Friday, July 06, 2007

SEEKOR ANJING BERNAMA TOM

“Kamu suka dia?”

Aku tak segera menjawab pertanyaan dari teman lama ibuku. Kulihat lagi binatang kecil yang sekarang dalam pelukan kedua lenganku. Air mukanya tampak gembira. Ada dua buah bulatan coklat muda di atas sepasang matanya. Sangat kontras dengan warna bulu di sekujur tubuhnya yang didominasi oleh warna hitam. Seperti ada sepasang mata yang lain di atas sepasang mata yang sebenarnya. Orang menyebutnya sebagai ‘mata setan’.

Konon, seekor anjing yang memiliki tanda ‘mata setan’ ini mempunyai naluri yang lebih ganas dibanding anjing lainnya. Tapi aku tak percaya hal seperti itu. Aku menyukainya karena dia bersikap lebih terbuka terhadap aku dibandingkan kedua “saudara”-nya. Dia lebih bersahabat. Dan aku tahu, jika anjing sudah memulai sikap bersahabat dia sudah menganggap kita sebagai teman dan majikan yang baik. Ya, tentu saja aku menyukainya.

Setelah pertemuan pada sebuah sore dengan teman lama ibuku, kini aku mempunyai seekor anjing yang kuberi nama Tom.

+++

“Kamu suka dia?”

Aku tidak mendengar apapun dari celah bibirnya yang terbuka. Matanya masih memandang ke arah Tom yang bermain mengejar dan menabrak segala sesuatu di halaman. Tom sedang bergairah dengan naluri liarnya.

Dia menoleh ke arahku. Lalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang mengalir lancar dari bibirnya, “Apakah kamu tidak pernah mendengar tentang toxoplasma?”

Hei, apa maksud dari pertanyaannya itu? Apakah ini memang berarti dia begitu sayang dan perhatian kepadaku? Atau dia memang tidak suka dengan Tom, anjingku? Dengan ragu-ragu aku membalas pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan lain, “Ya. Aku tahu. Apakah pertanyaanmu ini berarti kau mengkhawatirkan aku?” Sementara di dadaku, aku bersiap untuk mendengar beberapa buah alasan, selain toxoplasma tadi, kenapa dia tidak menginginkan Tom di sekitarku setiap hari.

Dia hanya tersenyum, mengulur tangannya untuk kemudian meletakkan kedua belah telapak tanganku menangkup di dalam sepasang telapak tangannya. Ada rasa hangat tercipta dari peristiwa itu dan menjalar hingga hatiku. Walau demikian aku masih harus waspada pada keputusannya. Konon, lelaki akan lebih banyak menampakkan sifat egoisnya pada saat menjelang hari pernikahan.

Aku dan lelaki yang tengah menggenggam tanganku sudah merencanakan sebuah pernikahan. Bahkan kami sudah membicarakan siapa yang akan pindah sebab aku sudah punya rumah mungil dengan halaman yang cukup luas, sedangkan dia sudah punya sebuah apartemen. Sasongko, meskipun dia cukup mapan, ternyata mau berpikiran lebih terbuka untuk menyewakan apartemennya dan pindah ke rumah mungilku nanti jika kami menikah. Alasannya, dia ingin suasana yang lebih seperti masa kecilnya dulu. Rumah mungil, yang merupakan dunia kecilku selama ini, akan mengabadikan kekasihku dalam setiap jengkal ruangnya nanti.

“Aku alergi,” bisiknya di dekat lubang telingaku.

+++

Siapa bilang hanya laki-laki yang punya anak kecil di dalam dirinya? Menikah bagi perempuan seperti aku seperti mengekang beberapa keceriaan yang dulu sering aku bebaskan. Dulu, Tom tidak ambil peduli dengan aku yang mondar mandir hanya mengenakan sehelai daster di seluruh ruangan rumah, tapi kini Sasongko selalu mempermasalahkan penampilanku.

