Sejarah masuknya bangsa Cina ke Indonesia di tanah Jawa sangat akrab dengan legenda laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang terkenal itu. Maka ketika saya mendapat tugas supervisi acara grebek pasar yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi swasta, saya berkeinginan untuk bisa sampai di kuil Sam Po Kong yang termasyhur itu.
Keberangkatan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta tertunda sekitar satu jam - konon oleh adanya awan tebal dan kabut di atas pantai utara Jawa – menyebabkan saya baru bisa menginjakkan kaki di Semarang pada pukul delapan malam. Seorang pengemudi mobil rental langsung menyambut dengan sedikit menggerutu karena dia sudah menunggu sejak pukul enam sore di Bandara A. Yani. Dan tidak lama kemudian, kami sudah menuju ke arah Semarang Atas ke daerah bernama Candi.
Malam itu, karena kami buta sama sekali tentang Semarang, seusai mandi kami hanya “turun” sedikit untuk mencari makan. Atas saran pengemudi mobil rental itu, kami mencicipi gudeg di sebuah warung pinggir jalan. Seorang teman, Alvin namanya, berbisik bahwa dia merasakan sugesti negatif pada perutnya lantaran melihat Ibu penjual gudeg itu menyiapkan makanan kami dengan tangan, tanpa sendok. Dari sejak datang rupanya dia memperhatikan hal itu. Dan sebenarnya dia sangat berharap Ibu penjual gudeg itu tidak menerima uang karena dia menyiapkan makanan dengan tangan. Akan tetapi harapan dia musnah, karena Ibu tersebut ternyata menerima uang juga dengan tangan. Walhasil, setiba di hotel teman tersebut buru-buru masuk kamar mandi.
Paginya, perjalanan kami ke daerah Pecinan dimulai. Seorang teman yang memang lahir dan besar di Semarang mengajak kami sarapan di sebuah kedai soto. Soto Bokoran sebutannya. Kata Luki, teman yang asli Semarang itu, soto tersebut lebih nikmat dibandingkan dengan Soto Bangkong. Saya tidak bisa membedakan karena memang belum pernah mencicipi kedua jenis soto tersebut. Soto ayam yang dicampur nasi di dalam sebuah mangkuk kecil, disertai dengan lauk pelengkap seperti pindang telur, sate kerang, tempe bacem, ternyata memang nikmat. Goreng bawang putih yang ditabur di atasnya menjadikan aroma yang khas.
Pemandangan di kedai Soto Bokoran yang terletak di Gang Pinggir ini betul-betul unik. Kedai yang kecil dipadati oleh pengunjung sampai ke bagian depan. Dan pengunjungnya mayoritas dari kalangan TiongHoa. Alvin dan Ndaru yang beragama Islam bertanya kepada Luki tentang kehalalan soto tersebut. Setahu Luki, meskipun tidak ada tanda halalnya, soto ayam itu murni soto ayam biasa. Masyarakat Tionghoa di Semarang rata-rata disiplin soal hal yang sensitif seperti itu. Dia justru menyarankan Alvin dan Ndaru untuk berhati-hati pada penjual mi ayam atau mi Jawa di pinggir jalan, karena ada dari mereka yang menggunakan minyak / lemak babi.
Gang Pinggir ternyata baru sebagian kecil kehidupan dan gambaran masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang. Sepenglihatan saya ketika melintasi daerah itu, setidaknya ada dua buah vihara kecil di sekitaran daerah itu. Saya kembali teringat pada Kuil Sam Po Kong itu.
Hampir setengah hari, kami menghabiskan waktu di Pasar Bulu. Pasar ini termasuk pasar yang sudah cukup tua di Semarang. Pasar ini terletak di depan taman Tugu Muda. Tak jauh dari Pasar sudah berdiri gagah bangunan kuno yang terkenal keangkerannya ; Lawang Sewu. Ndaru, si pengemudi mobil rental itu, berkali-kali mempromosikan diri pernah mengantar turis lokal seperti kami untuk memasuki Lawang Sewu, bahkan menurut dia yang paling seram dan tidak enak perasaannya ketika memasuki penjara bawah tanah yang gelap dan lembab. Kami tidak banyak menanggapi, karena Alvin dan Luki tidak mau mencoba untuk berpartisipasi dalam tur semacam itu. Saya hanya berkomentar alangkah sayangnya bangunan bersejarah seperti itu dibiarkan hancur dimakan waktu. Pada pelataran Lawangsewu setidaknya ada dua buah bangunan semi permanent yang berfungsi sebagai semacam pos penjagaan sekaligus warung. Saya pun teringat pada Istana Maimun di Kota Medan yang tidak bisa lagi dinikmati bagian depannya dari jalan raya karena tertutup oleh bentangan warung makan yang konon dimiliki oleh ahli waris Istana tersebut.
