Mulanya, rasa takut itu dirasakan oleh Guru Rakhim saat beliau hendak melakukan salat subuh di musala yang tak jauh dari rumahnya. Beliau merasa ada sesosok mahluk tinggi besar yang mengawasi gerak-geriknya mulai ketika beliau melepas sandal, mengambil air wudu, dan melakukan salat serta berzikir.
Guru Rakhim merasakan ada suara nafas yang sekilas namun tegas pada tengkuknya. Hal itu menandakan bahwa ada sosok lain selain dirinya yang berada di musala itu. Beliau mendadak merasa waswas barangkali inilah saat malaikat maut datang untuk menjemput nyawanya. Namun, ada pikiran juga bahwa sosok yang dirasakan kehadirannya dengan suara nafas yang tegas ditengkuknya itu hanyalah mahluk halus yang biasa disebut lelembut belaka.
Guru Rakhim menghentikan zikir dan memberanikan diri bertanya pada sosok yang tak hendak ditengok dengan memutar kepala ke samping, kuatir beliau mendadak kaget melihat perwujudannya. Sebab dari cerita-cerita orang, perwujudan lelembut itu bermacam-macam, dan kebanyakan yang dilihat orang adalah perwujudan yang menyeramkan.
“Salam. Kalau boleh saya tahu siapakah Anda yang mengikuti semua gerak-gerik saya selama di musala ini?”
Yang ditanya tidak segera menjawab, namun sekali lagi Guru Rakhim merasakan suara nafas yang tegas pada tengkuknya. Setelah itu, barulah Guru Rakhim merasa ada suara seseorang yang langsung masuk ke dalam alam pikirannya. Guru Rakhim mendapatkan banyak perkataan yang tak beliau dengar dengan kedua telinganya, melainkan beliau sangat bisa memahami semua itu. Perkataan-perkataan sosok itu membuat ketakutan yang sangat pada hati Guru Rakhim. Dan karena ketakutan itu, buru-buru Guru Rakhim meninggalkan musala itu dengan berlari untuk sampai ke rumahnya.
Nyi Mirah Ati, istri Guru Rakhim mendapatkan cerita itu sepulang Guru Rakhim pulang dari musala. Sepanjang Nyi Guru mengenal Guru Rakhim, beliau adalah orang yang jujur. Oleh karena itu Nyi Mirah Ati percaya bahwa Guru Rakhim memang benar-benar bertemu dengan sosok yang suara nafasnya terdengar tegas di tengkuk beliau. Demikian pula dengan perkataan-perkataan sosok itu yang telah merasuk ke pikiran Guru Rakhim. Bahkan tidak hanya itu, Nyi Mirah Ati pun bisa merasakan kehadiran sosok yang dimaksud oleh Guru Rakhim ketika mereka sedang memperbincangkan peristiwa yang dialami oleh Guru Rakhim di subuh itu. Demikian juga Nyi Mirah Ati bisa merasakan rasa takut yang sama seperti yang dialami oleh Guru Rakhim ketika mendengar perkataan-perkataan sosok bernafas tegas itu.
“Ada baiknya, kita pergi ke Kyai Musaba, guru kita itu, Suamiku. Sebab perkara ketakutan yang kita rasakan itu belum pernah kita rasakan sebelumnya. Mungkin Kanjeng Kiyai bisa menjelaskan mengapa ada rasa takut yang timbul saat apa yang dikatakan oleh sosok itu kita resapi. Kita juga harus memastikan apakah sosok itu berasal dari kebaikan atau kejahatan. Sebab apabila dari kejahatan, maka sudah sepantasnya kita tak perlu merasa takut!” Demikianlah Nyi Mirah Ati mengusulkan agar mereka mencari tahu hal-hal yang berkenaan dengan sosok itu serta perkataannya yang membuat mereka berdua merasa takut. Bahkan sangat takut.
Kyai Musaba mendengarkan dengan sangat seksama cerita Guru Rakhim, sebab menurut beliau cerita semacam ini harus dicermati karena apabila salah tanggap akan dianggap lelucon belaka bahkan mengada-ada. Sebab mirip sekali dengan peristiwa yang hanya dialami oleh Kanjeng Nabi dulu kala.
“Begitu sosok itu berkata, ada perasaan yang tiba-tiba menghujam dada saya, Kyai. Perasaan seperti saya akan mendapatkan kesakitan yang luar biasa. Kesakitan yang lebih sakit dari sayatan pedang atau bahkan saat nyawa sedang diregang.” Guru Rakhim menjelaskan perasaan beliau ketika beliau mendengarkan perkataan dari sosok yang hanya dapat dirasakan melalui suara nafas yang tegas di tengkuknya itu.
“Perkataan seperti apa yang dia katakan, Rakhim?” Kyai Musaba menyela, ”Tanpa mengetahui perkataannya, rasanya sulit sekali bagiku untuk menelusuri apakah sosok itu dari kebaikan atau kejahatan.”