Tapi yang lebih sedih, sebenarnya, Sasongko berhasil menjauhkan Tom dariku. Sebenarnya ada rahasia yang Sasongko tidak tahu soal Tom. Hal ini dikarenakan sebagai seorang yang merantau semenjak remaja, tercabut dari akar lingkungan keluarga dan pertemanan masa kanak-kanak, aku kehilangan banyak sekali teman yang bisa kuajak bicara soal-soal pribadi. Di kantor, aku lebih suka menumpahkan segala uneg-uneg dengan menulis pada sebuah blog di dunia maya. Aku malas menulis pada sebuah buku harian. Terlalu kekanakan, kupikir. Aku sangat beruntung mempunyai Tom. Sambil berbaring di depan televisi dan memainkan kakiku pada tubuh Tom yang tergeletak di lantai, aku bisa menceritakan apa saja. Termasuk soal Sasongko. Tom, tentu saja karena dia seekor anjing, tidak akan berlebihan bereaksi terhadap nada bicaraku. Kecuali aku sudah bertingkah tidak wajar, seperti menghamburkan ‘snack’ yang sedang kukudap atau melemparkan majalah yang sedang kubaca ke sudut ruang. Tom hanya menyalak beberapa kali, lalu terdiam lagi.

Katanya menikah harus benar-benar berbagi dengan suami, segala sesuatu yang kita rasakan. Tetapi rasanya tidak bisa begitu juga. Belum sempat aku bercerita, Sasongko sudah meminta dibuatkan segelas kopi, atau ketika dia sedang berhasrat kepadaku tak ada sesuatu pun yang bisa aku ceritakan kepadanya. Bercinta memang bisa melepaskan ketegangan, tetapi kadang aku merasa itu tidak melulu sebagai cara yang kuinginkan. Sasongko lebih sering bercerita ini dan itu kepadaku tanpa memperhatikan aku sedang melakukan sesuatu. Dan dia melakukan itu seakan-akan tidak menggangguku. Jika sudah begini, yang kulakukan adalah membuka pintu belakang dan memandang ke arah kandang Tom.

“Jangan mendekatinya lagi Ren,” cegah Sasongko.
“Ya, aku tahu kamu alergi. Aku cuma merasa kangen saja sama dia,” dengan enggan aku menoleh ke arahnya yang kupunggungi di meja makan.
“Bukan hanya itu, tapi…”
“Ya, toxoplasma juga,” buru-buru aku memotongnya. Lalu memandangi perutku yang masih tetap langsing. Padahal ini sudah bulan ke sepuluh sejak kami menikah. Sasongko pernah menyuruhku untuk memeriksakan diri. Tepatnya termasuk dirinya juga, protesku waktu itu. Aku tak mau menjadi pihak yang lemah dan tertuduh pada satu kesempatan. Aku sangat yakin bahwa Tom itu “bersih”. Memandikan, memangkas bulu-bulunya di salon hewan, serta mengajaknya ke dokter hewan adalah kesenangan yang sengaja aku siapkan untuk melepaskan kepenatan bekerja di awal bulan. Dan itu memang benar-benar menyenangkan bagiku. Aku pikir Sasongko tidak pernah merasakannya. Sasongko banyak disibukkan dengan urusan-urusan pekerjaan dan lobby bisnis untuk memperbesar perusahaannya.

Dengan tetap memandang ke arah kandang Tom dan tanpa menoleh lagi kepada Sasongko aku yakin mata Sasongko sudah geram terhadap pemberontakanku. Aku tersenyum sendiri. Membayangkan ada semburat merah di matanya mirip dengan mata Tom yang berkilat kemerahan. Aku menyukai Tom karena tatapan matanya yang kelihatan galak. Mungkin jika aku membalikkan badan dan melihat ke arah mata Sasongko, aku yakin pemberontakanku kepadanya akan kulantakkan sendiri. Untunglah aku tak melakukannya. Kekecewaanku pada situasi yang menjepit sifat egoisku memaksaku untuk tetap memandang ke arah kandang Tom.

Yang aku tahu kemudian, kepala Sasongko berada dekat sekali dengan urat leherku. Antara masih ingin mempertahankan kekosongan dalam batinku dengan menanggapinya, aku membayangkan ciuman yang dilakukan Sasongko di kulit leherku adalah bujukan pangeran Drakula. Di balik kandangnya, Tom menyalak. Aku melihat kilatan tajam taringnya. Khayalanku tentang drakula semakin lengkap. Ludah Sasongko yang membekas, kubayangkan sebagai darah yang menetes perlahan dari urat nadiku. Aku bergidik jelas bukan karena terangsang. Aku yakin sekali warna hitam yang berkelebat adalah pintu belakang yang ditutup dengan sebelah tangan oleh Sasongko, tapi kemudian yang terjadi adalah hal yang berbeda, sebuah bantal jatuh menutupi sebagian wajahku. Sejak membayangkan dibunuh oleh pangeran Drakula, aku lebih khusyu untuk menutup mataku.

