Resensi Buku : Harga Sebuah Hati

MENYIKAPI KEBOHONGAN-
KEBOHONGAN YANG NYATA



Judul Buku : Harga Sebuah Hati
Penulis : Tias Tatanka, dkk.
Penerbit : Akoer
Harga : 27.900
Tebal :142 hal.

Pagi mantan remaja 80-an seperti saya, nama Gola Gong tentunya sudah tidak asing lagi. Lewat serial cerita pendeknya Balada Si Roy di majalah Hai kualitasnya sebagai penulis cerita pendek bahkan novel sudah tidak diragukan lagi. Medio 2007 saya akhirnya baru sempat berjabat tangan dengan dia di sanggarnya yang dikenal sebagai Rumah Dunia. Di sana pula saya mengenal beberapa nama yang dikenal sebagai penyair dan ternyata menyumbang naskah cerita pendek di dalam buku ini.

Buku ini punya tujuan yang mulia, yakni menggalang dana demi kelangsungan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh Rumah Dunia di Serang. Serang merupakan daerah yang tergolong unik dari sisi bahasa di tataran Jawa Barat. Di samping itu, gambaran sebagai daerah yang sedang berkembang pun dapat dirasakan dari kultur kehidupan masyarakatnya. Hal ini tergambar jelas di dalam buku Harga Sebuah Hati. Bermacam-macam kehidupan kaum marjinal diketengahkan seperti kehidupan pemulung (Harga Sebuah Hati), tukang becak (Si Dul Ingin Sekolah), calon tenaga kerja migran (Diantar Kematian), dan karyawan kecil (Baju Baru Buat Lebaran, Seroja, Bandot).

Dari sisi tema, meskipun mayoritas settingnya di ambil dari keluarga kelas menengah, ternyata tidak menimbulkan keseragaman. Persoalan kemiskinan memang masih menjadi hal yang kuat, tetapi di sisi lain ada beberapa hal yang coba ditarik oleh para penulis seperti korupsi (Baju Baru Buat Lebaran), cinta (Seroja), dan kejujuran (Harga Sebuah Hati).

Gola Gong sendiri menuliskan tentang ketegaran hati seorang perempuan (Tiga Lelaki yang Memberiku Cahaya) menghadapi kemalangan yang menimpa dirinya. Menilik bahasa yang dipergunakan dalam cerita ini, sepertinya Gola Gong sudah mengarahkan pandangannya ke hal-hal yang religius. Meskipun sifatnya masih sangat universal.

Harga Sebuah Hati, cerita pendek yang sekaligus menjadi judul buku ini sebenarnya kurang begitu kuat konfliknya. Pribadi remaja Ntong yang dari awal diteropong jiwanya ternyata tidak diselesaikan dengan baik oleh si penulis ketika Bapaknya, seseorang yang sangat dipercaya olehnya, berusaha menutupi perbuatan jahatnya. Perubahan rasa percaya kepada rasa benci tergambarkan sangat samar, padahal itu adalah klimaks dari cerita ini.

Secara pribadi, saya lebih senang dengan ending cerita Baju Baru Buat Lebaran yang ditulis oleh penyair kawakan Totok St. Radik. Perang batin Mustaqim tersampaikan dengan baik. Sehingga ketika dia memutuskan untuk berbelanja bersama istri dan anak-anaknya, saya sebagai pembaca sangat memaklumi keputusannya.

Seperti saya utarakan di awal, bahwa tidak melulu hal yang berhubungan dengan buku ini merefleksikan kehidupan masyarakat pinggir kota. Ada hal yang cukup menarik juga telah diangkat oleh Wangsa Nestapa yaitu bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Menghindarkan mereka dari pengaruh-pengaruh yang tanpa kita sadari sesungguhnya meracuni daya nalar anak-anak. Setidaknya, lewat buku ini pembaca bisa ikut merasakan bagaimana sastrawan-sastrawan Serang menyikapi kebohongan-kebohongan yang nyata yang juga berada di sekitar kita.


Dedy Tri Riyadi

Comments