Dia menunggu anjing liar itu berhenti tepat di depan rumahnya. Di tangannya tergenggam erat sebuah tongkat. Niatnya sudah bulat jika, sesuai dugaannya, anjing liar itu yang berak di pintu pagar, maka dia tidak segan memukuli anjing liar itu sampai mati. Entah kali yang ke berapa dia menerima keluhan dari tetamu mengenai adanya tahi pada jalan masuk ke arah rumahnya. Dia merasa tersinggung dikatakan tidak dapat menjaga kebersihan tempat tinggalnya. Padahal sudah banyak hal yang dia lakukan untuk memperindah istana kecilnya itu. Mulai dari pembuatan taman yang menghabiskan seluruh hadiah seorang kolega yang diloloskan dalam tender pembuatan jalan, sampai kepada pemberian lampu hias di pagar yang nilainya berpuluh-puluh juta. Semuanya ditujukan agar tetamunya mau dating dan betah berlama-lama di rumahnya.
Oh, kenapa dia tidak percaya kepada petugas keamanan rumah? Biasanya beberapa saat sebelum fajar, petugas keamanan selalu tertidur. Sudah pagi, pikir mereka, siapa yang mau berbuat jahat pagi hari? Sudah dua orang petugas keamanannya dia pecat. Selain dia memang tidak suka pegawai yang tidak disiplin terlebih keduanya sama sekali tidak tahu seperti apa anjing yang suka seenaknya berak di depan pintu pagar. Sekarang dia lebih percaya kepada sebuah kamera di atas tiang telepon yang terhubung dengan kamarnya dan alarm yang dipasang di engsel pintu pagarnya. Jadi setiap ada sedikit saja gerakan yang membuat pintunya bergerak, ada lampu berkedap-kedip merah yang akan memaksa dirinya memeriksa dan memelototi apa yang terjadi di depan pintu pagarnya.
Alarm itu bekerja dengan baik. Suatu malam dia berhasil mengusir gelandangan yang mengantuk ketika mencoba tidur bersandar di pintu pagarnya. Pun kameranya itu sudah terbukti ampuh. Pernah diperintahnya para pembantu untuk berjaga dengan air seember karena dia melihat ada dua ekor kucing jantan sedang menuju pintu pagarnya. Dia tahu jika dua kucing jantan bertemu, pasti ada perkelahian. Dan yang pasti, jika kucing berkelahi itu bisa menimbulkan suara berisik, bulu-bulu yang rontok, dan kucing yang kalah akan terberak-berak karena kena hajar. Dia tidak mau hal seperti itu terjadi di rumahnya, meskipun hanya di halaman.
Anjing itu tampak mendekat. Dia mengendap-endap bangkit dari kursi di mana dia memonitor seluruh gerakan si anjing. Dilewatinya dengan hati-hati ranjang, dia tak mau mengganggu istrinya yang sedang tertidur pulas lantaran tersenggol ujung kakinya atau sekedar tertarik sedikit sepreinya. Ah, sudah lama dia tidak bercinta dengan istrinya. Semenjak dia sibuk mencari tahu apa yang terjadi pada bagian luar pintu pagarnya sendiri. Dia lebih memilih pencarian anjing yang berak di depan pintu pagar sebagai rahasia yang harus diungkap dibandingkan dengan kekurangharmonisan rumah tangganya sendiri. Sudah berulang istrinya mengeluh bahwa dirinya kurang perhatian terhadap perkembangan anak bungsunya yang baru masuk sekolah dasar, juga soal kegiatan keluarga yang sudah jarang dihadirinya. Setelah pintu kamar tertutup kembali, dia berlari.
Sekarang dia sudah berada di belakang pintu pagar sementara dia mendengar suara anjing liar itu semakin jelas. Dia mendengar dengus nafas yang teramat keras. Seperti dengus nafasnya sendiri sehabis menuruni anak tangga dan berlari kecil melintasi halaman untuk sampai di belakang pintu pagar ini. Dari celah bilah papan penutup pintu pagar, matanya menangkap mata anjing itu juga sedang melihat ke arah dirinya. Seekor anjing yang besar.
