“Hujan sialan!” Aku merutuk
kecil. Melepas jaketku dan mengibas-ngibaskannya karena basah. Mataku menangkap
seseorang berdiri dengan canggung di bawah naungan atap halte bus itu. Rambut,
bahu bajunya juga basah. Dia mungkin sama dengan aku, berhenti berjalan karena
hujan turun tiba-tiba. Aku tak hendak berkenalan, meskipun dalam pikiranku menemukan
beberapa nama seperti Sri, Ajeng, atau Galuh.
Tiba-tiba saja, ada pertanyaan
yang menggoda untuk aku sampaikan padanya,”Kau juga membenci hujan?” Dia
tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan. Hingga pertanyaan lain menggelincir
begitu saja,”Kenapa?”
“Hujan memperlambat sebuah janji
temu,” jawabnya cepat. Seolah hal itu adalah sebuah kesimpulan dari serangkaian
cerita yang ingin dia sampaikan. Dalam pikiranku merangkai cerita sendiri.
Gadis ini, entah Sri, Ajeng, atau Galuh namanya, sedang menuju sebuah tempat
yang telah disepakati olehnya dan teman atau kekasihnya yang jaraknya tidak
jauh dari sini sehingga dia berjalan kaki dan terpaksa dia hentikan karena
hujan tiba-tiba datang.
“Sepertinya hujan akan
membatalkan sebuah cerita.” Aku seperti dipaksa untuk bercerita karena
jawabannya yang pendek tadi. Lalu aku mengatakan bahwa seharusnya malam ini aku
berada di suatu perhelatan sastra di mana aku akan menjadi moderator dalam
diskusi buku kumpulan cerpen berjudul “Gerimis Anjing.”
“Gerimis Anjing?” Tanyanya dengan
alis terangkat. Pastinya dia terkejut dengan judul buku kumpulan cerpen itu
tadi.
“Ya. Gerimis Anjing. Sebuah buku
kumpulan cerpen karya seseorang yang tidak perlu disebut-sebut. Karena dia
tidaklah setenar Kurnia Effendi atau Triyanto Triwikromo, penulis-penulis
cerpen yang karyanya bisa dengan mudah kita temukan setiap minggu di surat
kabar.”
Dia hanya tersenyum. Aku tahu
dari ekspresinya, dia tidak tahu apa yang kubicarakan.
“Maaf, aku terlalu banyak
mengoceh.”
“Tak apa.” Lagi-lagi jawabnya lebih singkat dari gemuruh
di langit setelah kilat menyambar.
Aku mengeluarkan telepon genggam
dari saku celana.
“Tak baik menelepon saat hujan
lebat,” katanya mencegah. Sepertinya dia tahu apa yang akan aku lakukan.
“Kenapa?”
“Telepon genggam memancarkan
gelombang elektromagnetik yang bisa menarik energi lainnya seperti listrik.
Bisa-bisa kamu tersambar petir, nanti.”
“Itu ilmiah? Bisa
dipertanggungjawabkan?” Tanyaku sambil memasukkan kembali telepon genggamku
dengan ragu ke saku celana. “Bagaimana dengan mengirim pesan pendek? Apakah
bisa tersambar petir juga?”
Dia mengangkat bahu. Aku rasa dia
tidak paham juga dengan apa yang barusan diucapkannya kepadaku. Atau informasi
yang dia terima masih sepotong-sepotong.
“Aku ingin memberitahukan bahwa
aku tidak bisa datang tepat waktu,” kataku.
Dia menunjuk sebuah taksi yang kelihatan
melaju di kejauhan. “Kau bisa naik taksi.”
“Lalu bagaimana dengan kamu?”
Tanyaku.
“Aku akan menunggu hujan reda
saja. Tempat janji temuku tak jauh dari sini.”
Aku terdiam. Menghitung dalam
hati berapa sisa uang di dompetku. Apakah uang itu cukup untuk ongkos taksi
menuju tempat perhelatan sastra di daerah Bulungan itu atau tidak. Sebenarnya
aku berniat untuk jalan kaki ke arah perempatan lalu dari sana aku akan naik
metromini ke arah Bulungan. Cukup dengan uang dua ribu rupiah. Kalau aku
memutuskan naik taksi, bisa keluar ongkos tak kurang dari dua puluh ribu. Apalagi
hujan begini, jalanan pasti macet.
“Ah. Aku rasa telat sedikit tak
mengapa.”
“Apakah aku harus merasa
keberatan dengan hal itu?” Tanyanya.
Ya. Halte ini tempat siapa saja
menunggu angkutan umum. Siapa saja bisa bernaung menghindari hujan di sini.
Termasuk aku, dan Sri, atau Ajeng, atau Galuh ini. Entahlah siapa namanya. Aku
tak hendak berkenalan dengannya. Bukan lantaran menurutku dia tidak cantik atau
terlalu kurus, atau karena apa pun. Aku memang tidak sedang ingin berkenalan
dengan seseorang. Siapapun dia.
“Apakah kau juga membenci hujan?”
Dia tiba-tiba menanyakan yang tadi kutanyakan kepadanya.
Aku berusaha mengingat dengan
baik larik-larik sajak Sapardi, atau siapa saja tentang hujan. Tapi tak ada
yang kuingat selain sebuah peristiwa tentang seseorang yang menangis. Dengan
seorang bayi yang diselimuti dan didekap erat, dia menenteng sebuah koper
besar. Tepatnya menyeret koper itu. Sebuah rumah besar berwarna putih terlihat
terang ketika petir menyambar. Suara seorang pria berkumis bercampur dengan
bunyi guruh. Entah apa yang dia katakan. Tapi yang jelas membuat perempuan
dengan bayi di gendongannya itu semakin deras airmatanya.
Rasanya sejak itu, aku membenci
apapun yang berkaitan dengan hujan. Termasuk seseorang yang kutemukan dalam
hujan. Seperti Sri, Ajeng, atau Galuh yang sedang menunggu hujan reda di dalam
halte bus ini.
Tiba-tiba kulihat awan gelap seperti
menyisih. Hujan berubah jadi gerimis yang tidak kencang. Segerombolan burung
terbang dari pepohonan. Aku memakai kembali jaketku.
“Hujan hampir reda. Aku pergi
dulu ya.” Kataku dengan nada yang kuinginkan keluar dari bibirku begitu sopan.
Seperti seorang anak pamit bermain kepada ibunya.
Jakarta, Juni 2013
Comments