2014
“Kau tetap cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Itu yang membuat aku bahagia bisa datang ke kota ini,” bisiknya.
“Kau tak berubah. Nggombal senantiasa,” balasku.
Dan tawa kami segera pecah, sebelum dihentikan oleh seorang bapak yang menggerutu karena tersandung kakinya oleh koper Panggih dan nyaris jatuh. Buru-buru Panggih melepaskan pelukannya dari tubuhku lalu menghampiri bapak tersebut dan meminta maaf. Aku memalingkan badan untuk menelepon Yanto, sopirku, untuk segera menjemput kami. Ketika badanku kembali ke posisi awal, Panggih sudah berdiri dekat denganku dengan raut muka seperti keheranan.
“Sudah berganti pemimpin, kota ini masih saja semrawut lalu lintasnya,” keluhnya.
Aku teringat tulisan-tulisan pendek Nalfin yang kerap mengomentari tentang kota dan tata pemerintahan kota termasuk janji-janji politik yang tak ditepati, tak jarang pula Nalfin menuliskan tentang perilaku warga kota yang justru membuat ruwet kota. Aku mengutipkan tulisan Nalfin untuk menimpali keluh kesah Panggih, ”Sebenarnya bukan pemimpinnya yang salah urus dan salah atur, tapi warganya juga semakin ngawur dan tetap mau menang sendiri. Lihat saja, di daerah yang sebenarnya tidak boleh parkir, mereka parkir semaunya. Ini baru di kawasan bandara.”
Panggih tertawa, lalu katanya, ”Kau tak perlu menjelaskan seperti itu, mentang-mentang aku baru kembali dari luar kota. Toh, aku penduduk kota ini.”
Aku jadi tersipu, tapi lantas egoku muncul.
“Kalau kau sudah tahu, kenapa tadi mengeluh? Pekerjaan yang sia-sia. Haha.”
Lagi-lagi Panggih mengubah raut mukanya. Kali ini terlihat sangat serius. Agaknya dia mau mengeluarkan argumentasinya. Benar saja, kata-kata ini segera meluncur dari bibirnya dengan cara yang sama sekali tidak mengandung nada bercanda – Di dunia ini tidak ada pekerjaan yang sia-sia. Orang bisa saja menganggapnya begitu, tetapi kenyataannya belum tentu demikian. Kau pernah melihat topi yang dimuati gulungan tisu yang berfungsi jika penggunanya sedang kena flu? Bagi banyak orang hal itu sia-sia tetapi ada masanya hal itu berguna meskipun cuma sesaat. Banyak hal bagus dimulai dari apa yang dianggap sia-sia, tetapi karena perkembangannya, modifikasi, evolusi, bahkan revolusi, justru pada akhirnya menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Lihat saja sekarang ini trem yang dulu dianggap tak lagi memenuhi kebutuhan suatu kota, sekarang malah hendak dihidupkan lagi di Surabaya.
Kalau dia sudah mericau begitu, sulit untuk menghentikannya. Pertemuan yang tadinya dimulai dengan hangat berangsur dengan pasti menjadi sesuatu yang sangat menjemukan. Tapi Panggih bukanlah Panggih jika tidak bisa membelokkan cerita. Begitu melihat aku merengut, Panggih mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah novel!
“Novel apa itu? Karya siapa?”
Panggih mengatakan bahwa dia bertemu seseorang dalam perjalanan. Che Sien, namanya. Menurut Panggih pasti nama samaran atau nama pena, karena kata tersebut ada dalam petikan puisi Inferno karya Dante Alighieri, yang lengkapnya adalah “e avanti che sien di là discese, anche di qua nuova schiera s'auna.” Dan orang itu juga bukan seorang keturunan Tionghoa, lagi pula seorang Tionghoa tidak akan menulis Sien, pasti menulisnya Xian. Dan Chen Sien mengaku sebagai penulis.
“Novel ini mungkin nasibnya akan baik jika bisa mendapatkan penerbit yang jaringan distribusinya luas. Karena beberapa orang yang membaca mengatakan bahwa cerita yang saya bangun dalam novel ini sangat menarik, mengaduk-aduk perasaan. Ya, sayangnya karena penerbit novel ini hanya mampu mendistribusikan ke toko buku lokal dan sekitaran kota ini, akhirnya nasibnya berakhir sebagai tumpukan buku tak berguna di gudang. Saya sendiri harus menebus sekian ratus eksemplar agar bisa saya pasarkan sendiri,” gerutu Che Sien sambil membanggakan karyanya.
“Sudah melahirkan berapa novel, Mbak?”
“Ada tiga novel yang saya tulis, tapi yang berhasil diterima penerbit hanya satu ini,” katanya sambil menyerahkan novel berjudul Monumen Bulan kepada Panggih.
“Yang lainnya?”
“Satu novel tentang cara menulis novel yang saya kelindankan dengan cerita rakyat dikatakan terlalu dangkal ceritanya. Sedangkan yang bercerita tentang anak-anak muda yang penuh suka duka dalam membesarkan sebuah band indie sempat ditaksir untuk diterbitkan sebagai cerita bersambung di tabloid lokal, sayangnya kemudian tabloid itu bangkrut.”
