Pohon di Tengah Alun-Alun

Dia baru bisa membaca saat pertama kali diajak bersepeda - tepatnya dibonceng - ibunya saat mengetahui ada keganjilan dari apa yang dia lihat di alun-alun kota. Ada sebatang pohon asam gelugur tua, bukan beringin, tumbuh di tengah alun-alun itu. Padahal menurut cerita-cerita yang sering dilontarkan bibir ibunya, adalah pohon beringin yang biasanya ditanam sebagai lambang pengayoman kepala daerah kepada rakyatnya. Cabang-cabangnya yang rindang membentuk kanopi yang sangat teduh. Di antara dahan dan rantingnya yang rimbun, puluhan burung tekukur dan perkutut membuat sarang.

Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.

Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”

+++

Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.

Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.

+++

Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.

Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.

Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.

Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.

+++

Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.

“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”

Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.

“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”

Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.

“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”

+++

Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.

Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.

“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.

“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.

“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”

“Perampok besar? Siapa namanya?”

“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”

Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.


Jakarta, September 2011

Comments