Dedy Tri Riyadi
Beranak dalam Hujan
Beranak dalam Hujan
“Sudah, tidak apa-apa. Paling sebentar lagi terang.” Kardasih menolak diminta menunggu sejenak oleh Hasim untuk diambilkan payung lantaran di sore yang masih menyisakan terik matahari tiba-tiba turun hujan.
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
Di dalam hujan selalu ada kegelisahan. Gelisah agar badan tidak basah, gelisah agar perjalanan ini cepatlah sudah. Kadarsih berjalan berpayung dengan tergesa. Percikan air dari genangan sepanjang jalan mengenai roknya yang panjang. Namun dia merasa setiap dia melangkah, ada pula yang mengiringinya. Merasa semakin cemas, Kadarsih berjalan semakin cepat. Lalu terdengar seperti orang berbisik di dekatnya. “Ssh..Ssh...”
“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.
“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
“Mari masuk, Kadarsih,” sambut seorang perempuan kepadanya. Di depannya sebuah rumah cukup ramai dengan tetamu. Kadarsih bingung, bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya. Terlebih dirinya tidak mengetahui siapa perempuan yang menyapanya itu.
“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”
Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.
“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.
Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.
Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.
“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”
Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.
“Istigfar, Nak. Istigfar.” Ada suara lelaki yang berat terdengar. Kadarsih berusaha membuka matanya yang terasa tertutup sesuatu yang berat. Akhirnya dia bisa melihat dengan samar ada banyak orang mengelilinginya.
“Oh. Kepalaku.” Kadarsih menjerit lirih. Akibat terjatuh tadi, kepala Kadarsih membentur lantai. Efeknya baru terasa setelah kesadarannya pulih.
Terdengar tangis haru dari ayah dan ibu serta saudara-saudaranya. Kadarsih sudah siuman dari pingsannya. Dia mengembangkan tangan untuk memeluk ibunya.
“Kadarsih, kenapa kau, Nak?”
Kadarsih bercerita mulai dari suara-suara aneh di beranda rumah Hasim hingga wajah menyeramkan yang terlihat di kaca jendela. Juga tentang penunggu pohon nangka Pak Rustam tetangga mereka.
“Makanya, jangan suka dilanggar pamali orang tua dulu. Kalau ada hujan sementara cuaca terang lebih baik berdiam di dalam rumah, jangan bepergian,” Sebuah petuah terdengar dari seorang kakek yang tadi menyuruh Kadarsih mengucapan istigfar.
Jakarta, 2011
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
oOo
Di dalam hujan selalu ada kegelisahan. Gelisah agar badan tidak basah, gelisah agar perjalanan ini cepatlah sudah. Kadarsih berjalan berpayung dengan tergesa. Percikan air dari genangan sepanjang jalan mengenai roknya yang panjang. Namun dia merasa setiap dia melangkah, ada pula yang mengiringinya. Merasa semakin cemas, Kadarsih berjalan semakin cepat. Lalu terdengar seperti orang berbisik di dekatnya. “Ssh..Ssh...”
“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.
“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
oOo
“Mari masuk, Kadarsih,” sambut seorang perempuan kepadanya. Di depannya sebuah rumah cukup ramai dengan tetamu. Kadarsih bingung, bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya. Terlebih dirinya tidak mengetahui siapa perempuan yang menyapanya itu.
“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”
Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.
“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.
Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.
Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.
“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”
Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.
oOo
“Istigfar, Nak. Istigfar.” Ada suara lelaki yang berat terdengar. Kadarsih berusaha membuka matanya yang terasa tertutup sesuatu yang berat. Akhirnya dia bisa melihat dengan samar ada banyak orang mengelilinginya.
“Oh. Kepalaku.” Kadarsih menjerit lirih. Akibat terjatuh tadi, kepala Kadarsih membentur lantai. Efeknya baru terasa setelah kesadarannya pulih.
Terdengar tangis haru dari ayah dan ibu serta saudara-saudaranya. Kadarsih sudah siuman dari pingsannya. Dia mengembangkan tangan untuk memeluk ibunya.
“Kadarsih, kenapa kau, Nak?”
Kadarsih bercerita mulai dari suara-suara aneh di beranda rumah Hasim hingga wajah menyeramkan yang terlihat di kaca jendela. Juga tentang penunggu pohon nangka Pak Rustam tetangga mereka.
“Makanya, jangan suka dilanggar pamali orang tua dulu. Kalau ada hujan sementara cuaca terang lebih baik berdiam di dalam rumah, jangan bepergian,” Sebuah petuah terdengar dari seorang kakek yang tadi menyuruh Kadarsih mengucapan istigfar.
Jakarta, 2011
Comments
kayane kenal nama itu...
hehehe
sukses john...
dolan maring omah ku..
http://katoelteloe.co.cc
tx..