“Kenapa judulnya Monumen Bulan? Memangnya itu ikon di kota ini? Maaf, saya baru sampai di sini jadi belum tahu banyak cerita tentang kota ini.”
“Bukan. Monumen Bulan hanya sebuah kiasan yang saya ambil dari cerita lelaki yang menikah dengan alien.”
“Menikah dengan alien? Betapa absurd cerita seperti itu!” kataku.
“Ya. Che Sien mengatakan begitu karena dia banyak membaca tentang dunia paralel yang menyatakan bahwa kemungkinan besar ada yang seperti kita di planet yang lain. Mereka yang bergerak dan berbicara seperti kita. Ah, kalau aku ceritakan kau tak akan membaca novel ini. Bagus kok!”
“Aku penasaran jadinya,” kataku sambil merebut novel itu dari tangan Panggih.
Panggih diam saja. Sepertinya tidak rela novel itu berpindah tangan.
“Kau masih percaya dengan cinta?”
“Apa?”
“Biasanya orang yang suka membaca kisah percintaan adalah mereka yang kesepian atau memikirkan bahwa cinta itu adalah sesuatu yang indah, sakral, dan begitu mengharu biru.”
“Apa itu salah?”
“Tidak. Tidak ada yang salah dengan kisah cinta. Yang salah adalah orang lebih banyak merasa begitu tetapi dalam keseharian justru menafikan cinta. Sembrono!”
Aku heran Panggih begitu kesal dengan fenomena yang menurutnya terjadi. Padahal aku justru merasa saat ini orang butuh lebih banyak diberikan gambaran tentang cinta agar tidak sembrono dalam menjalani hidup. Seperti pengalaman tadi pagi saat aku menyeberang jalan, seorang pengendara sepeda motor hampir saja menabraknya. Padahal aku sudah berada di tengah jalan dan dia hendak berbelok dari arah kiri ke kanan, dan tetap melaju kencang. Akhirnya aku hanya memelototi pengendara sepeda motor itu, sementara dia dengan tak acuhnya hanya memelankan laju sepeda motornya. Ya. Di kota ini, pejalan kaki adalah pihak yang selalu dituntut mengalah. Trotoar semakin sempit, ketika menyeberang harus menunggu jalan agak lengang, dan hampir tidak ada lampu tanda orang menyeberang.
“Kamu itu yang sembrono. Menuduh orang tanpa bukti-bukti. Bukankah lebih baik diperbanyak ajaran tentang cinta?”
“Percuma. Sudah begitu banyak orang bicara cinta, tapi manusia tetap tidak berubah. Apa kurang Budha, Kristus, Muhammad, Rumi, Gandhi, Neruda bicara soal cinta?”
Aku tertawa. Panggih heran.
“Kenapa tertawa?”
“Jangan-jangan. Kita ini adalah alien di kota ini. Sehingga selalu heran dengan perilaku manusia lain.”
Panggih tidak menimpali perkataanku, kali ini dia menunduk memperhatikan jam tangannya. Aku segera sigap. Kupencet lagi nomor Yanto.
“Sampai mana, To?”
Dari seberang, Yanto menjelaskan bahwa untuk keluar dari tempat parkir membutuhkan waktu 10 menit karena antriannya begitu panjang. Saat ini dia sudah ke luar, tetapi jalan menuju tempat penjemputan terhambat oleh rombongan bus yang menurunkan jemaah calon haji.
“Yanto sudah mengarah ke sini, tapi terhambat di ujung sana,” jelasku pada Panggih tanpa diminta. Panggih manggut-manggut. Dia menunjuk sebuah bangku panjang yang baru saja ditinggalkan dua orang dengan ransel besar. Aku menuruti kehendaknya, mengekor dia menuju bangku tersebut.
“Kau pernah tidak membayangkan kota itu sebagai suatu organisma yang terus bertumbuh?”
“Tidak. Buat apa? Bagiku kota seperti dikatakan oleh Trancik yang dipentingkan adalah makna dari setiap ruang yang ada di dalam kota itu. Artinya, kota bukanlah organisma tetapi tempat. Dan selalu begitu.”
“Jadi, tidak ada kota yang tumbuh?”
“Secara teori begitu. Kota tumbuh karena adanya aktivitas manusia dan penambahan fungsi dari daerah. Jadi kota itu harus tumbuh jika manusianya mulai kompleks dalam kehidupannya.”
“Wah. Kalau begitu kota harus merdeka dari keinginan manusia.”
“Kok?”
Kata Panggih, dalam novel Monumen Bulan itu, Che Sien menulis kota Dompayuba dimulai dari peristiwa kematian Sang Alien. Sebuah monumen kecil dibuat di atas kuburannya. Sejak itu, banyak orang datang untuk melihat kuburan Sang Alien. Orang-orang itu lantas membangun pemukiman yang awalnya adalah penginapan-penginapan. Kemudian di daerah perbatasan muncul pasar yang menjual kebutuhan perkabungan dan kebutuhan sehari-hari selama orang-orang itu menginap di dekat kuburan itu. Lalu dibangun areal parkir yang besar dan terminal. Dan seterusnya sampai akhirnya Dompayuba itu terbentuk sebagai kota yang besar.