Paginya, aku lihat Sasongko sudah lebih dahulu bangun. Sedang aku baru meregangkan tangan, mencoba bangkit dari kasur.

“Kopi, Sayang?” Dia meletakkan secangkir kopi dalam nampan di atas pangkuanku
“Hei. Ada apa ini?”
Pertanyaanku dijawabnya dengan kecupan di kening. Manis sekali.
“Tak ada apa-apa. Aku menikmati percintaan kita semalam.”
Wow. Aku juga. Terlebih karena aku membayangkan rayuan pangeran Drakula. Konon, setelah dihisap darahnya, korban Drakula akan semakin tambah rasa cintanya kepada Sang Pangeran. Aku pun tersenyum memikirkan hal bodoh semacam itu.

Sasongko sudah bersiap untuk berangkat kerja. Di depan cermin, dia mematut dasinya supaya tidak miring. Matanya masih berbinar. Aku curiga dia menyimpan sebuah rahasia. Setidaknya sebuah rasa kemenangan atas pemberontakanku yang sia-sia. Namun kecurigaanku tampaknya sangat tidak beralasan, buktinya dia membawakan sarapan ke atas pembaringan ini.

“Aku berangkat ya. Baik-baik di rumah,” tangannya juga seakan ikut berpesan dengan menjamah rambutku yang masih awut-awutan. Aku hanya mendongak ke arahnya sambil tersenyum senang sebelum meraih cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Sedingin tubuhku yang merasakan kehampaan mulai membayang di atas kemesraan yang rasanya semakin semu. Setelah dia pergi, rumah mungilku seakan bernafas lega. Aku bisa dengan leluasa memandangi halaman depan dari jendela kamarku. Halaman depan rumah mungilku lumayan luas. Aku sengaja membeli rumah mungil dengan halaman luas karena aku bisa merasa membutuhkan ruang tertutup lebih sedikit dibandingkan keinginanku yang masih ingin bisa banyak beraktifas di luar ruangan. Aku senang bunga-bunga liar yang tumbuh di sela-sela rerumputan. Ada keindahan yang tiba-tiba muncul. Bunga-bunga liar itu kerap mendatangkan kupu-kupu entah darimana asalnya. Dan kupu-kupu itu selalu menarik perhatian Tom untuk mengejarnya. Aku selalu merasa terhibur dengan tingkah Tom ketika mengejar kupu-kupu.

Hei! Sudah dari tadi aku melamun, tapi tak terdengar dengking Tom. Biasanya sehabis dikurung dalam kandangnya, Tom mendengking keras tanda ingin diajak berlari di halaman. Walau sebenarnya keinginannya seperti kita juga, melepas hajat di pagi hari. Tom dan aku sama-sama pecinta kelegaan halaman. Kuputuskan untuk kembali melanggar perintah Sasongko untuk mendekati Tom. Kali ini aku ingin mengajaknya jalan-jalan sendiri. Bukan oleh pembantu kami. Aku kangen dengan kenakalan Tom. Sesampai di halaman belakang kulihat Marno, pembantu kami, terpekur di depan kandang Tom.

“Kenapa, No?”
Marno tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ceceran bungkus coklat mahal di sekitar kandang. Kulihat Tom tergeletak. Aku segera merebut kunci ditangan Marno untuk membuka pintu kandang. Tapi Marno tidak mau melepaskannya.
“Tuan bilang Nyonya tak boleh memegangnya,” Marno mencoba menghalangiku.
“Tidak! Biarkan aku tahu apa yang terjadi dengan Tom!” Aku menjerit. Marno semakin erat memeluk dan memegangi tanganku. Yang kulihat dalam mata yang berkabut, Tom terbujur di lantai kandang. Mulutnya terbuka dan lidahnya berbusa lebat.

Jakarta, 6 Juli 2007.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home