Hari Ulang Tahun Seseorang



Hari ini, aku berada di kebun belakang sebuah rumah mewah. Mungkin karena tergesa, atau sisa mabuk semalam, aku tak ingat mengapa pada siang hari seperti ini aku sudah duduk dengan kikuk pada bangku lipat berwarna merah tua. Sepasang kakiku mengenakan sepatu kulit cokelat muda, dan celana hampir senada. Di atas kemeja putih yang kupakai, seseorang atau mungkin aku yang tak sadar tadi pagi, terdapat sweater yang didominasi warna putih tetapi dengan motif kotak-kotak cokelat tua. Seperti sweater yang dulu pernah dihadiahkan untukku dari seseorang teman yang habis jalan-jalan ke luar negeri. Entah Eropa atau Amerika. Rasanya aku mulai susah sekali mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Jangankan yang dulu-dulu, siang ini juga aku tak mengerti mengapa aku berada di kebun belakang sambil duduk dengan kikuk pada bangku lipat merah tua.

Dalam kebingungan, aku mencoba memraktikkan apa yang disebut sebagai ilmu pengamatan lingkungan. Aku melihat ke segala arah, apa yang ada di sana, apa yang tengah terjadi, dan beberapa orang yang lalu lalang di kebun belakang ini. Perlahan aku mulai mengerti bahwa di kebun belakang ini tengah disiapkan sebuah pesta. Di beberapa bagian kebun telah ditata makanan di atas meja-meja panjang. Pada bagian belakang ada beberapa lampu dan pengeras suara. Di dekat kolam renang, ada sebuah panggung kecil dengan latar belakang papan yang dihiasi dengan gambar-gambar dan juga tulisan “Selamat Ulang Tahun” yang menandakan bahwa pesta di kebun belakang ini adalah pesta ulang tahun. Jadi, aku berada di sini sebagai tamu undangan pesta ulang tahun seseorang. Pertanyaannya, siapakah yang berulang tahun itu, apakah dia punya hubungan denganku, atau yang paling penting adalah siapa yang telah membawaku ke sini? Semua pertanyaan itu harus segera dijawab sebelum tempat ini mulai ramai. Paling tidak agar aku bisa menyesuaikan diri dan membaur dengan para tamu undangan lainnya.

Mungkin, seseorang dari tamu itu akan menanyakan pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku tadi. Semisal apa hubunganku dengan orang yang berulangtahun. Atau bisa lebih detail lagi seperti menanyakan kapan pertama kali berjumpa atau dalam kesempatan apa aku pernah bertemu dengan dia. Ini yang harus segera aku temukan jawabannya. Maka aku putuskan untuk bangkit dari dudukku. Yang kutuju adalah bagian belakang rumah di seberang kolam renang yang tengah ditebari bola berwarna-warni. Mungkin supaya kelihatan semakin semarak pesta kebun itu. Belum lama aku berjalan, seseorang segera menggamit lenganku.

“Mau ke mana, Pak?”

Aku segera menoleh padanya, seorang perempuan dengan senyum yang manis. Rambutnya hitam legam dan wangi. Matanya mengingatkan aku pada seseorang yang sudah lama sekali berada dalam pikiranku.

“Ranti?”

Tiba-tiba saja aku bisa mengingat nama seseorang yang baru saja berkelebat dalam benakku setelah aku melihat matanya.

“Bukan, Pak. Aku Dewi, putrinya.”

Putrinya? Kenapa selama ini dia tidak pernah bercerita jika sudah punya anak? Dia menikah dengan siapa? Dalam hati aku merutuk karena di siang hari yang tidak terik dan dipenuhi beraneka warna di kebun belakang ini aku justru dibekap dengan beragam pertanyaan yang memintaku untuk bisa segera mendapatkan jawabannya.

Setelah mengatur nafas, aku memberi isyarat padanya untuk ikut bersamaku kembali ke jajaran bangku lipat merah tua itu. Dia mengangguk dan seperti seorang anak yang baik, dia menggamit lenganku dan membimbingku ke sana.

“Kalau boleh aku tahu, siapa yang membawaku ke mari?” Ini sebenarnya bukan pertanyaan pertama yang harus aku temukan jawabannya dari deretan pertanyaan yang aku punya, tapi ini akan memberiku banyak lubang cahaya pada kegelapan yang menyelimuti pikiranku.
Namun aku heran, mengapa dia tersenyum mendengar pertanyaanku itu. Sepertinya pertanyaanku adalah sebuah lelucon.

“Bapak. Tadi pagi, bapak itu bangun sangat pagi. Lalu mandi dan berpakaian rapi. Dan karena Bapak bilang bahwa hari ini Bapak harus menghadiri pesta ulang tahun Ibu, maka Bapak sama Mas Sasongko, dibawa ke sini.”

“Sebentar. Sebentar. Ibu siapa yang berulangtahun?” Itu pertanyaan pertama dalam daftar pertanyaanku, hanya sudah diberi panduan bahwa yang berulangtahun itu adalah seorang perempuan. Yang disebut Ibu olehnya.

“Ibu Miranti. Ibu saya.”

Miranti? Nah, kebetulan! Aku bisa tanyakan padanya sekarang apa hubunganku dengan yang berulangtahun itu. Lalu di mana dia?

“Ibu sudah lama meninggal. Lima tahun yang lalu. Bapak lupa? Ah. Pasti Bapak mulai pikun.” Dia bercerita dengan datar, tadinya, tapi lama-lama mukanya berubah ceria. Lalu dia berkata lagi, “Bapak tahu, Mas Sasongko sering bilang pada saya, bahwa dia ingin sekali seperti Bapak. Meskipun Ibu sudah lama meninggal, cinta Bapak terhadap Ibu tetap menyala. Buktinya, sepanjang lima tahun ini, Bapak tidak pernah putus menggelar perayaan ulang tahun Ibu!”

Jadi? Miranti adalah istriku dan Dewi yang tengah berbicara padaku adalah anakku? Mengapa aku bisa lupa semua ini dalam waktu semalam saja? Apa yang terjadi semalam denganku? Lagi. Semakin banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tak mau seperti tadi, berusaha mencari jawabannya dengan segera. Aku memutuskan untuk tidak merusak hari ulang tahun seseorang dengan membuka rahasia bahwa aku sudah mulai lupa pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Aku kembali memraktikkan ilmu pengamatan lingkungan dengan memandang panggung kecil di seberang kolam renang. Tapi cahaya matahari yang memantul dari permukaan air membuat mataku terasa sangat silau, dan tiba-tiba membuat air mataku jatuh.

Dewi segera mengeluarkan tisu dari tasnya lalu mengusap pipi dan kelopak mataku, sambil berujar, ”Ibu pasti bahagia di sana melihat Bapak masih mencintainya dengan sangat.”

Lagi-lagi dia tersenyum memandangku.

Jakarta, 14 Agustus 2013

Comments