Aku terbahak, dan menukas cepat, ”Kau bodoh, Panggih! Dari tadi kau cerita kalau Dompayuba tumbuh karena keinginan manusia-manusia itu. Jadi contoh yang kau buat sebagai kota yang tumbuh sebagai organisma itu salah!”
Panggih terkejut dengan komentarku. Dia berdiri dengan cepat, lalu meninggalkanku. Tanpa bicara apa-apa lagi.
Aku bengong melihatnya. Hari yang tadinya kupikir menyenangkan karena bertemu teman lama justru berakhir berantakan. Aku tak mengejar Panggih. Kubiarkan punggung dan koper yang diseretnya segera tenggelam dalam kerumunan orang-orang yang lalu lalang di terminal kedatangan bandara. Sementara pandanganku segera beralih kepada novel yang tadi diberikan olehnya.
Segera kubalik sampul berwarna hitam yang dihiasi gambar obelisk dan bulan purnama serta huruf Monumen Bulan berwarna perak yang di-embos untuk mencari tahu seperti apa tulisan Che Sien ini.
Sang Alien sudah pergi. Dunia yang tadinya merasa kedatangannya sebagai ancaman malah balik berkabung dan mengagumi perasaan cinta Sang Alien terhadap bumi ini terlebih cintanya terhadap Miru, istrinya yang adalah manusia biasa. Cinta, barangkali, kata yang kurang tepat untuk menggambarkan keinginan Sang Alien sebenarnya, karena menurut pengakuan Miru, kedatangan Sang Alien ke bumi ini hanya untuk belajar berinteraksi dengan manusia. Sang Alien merasa ada yang salah dengan manusia. Dia tahu itu dari adanya perang, perkosaan, pembunuhan, pencurian, korupsi, dan pembuangan bayi-bayi. Belum lagi selalu ada orang-orang yang berbohong dan ingkar janji. Termasuk kepada kekasih sendiri.
Kematian Sang Alien diberitakan Miru setelah lama dia menghilang dari keluarganya. Tentu, untuk melarikan diri bersama Sang Alien, karena sejak awal hubungan mereka tidak direstui oleh masyarakat. Miru menangis di pintu gerbang rumah Kolonel Andre, orang nomor satu di salah satu kota di distrik yang terletak di semenanjung pulau itu. Para penjaga rumah Kolonel Andre segera membawa masuk Miru untuk diinterogasi. Maklumlah, mendekati rumah itu saja sudah dicurigai apalagi dengan menangis terisak-isak dan terjatuh. Miru dibawa masuk setelah digeledah dengan seksama oleh penjaga-penjaga rumah itu.
Tangan dan kaki Miru diikat erat pada sebuah kursi. Di depannya, Kapten Yomi dan seorang lagi yang berkacamata dan merokok mengamati berkas yang didapat dari petugas lain. Berkas biodata Miru.
“Kau anak Tuan Modra?”
“Ya.”
“Kenapa sampai di sini? Bukankah rumah ayahmu berada tak jauh dari sini?”
“Aku memang sedang menuju ke sana. Tapi aku terjatuh.”
“Menurut biodata ini, kau sudah delapan bulan meninggalkan rumah. Pergi ke mana?”
“Aku menikah dan ikut suamiku.”
“Di sini tak ada nama suami. Kau pasti berbohong.”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Suamiku tidak diakui oleh keluargaku.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena dia seorang alien.”
Aku tertawa membaca tulisan Chen Sien. Pantas saja jika buku ini tidak laku di pasaran. Cara dia bercerita begitu buruk. Sama seperti tulisanku. Padahal tugasku membuat reportase feature dari Yayasan yang kerap melakukan CSR. Harusnya aku bisa membuat tulisan yang lebih baik dari tulisan-tulisanku sebelumnya. Aku merasa sebagai orang yang salah di tempat yang tidak seharusnya dalam pekerjaanku. Maka ketika Mas Abram memanggilku ke ruang kerjanya, aku tahu ada yang salah dalam pekerjaanku.
“Yun. Aku tahu kau berbakat sebagai penulis. Tapi aku lihat beberapa tulisanmu belum mampu membangkitkan minat bagi calon investor untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yayasan ini. Aku masih mau memberikan kesempatan. Ini penting buatmu dan buatku.”
“Baik. Mas. Maafkan jika saya masih belum becus, tapi saya mau belajar banyak.”
“Nah. Ini ada kesempatan bagus. Aku harap kau mau membuka telinga, mata, dan hati untuk bisa mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya dari tamuku ini. Dia seorang jurnalis handal. Dia baru datang dari sebuah distrik di semenanjung. Namanya Panggih. Aku tahu kau mengenalnya melebihi aku. Sebab menurut kabar, kau adalah mantan pacarnya. Bisa kau menjemputnya besok pagi?”
Mendengar kata-kata Mas Abram, aku mendadak gugup. Aku tahu besok pagi mungkin aku harus segera mengajukan resign dari kantor ini.
Jakarta, September 2014
Comments