Cincin Kawin

Dia masih memandang jejak putih di jari manisnya. Jejak berbentuk garis
melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak
itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari
manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari
televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa
kehilangan.

+++

"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata
istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu
anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya
itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara
mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.

"Janganlah Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya.
Lagipula itu 'kan cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan."
Sebenarnya dia juga tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi
terpasang di tempatnya. Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya
masih muda. Umur tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja,
tapi masih terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.

"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah
datang menagih hutang."

Akhirnya dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda
pasrah. Dia juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi
kondisi ekonomi rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi
pendarahan, suaminya menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total
menjadi ibu rumah tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada
penghasilan suaminya.

"Terserah Bapak sajalah."

Maka pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke
pegadaian. Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu
yang bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya
tiba-tiba tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa
selesai tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah
membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar
bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan
sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat
kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.

Tapi ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan
bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan
oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir
dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia
pun ikut-ikutan menyerahkan form dan cincin kawinnya pada seorang
petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam
dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara
kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.

Sekali lagi dia menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak
lama kemudian orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk
ditaksir jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar
juga, dia pun akhirnya dipanggil.

"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"

Dia sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir
senilai tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya
seharga satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia
tidak punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk
membayar tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.

"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut
pikiran di dalam kepalanya.

+++

"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."

Di depan istrinya, dia menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke
tangan istrinya. Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa
terima dengan upayanya.

"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.

"Tidak ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang
sedang dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin
kawin itu.

"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan anakmu." Dia
berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat yang tampak
pasrah.

Istrinya tetap tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyimpan uang
itu di lemari, dan segera menyusul anaknya yang tertidur di kamar.

Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah
belakang. Mandi.

+++

Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis.
Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan
pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau
sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.

"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.

"Tidak mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang
terhidu olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu
baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh jari
manisnya. Kosong. Tidak ada cincin kawin di situ.

"Boleh kenalan?" Ujarnya tiba-tiba.


Jakarta, 04 September 2008.

Comments