Siangnya, Luki kembali mengajak saya makan di daerah pecinan. Di sana, menurutnya, ada sebuah kedai rumahan seperti Soto Bokoran tadi tetapi yang ini menyajikan masakan dari daging babi. Luki menambahkan makanan di situ yang paling enak adalah sate dagingnya, karena dagingnya betul-betul disajikan tanpa lemak. Berbeda di tempat-tempat lain bahkan di Jakarta. Mengingat Alvin dan Ndaru, saya menolak ajakannya. Dan saya sarankan untuk mencari tempat makan yang lain. Akhirnya siang itu kami memutuskan untuk mencoba mencicipi lumpia yang terkenal di Semarang. Luki mengarahkan kami kembali ke daerah pecinan, tetapi kali ini di sebuah jalan bernama Gang Lombok. Sambil makan, Luki memberitahu bahwa ejaan yang benar untuk lumpia adalah Lun Pia yang berarti Kue (Pia) Naga (Lun). Pada kedai itu, tertulis Lun Pia Rasa Boom. Dan lagi-lagi Luki menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Boom adalah rebung.
Persis di sebelah kedai Lun Pia itu, berdiri sebuah kelenteng tua. Bangunannya terbuat dari kayu hitam bulat. Bahkan pada pintunya terdapat bentukan dari kayu juga yang berfungsi untuk menahan banjir. Semacam palang pintu tetapi diletakkan di bagian bawah kusen. Saya dan teman-teman pun masuk ke dalam kelenteng tersebut. Kebetulan hari itu tidak ada yang sedang beribadah di sana. Klenteng tampak lengang hanya ada beberapa orang yang tengah mempersiapkan sesaji dan semacam kertas yang dilipat-lipat. Di tembok bagian kanan, saya tergelitik untuk mengabadikan sebuah pualam yang dipahat dengan tulisan : Anggaplah hidup kita itu sebagai impian, sulapan, pelembungan busa, bayangan, embun atau kilat.
Pada bagian depan klenteng itu, terdapat sebuah miniatur kapal yang cukup besar. Miniatur itu terletak pada sebuah sungai kecil. Konon, kapal laksamana Cheng Ho itu dahulu kala bisa berlabuh hingga daerah ini, dengan kata lain sungai kecil itu dahulunya adalah sebuah sungai yang besar.
Berhubung masih ada kegiatan lain di Pasar Bulu yang harus kami kerjakan, maka tur singkat di klenteng tua itu berlangsung singkat. Salah satu bagian yang saya suka pada klenteng tua itu adalah diorama patung-patung keramik kecil yang menceritakan tentang darma. Sayangnya di beberapa tempat diorama unik, karena bentuknya mirip ukiran pada selembar papan kayu yang tidak terlalu tebal itu, telah mengalami beberapa kerusakan seperti hilangnya kepala beberapa tokoh.
Hari berikutnya, setelah malamnya kami kecewa karena tidak bisa menemukan Nasi Ayam Yu Sri yang terkenal itu gara-gara kekeraskepalaan Ndaru, kami berada di Pasar Jatingaleh. Luki sudah duluan pulang ke Jakarta juga tadi malam, karena ada urusan keluarga. Lokasi pasar ini cukup dekat dengan Universitas Diponegoro. Kedekatan lokasi ini menyebabkan kami bisa mampir sebentar ke salah satu warnet untuk memperbaiki logo produk untuk perlengkapan acara. Setengah hari itu benar-benar kami habiskan di sana, karena di Pasar Jatingaleh itu acara hanya boleh berlangsung hingga pukul 3 siang. Setelah selesai acara, malamnya kami jalan-jalan di daerah simpang lima. Menjelang pukul 10, tiba-tiba saya teringat seorang teman yang ada di Semarang. Saya iseng mengontak dia lewat pesan pendek. Tak disangka teman itu, Temuzin, menyatakan siap untuk mengantar ke mana saja kami ingin pergi. Kira-kira lima belas menit dia sudah sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan yang menjual “seafood” tempat kami makan.
Akhirnya, atas saran dia berhubung tak banyak tempat yang buka sampai larut malam di Semarang, kami sampai kembali di daerah Pecinan. Saya dan teman-teman cukup kaget karena ternyata di Semarang kami bisa menjumpai satu ruas jalan yang ditutup ketika sore hari untuk dijadikan semacam flea market atau pasar malam. Mirip Kiya-kiya di Surabaya. Menurut Temuzin, pasar malam dadakan ini hanya berlangsung di hari Sabtu dan Minggu saja. Setelah cukup lama kami berbincang tentang sejarah Semarang, Wali Sanga, Cheng Ho, kehampirkalahan kekaisaran Ming oleh bangsa Tartar dan Pramoedya Ananta Toer dengan Temuzin yang ternyata penyuka sejarah ini, dan setelah dua mangkuk es durian kami tandas, kami pun berpisah pulang. Temuzin berjanji akan menjemput kami di Pasar Babadan, Ungaran dan mengantarnya ke Bandara esok harinya.