Maka Guru Rakhim meneruskan ceritanya dengan mengungkapkan kata-kata yang tidak dia dengar melainkan seperti langsung masuk ke dalam pikirannya itu. Demi mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Guru Rakhim, tiba-tiba wajah Kyai Musaba memucat. Matanya mendelik seolah beliau melihat sesuatu yang sangat mengerikan tengah terjadi. Tangannya memegang dada yang tiba-tiba merasa kesesakan. Bersamaan itu pula, di tengkuknya terasa ada nafas yang tegas dan teramat dekat. Sosok yang dibicarakan Guru Rakhim dan Nyi Mirah Ati nampaknya turut serta dalam perbincangan itu.
Begitu Guru Rakhim selesai bercerita, nafas Kyai Musaba tersengal-sengal. Segera saja tangannya mengambil cangkir dan menghabiskan teh yang sudah agak dingin.
”Rakhim, apa yang dikatakan oleh mahluk itu adalah keadaan yang sesungguhnya dari apa yang kita lihat sehari-hari dan juga yang telah dinyatakan oleh orang-orang sebelum kita. Orang-orang yang hidupnya dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu, bisa aku pastikan yang kau temui itu mahluk kebaikan dan datang untuk kebaikan kita semua.”
Guru Rakhim terdiam mendengar Kyai Musaba berkata demikian. Tiba-tiba di pikiran beliau berkecamuk: bagaimana jika pesan-pesan dari sosok nir suara itu disebarluaskan ke masyarakat.
Seperti telah mengetahui pikiran dari Guru Rakhim, Kyai Musaba tiba-tiba berkata, ”Ada baiknya memang pesan-pesan ini diketahui oleh banyak orang. Sebab ketakutan yang kita rasakan dan kehadiran sosok yang sepertinya mengawasi dengan ketat gerak-gerik kita ini akan membuat orang berbuat baik.”
Begitulah ceritanya, hingga pesan-pesan yang menimbulkan ketakutan itu disebarluaskan kepada masyarakat di sekitar tempat tinggal Guru Rakhim dan Kyai Musaba. Demi mendengar pesan-pesan itu, setiap orang merasakan ketakutan yang luar biasa dan merasakan hadirnya sosok yang sepertinya mengawasi gerak-gerik mereka setiap saat. Dan seperti diharapkan, maka perubahan pada sikap orang-orang pun berubah. Mereka menjadi sangat ramah terhadap sesiapa saja. Saling membantu dan mau bergotong-royong dalam kegiatan kebersihan, penanggulangan bencana, atau membantu orang-orang yang lemah dan miskin, yang merupakan hal-hal yang sudah lama menghilang dari kebiasaan.
Anak-anak yang biasanya nakal, suka mencemooh bahkan suka membolos dari pengajian pun kini menjadi anak-anak yang manis dan sopan. Mereka sungguh sangat ketakutan karena banyak yang mengabarkan secara berlebihan apabila mereka berbuat tidak baik maka sosok yang dirasa dari suara nafas di tengkuk itu akan menjemput paksa mereka ketika tidur.
Demikianlah, orang-orang pun hidup berdampingan dengan rasa takut itu. Rasa takut itu telah menjadi senjata yang ampuh untuk menjadikan orang-orang hidup dengan baik. Kyai Musaba dan Guru Rakhim merasa bahwa keinginan mereka untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan rasa kehadiran akan sosok kebaikan itu telah berhasil menemu tujuannya: Orang-orang hidup dengan sikap yang sangat baik dan penuh kebaikan.
Hanya saja, Sanggah, seorang pemuda yang baru tiba dari kota merasa hal semacam itu hanyalah sesuatu yang dibesar-besarkan. ”Bukankah kita juga pernah diwejangi soal Neraka, tempat gelap, panas, penuh ratapan dan tangisan itu? Tetapi coba lihat, berapa banyak orang yang benar-benar menjalankan agamanya dengan baik?”
”Jangan berkata begitu, Sanggah.” Muridi menimpali,”Mungkin orang-orang dulu itu belum tahu bahwa kita memang benar-benar diawasi oleh sosok kebaikan yang tak kelihatan, yang hanya dapat dirasakan kehadirannya dengan suara nafas yang tegas di tengkuk kita itu.”
”Lho. Bukankah dulu juga kita sering diberi nasehat bahwa kanan-kiri kita ada malaikat yang mencatat semua amal perbuatan kita? Tapi buktinya, tetap saja ada orang mencuri, membunuh, memperkosa, bahkan korupsi!” Lagi-lagi Sanggah menyatakan ketidakpercayaannya pada pesan-pesan gaib yang disebarluaskan.
”Mungkin kamu belum merasakan kehadiran sosok itu, Sanggah!” Celetuk yang lain, ”Kau belum pernah merasakan ketakutan yang kami rasakan setelah mendengar pesan-pesan gaib itu.”
Maka Sanggah memutuskan untuk menemui sendiri Guru Rakhim. Dia begitu ingin tahu ketakutan seperti apa yang membuat orang-orang itu menjadi sangat baik sikapnya. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, Sanggah memperhatikan setiap gerak-gerik Guru Rakhim dengan seksama.
