Akhir-akhir ini, pada berita nasional ada pihak-pihak yang menginginkan pemerintah meninjau kembali UU No. 2/Pnps/Tahun 1964 tentang Hukuman Mati. Seorang penggiat HAM bahkan meminta Komnas HAM untuk bertindak tegas terhadap pelaksanaan hukuman mati, terhadap siapapun di Indonesia, dengan menyarankan proses yang intensif dari Pemerintah dalam rehabilitasi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan. Tetapi yang sering menjadi sorotan dalam hal penolakan UU hukuman mati itu adalah TPM yang sudah meminta peninjauan UU itu kepada Mahkamah Konstitusi.
Secara pribadi, saya setuju bahwa Indonesia adalah Negara yang dilandaskan atas hukum. Dan dari sisi hukum, perlu ada aturan yang membuat ngeri agar orang tidak bertindak jahat. Perlu diingat, sudah ada hukuman mati pun ternyata masih banyak orang yang demi hal-hal sepele tega menghilangkan nyawa orang lain! Bagaimana jika tidak ada final punishment seperti hukuman mati? Menurut hemat saya, UU hukuman mati wajib adanya sebelum angka kriminalitas dengan disertai pembunuhan turun dengan sangat drastis di negeri ini.
Yang membuat saya cukup heran, kenapa sepertinya kejadian belakangan ini memihak? Pada waktu Tibo cs. dihukum mati, banyak orang yang sepertinya setuju dengan hukuman mati, padahal Kepausan Roma sampai mengirim surat, yang diterima oleh Wakil Presiden RI, agar pemerintah menimbang kembali keputusan pelaksanaan hukuman mati itu. Demikian juga saat Sumiarsih dan Sugeng dihukum mati, tidak ada "ribut-ribut" untuk meninjau kembali UU itu. Dan yang lebih lucu lagi, alasan peninjauan kembali itu adalah proses pelaksanaan hukuman mati yang dengan menggunakan cara ditembak itu. Konon, menurut si pengusul, ditembak itu menimbulkan proses penyiksaan. Oleh karena itu, si pengusul menyarankan agar penembakan mati digantikan dengan hukum pancung yang mana dengan bermacam alasan dikatakan tidak menimbulkan rasa sakit kepada si terhukum. Ini jelas alasan yang mengada-ada. Bagaimana dia bisa mengemukakan setelah kepala terpenggal maka tidak ada unsur penyiksaan lagi bagi si terhukum?
Rasa sakit itu munculnya dari otak memang, dan di sekolah menengah pasti hampir semua siswa di Indonesia pernah mengorek serabut otak katak demi mengesahkan teori gerak otot yang bisa diperintah otak, dan ada juga otot yang bekerja tanpa perlu perintah otak. Apakah setelah otak itu hilang, otot-otot tubuh tidak tersiksa akibat hilang koordinasi sebelum mengalami kematian?
Kematian yang tidak disadari (sehingga tidak menimbulkan rasa sakit) justru sering terjadi "mobil-mobil goyang" di Ancol. Penyebabnya adalah keracunan CO. Kenapa tidak ini saja yang diusulkan oleh si pengusul? Alasannya jelas, tidak ada rasa sakit dan terhukum mati hanya langsung tidak sadar dan tidak bangun lagi plus (ini lebih penting) kepalanya tetap utuh dan menempel di badannya.
Tapi ada pertanyaan lain yang pernah diajukan oleh asisten domestik di rumah saya, "Itu yang penembaknya dosa tidak ya?" Wah, jika sudah bicara dosa dan agama saya lantas teringat bagaimana seorang wanita yang dituduh pelacur (banyak yang mengatakan bahwa wanita itu Maria Magdalena) diselamatkan oleh Yesus dari hukum rajam. Terlepas dari peristiwa itu menunjukkan betapa Yesus sangat mengerti Taurat, karena para penuduh tidak lengkap bukti-buktinya sehingga tidak valid jika ada yang dijatuhi hukum rajam, yang ingin disampaikan oleh Yesus ketika itu adalah hukuman itu haruslah datangnya dari Tuhan saja. Sebab Tuhan itu Maha Pengampun sekaligus Maha Penghukum, sehingga tidak wajibkan dalam agama kristen seseorang menghukum orang lain karena kesalahannya. Melainkan dia harus selalu mengampuni orang lain setiap saat.