Hari ke tiga, dalam perjalanan ke arah Pasar Babadan Ungaran, saya dan Alvin diberitahu Ndaru keberadaan sebuah pagoda, yang konon terbesar di kawasan Asia Tenggara. Tak jauh selepas keluar Kota Semarang, di sisi kiri jalan tampak mencuat atap runcing pagoda yang keemasan. Alvin meminta Ndaru untuk mampir sebentar di situ. Pagoda itu tampak bersih. Dari pelataran parkir menuju pagoda ada sebuah pohon yang di sana disebutkan pohon bodhi berasal dari seorang bikshu. Saya sempat mengabadikan patung budha di dekat pohon itu, dan sebuah patung dewi kwan Im. Saya dan Alvin saling mengabadikan diri di tangga pagoda, sebelum kami naik ke bangunan pagoda dan bertemu seorang lelaki tua yang baru selesai beribadah. Ketika kami bertanya apakah bisa memotret isi pagoda, lelaki tua itu berkata,”Silakan memotret, tetapi resiko ditanggung sendiri. Coba kalian potret di malam hari juga. Lalu bandingkan kedua potret itu.” Alvin merasa terganggu dengan amar lelaki tua itu. Dia mengajak saya agar segera pergi.
Di dalam mobil kami berkelakar tentang amar lelaki tua itu, tentang perbedaan potret malam hari dan siang hari. Saya rasa Alvin sama seperti saya tidak percaya pada hal-hal yang berbau tahayul. Meskipun untuk soal Lawang Sewu, dia mengaku tidak berani, takut kesurupan, dan diikuti hantu dari sana.
Pukul tiga sore, kami sudah dijemput oleh Temuzin di Pasar Babadan. Dia mengajak kami makan yang ringan-ringan saja. Akhirnya kami “wisata kuliner” sebentar sebelum pulang, dimulai dari Sate Suruh di daerah Sriwijaya. Ketika teman saya yang lain menelepon untuk sekedar bertanya saya berada di mana, saya salah sebut dengan daerah Siliwangi. Bukan rahasia bahwa sejak Perang Bubat hampir bisa dipastikan tidak ada nama jalan Siliwangi di daerah Jawa Tengah / Timur sebagaimana tidak ada nama jalan Diponegoro di kota-kota di Jawa Barat. Sate Suruh ini berasal dari daerah Klaten. Setelah mencicipi ternyata kental sekali rasa balutan rempah-rempahnya, juga dengan bumbu sambalnya. Mungkin ini kelebihannya.
Setelah sedikit kenyang, kami mampir ke sebuah toko es krim yang menurut Temuzin sudah sangat lama berdiri. Dulu toko ini menjadi ajang bermain anak-anak usia SD karena di bagian atasnya ada mesin permainan dan mainan lain berbentuk mobil, kuda, dan sebagainya yang bisa dinaiki. Cukup puas mencicipi menu pencuci mulut, kami melanjutkan belanja Lun Pia di jalan Mataram. Temuzin mengatakan Lun Pia Mataram juga tak kalah terkenalnya dengan Lun Pia Gang Lombok. Akhirnya setelah mampir di beberapa tempat seperti Ayam Bakar Tulang Lunak di Jagalan, dan Toko Oleh-oleh Bonafide, kami pun dibelokkan ke arah Kelenteng Sam Po Kong.
Hanya saya dan Temuzin yang sangat antusias memasuki Kelenteng terbesar di Semarang ini, karena Alvin disibukkan dengan panggilan tugas di telepon genggamnya. Kelenteng Sam Po Kong juga sering disebut sebagai Gedung Batu. Kata Sam Po sendiri juga merupakan ucapan untuk Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang dulu pernah menjadi Kasim San Bao (dalam dialek Fujian menjadi San Po / Sam Po) atau sering disebut orang sebagai Sam Po Tay Djien. Kelenteng ini terletak di daerah Simongan.
Seingat saya ada empat bangunan utama di kelenteng Sam Po Kong. Bangunan pertama adalah ruang ibadah terbesar. Bangunan kedua adalah makam Wang Jinghong yang oleh lidah orang Jawa disebut Dampo Awang. Di sebelahnya adalah makam Juru Masak Armada itu yang disebut oleh orang Jawa sebagai Kyai dan Nyai Tumpeng. Dan bangunan ketiga adalah tempat diletakkannya jangkar Kapal Cheng Ho. Sedangkan bangunan terakhir tidak kami masuki karena dikhususkan untuk ibadah. Di sekitar bangunan itu ada gua bawah tanah, dan sumur yang dikeramatkan.
Di tembok keliling dipasangi plakat pualam yang berisikan kisah-kisah pelayaran Cheng Ho. Beberapa di antaranya sudah copot dan pecah dari tembok. Beberapa kisah yang sempat kami diskusikan adalah asal usul Palembang yang dulu disebut Ba Lin Bang, dan tunduknya Majapahit pada kekaisaran Cina di akhir masa kehancurannya. Hal ini jarang sekali diungkap oleh guru sejarah di sekolah, bahwa pada suatu waktu dahulu Indonesia pernah berada di bawah kekuasaan kekaisaran Cina, dan dari mereka lah kita bisa menemukan beberapa hal lain semacam kenapa orang Palembang, orang Dayak, orang Manado banyak yang mirip orang Cina. Salah satu kunci jawabannya ada di Pecinan Semarang.
Dedy Tri Riyadi
Comments