”Sebenarnya, apa yang ingin Anda ketahui dari saya? ” Guru Rakhim langsung bertanya pada pokok persoalan yang membuat Sanggah berkunjung ke rumah beliau.
”Begini, Guru Rakhim, saya sudah banyak mendengar kabar dan pesan-pesan yang konon disebarkan oleh Guru dan Kyai Musaba di daerah ini. Kabar tentang sesosok mahluk gaib yang mengawasi tindak-tanduk kita, juga pesan-pesan yang disampaikan olehnya tanpa suara,” Sanggah melanjutkan mengutarakan maksud kedatangannya,” Yang ingin saya tanyakan adalah apakah mereka benar-benar mengalami ketakutan dan kehadiran sosok tersebut ketika mendengar cerita dari Guru Rakhim dan Kyai Musaba? Atau mereka hanya takut kepada Guru Rakhim dan Kyai Musaba saja?”
Guru Rakhim berdehem sebentar sebelum menjawab pertanyaan dari Sanggah. Jemarinya terus bergerak menghitung butiran tasbih, tanda sedang berzikir. Mata beliau tampak menerawang, seolah-olah ada sesuatu yang teramat berat di dalam pikirannya. Pelan-pelan, Sanggah melihat mata beliau semakin membelalak. Seolah-olah ada sesuatu yang amat mengejutkannya. Mulut beliau mendadak menganga.
Sanggah mengira Guru Rakhim tengah memberi contoh begitulah beliau dan Kyai Musaba mengalami ketakutan yang teramat mencekam. Begitu pula dengan orang-orang yang mendengar cerita beliau berdua. Namun Guru Rakhim tidak berhenti menunjukkan ekspresi ketakutan itu. Beliau juga tidak mengeluarkan suara sepatah kata juga.
Sanggah menghampiri Guru Rakhim dan memegang lututnya, sedikit mengguncangkan, bermaksud agar Guru Rakhim tersadar dari keadaan itu. Tapi Guru Rakhim tidak bergeming.
Sontak, Sanggah berteriak memanggil Nyi Mirah Ati agar segera datang ke ruang tamu dan menyadarkan Guru Rakhim. Nyi Mirah Ati tergopoh-gopoh dan mengguncangkan tubuh Guru Rakhim. Yang diguncang-guncang itu tetap diam terpaku dengan mata melotot dan mulut ternganga. Ruang tamu itu segera dipenuhi suara tangis yang menyayat.
Sanggah yang kebingungan, segera berlari meninggalkan rumah Guru Rakhim untuk mengabarkan keadaan Guru Rakhim kepada orang-orang di kampung. Siang itu, setelah kabar Sanggah tersiar, berduyun-duyun orang datang ke rumah Guru Rakhim untuk melihat Guru Rakhim yang terdiam dalam keadaan seperti orang dilanda ketakutan yang akut.
Melihat keadaan Guru Rakhim, semua orang semakin bertambah rasa takutnya. Mereka semakin percaya bahwa apa yang dikatakan Guru Rakhim tentang sosok gaib dan pesan-pesan tanpa suara itu adalah suatu kebenaran. Kyai Musaba pun diundang, barangkali sebagai guru dari Guru Rakhim, Kyai Musaba bisa menyembuhkan Guru Rakhim.
Demi melihat keadaan Guru Rakhim, Kyai Musaba pun bertambah rasa takutnya. ”Ini jelas rasa takut yang luar biasa yang dirasakan oleh Guru Rakhim. Saya tidak mungkin dapat menyadarkannya.” Jelas Kyai Musaba.
Tangan Kyai Musaba terulur pada dada Guru Rakhim. Rupanya, Kyai Musaba masih mendapatkan degup jantung Guru Rakhim sehingga tak berapa lama kemudian Kyai Musaba menghembuskan nafas keras, menandakan kelegaan bahwa Guru Rakhim masih bernyawa.
Setelah lama dalam kondisi demikian, Guru Rakhim pun mengedipkan kelopak matanya. Orang-orang berseru gembira, lalu ramai pertanyaan dilontarkan kepada beliau.
“Apa yang Guru Rakhim rasakan? Adakah penglihatan atau pesan gaib lainnya?”
Guru Rakhim berbicara dengan pelan, hampir tak terdengar, setelah mengatur nafasnya.
“Ada lagi yang harus aku ajarkan kepada kalian semua. Rasa takut yang lain. Yang lebih dahsyat dari apa yang kalian rasakan kemarin-kemarin.”
Guru Rakhim berhenti bicara, dan mengambil sikap seperti bersemadi. Orang-orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak berapa lama, orang-orang berteriak menyebut-nyebut nama Tuhan dan menghambur berlarian. Terdengar pula jeritan Nyi Mirah Ati dan Kyai Musaba. Tubuh Guru Rakhim meledak tak berapa lama beliau mengambil sikap bersemadi. Serpihan-serpihan tubuh beliau yang hancur terlontar ke berbagai arah.
Jakarta, September 2011.
Comments