Dengan kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama, saya kembali merujuk perkataan Yesus ketika ditanya soal pajak. Dia malah bertanya kepada orang-orang yang bertanya "Ada gambar siapa di mata uang kalian?" Lalu ketika orang-orang itu menjawab bahwa di mata uang itu terdapat gambar kepala Kaisar Roma, Yesus pun kembali berkata bahwa dengan demikian mereka harus melakukan kewajibannya kepada yang Kaisar, sebab itu memang hak dari Kaisar atas pajak.
Agustus 2008
Secara pribadi, saya setuju bahwa Indonesia adalah Negara yang dilandaskan atas hukum. Dan dari sisi hukum, perlu ada aturan yang membuat ngeri agar orang tidak bertindak jahat. Perlu diingat, sudah ada hukuman mati pun ternyata masih banyak orang yang demi hal-hal sepele tega menghilangkan nyawa orang lain! Bagaimana jika tidak ada final punishment seperti hukuman mati? Menurut hemat saya, UU hukuman mati wajib adanya sebelum angka kriminalitas dengan disertai pembunuhan turun dengan sangat drastis di negeri ini.
Yang membuat saya cukup heran, kenapa sepertinya kejadian belakangan ini memihak? Pada waktu Tibo cs. dihukum mati, banyak orang yang sepertinya setuju dengan hukuman mati, padahal Kepausan Roma sampai mengirim surat, yang diterima oleh Wakil Presiden RI, agar pemerintah menimbang kembali keputusan pelaksanaan hukuman mati itu. Demikian juga saat Sumiarsih dan Sugeng dihukum mati, tidak ada "ribut-ribut" untuk meninjau kembali UU itu. Dan yang lebih lucu lagi, alasan peninjauan kembali itu adalah proses pelaksanaan hukuman mati yang dengan menggunakan cara ditembak itu. Konon, menurut si pengusul, ditembak itu menimbulkan proses penyiksaan. Oleh karena itu, si pengusul menyarankan agar penembakan mati digantikan dengan hukum pancung yang mana dengan bermacam alasan dikatakan tidak menimbulkan rasa sakit kepada si terhukum. Ini jelas alasan yang mengada-ada. Bagaimana dia bisa mengemukakan setelah kepala terpenggal maka tidak ada unsur penyiksaan lagi bagi si terhukum?
Rasa sakit itu munculnya dari otak memang, dan di sekolah menengah pasti hampir semua siswa di Indonesia pernah mengorek serabut otak katak demi mengesahkan teori gerak otot yang bisa diperintah otak, dan ada juga otot yang bekerja tanpa perlu perintah otak. Apakah setelah otak itu hilang, otot-otot tubuh tidak tersiksa akibat hilang koordinasi sebelum mengalami kematian?
Kematian yang tidak disadari (sehingga tidak menimbulkan rasa sakit) justru sering terjadi "mobil-mobil goyang" di Ancol. Penyebabnya adalah keracunan CO. Kenapa tidak ini saja yang diusulkan oleh si pengusul? Alasannya jelas, tidak ada rasa sakit dan terhukum mati hanya langsung tidak sadar dan tidak bangun lagi plus (ini lebih penting) kepalanya tetap utuh dan menempel di badannya.
Tapi ada pertanyaan lain yang pernah diajukan oleh asisten domestik di rumah saya, "Itu yang penembaknya dosa tidak ya?" Wah, jika sudah bicara dosa dan agama saya lantas teringat bagaimana seorang wanita yang dituduh pelacur (banyak yang mengatakan bahwa wanita itu Maria Magdalena) diselamatkan oleh Yesus dari hukum rajam. Terlepas dari peristiwa itu menunjukkan betapa Yesus sangat mengerti Taurat, karena para penuduh tidak lengkap bukti-buktinya sehingga tidak valid jika ada yang dijatuhi hukum rajam, yang ingin disampaikan oleh Yesus ketika itu adalah hukuman itu haruslah datangnya dari Tuhan saja. Sebab Tuhan itu Maha Pengampun sekaligus Maha Penghukum, sehingga tidak wajibkan dalam agama kristen seseorang menghukum orang lain karena kesalahannya. Melainkan dia harus selalu mengampuni orang lain setiap saat.
Dengan kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama, saya kembali merujuk perkataan Yesus ketika ditanya soal pajak. Dia malah bertanya kepada orang-orang yang bertanya "Ada gambar siapa di mata uang kalian?" Lalu ketika orang-orang itu menjawab bahwa di mata uang itu terdapat gambar kepala Kaisar Roma, Yesus pun kembali berkata bahwa dengan demikian mereka harus melakukan kewajibannya kepada yang Kaisar, sebab itu memang hak dari Kaisar atas pajak.
Agustus 2008
Comments