Tongkat kayu di tangannya terasa basah oleh keringatnya. Dia memejamkan mata, membulatkan tekad dan pikirannya untuk segera membuka pintu pagar lalu memukuli anjing liar itu habis-habisan. Tapi suara dengus nafas anjing itu tiba-tiba hilang. Lagi dia mengintip dari balik celah papan pintu pagar. Astaga! Anjing itu masih ada. Matanya sedang menatap dirinya. Mata bertemu mata. Dia semakin cemas.
Dia mulai berpikir anjing itu sudah tahu bahwa dirinya sering diintip olehnya. Dan mungkin anjing itu juga tahu bahwa hari ini dia sedang diincar untuk dipukuli habis-habisan. Matanya masih melihat lurus ke arah mata anjing itu. Anjing itu diam saja dalam posisi duduk. Baru kali ini dia melihat dengan jelas bagaimana rupa anjing yang dia sangka selalu berak di pintu pagarnya. Anjing itu jenis anjing kampung biasa. Bulunya tipis berwarna cokelat terang. Ekornya melengkung lancip. Meskipun ukurannya lebih besar dari anjing kampung lain namun tetap kurus. Perutnya sedikit buncit. Terlalu banyak sisa makanan dari tempat sampah dilahapnya atau (paling-paling) cacingan!
Namun anjing itu tidak bergerak sama sekali. Dia tidak punya bukti kuat untuk menuduh anjing itu sebagai anjing yang telah kurang ajar berulang berak di depan pintu pagarnya. Tapi keyakinan sudah tak terbantahkan. Dia sudah memonitor anjing itu berhari-hari. Persoalannya adalah bagaimana jika ada orang lewat yang melihat dia memukuli anjing tanpa alasan? Mungkin dia akan disangkanya sebagai seorang gila, atau bahkan psikopat!
Aduh, jangan sampai ini terjadi. Ataukah sebaiknya aku bangunkan petugas jaga yang pemalas untuk menangkap, membawanya ke dalam, lalu menghabisinya di halaman? Tidak. Nanti anakku melihatnya, dia bisa shock! Dahinya berkerut-kerut.
Memang, belum pernah dia merencanakan sebuah pembunuhan. Kalau merancang agar dia mendapatkan sisa dari uang proyek, baru dia jagonya. Pembunuhan yang baik adalah punya motif pembelaan diri, atau tidak ada saksi sama sekali. Jika terpaksa ada saksi, haruslah saksi yang menguatkan bahwa dia tidak merencanakan pembunuhan itu, saksi yang mengatakan memang telah terjadi sesuatu kejahatan yang mengancam nyawanya hingga dia membela diri, atau semuanya benar-benar sesuatu yang bersifat kecelakaan. Tapi tak ada yang bisa membantah betapa bencinya dia terhadap anjing yang suka berak di depan pintu pagarnya. Semua teman, kolega, keluarga, bahkan pegawai-pegawainya tahu jika dia memang sedang mengincar kematian seekor anjing.
Ya, harus ada alasan kuat. Tapi apakah itu? Sesuatu harus terjadi agar anjing itu layak dia bunuh dengan tangannya sendiri. Bukan semata-mata karena anjing itu berak di depan pagar. Perlahan dikeluarkannya anak kunci untuk melepas gembok pada gerendel pintu pagar. Matanya masih mengintip celah pintu pagar, mengawasi setiap gerakan anjing itu.
Pintu pagar terbuka, anjing itu masih tak bergerak sedikit pun. Sama sekali tak ada alasan baginya untuk melakukan pemukulan terhadap anjing itu. Bagaimana jika sekedar dihalau? Ya. Bagaimana? Tapi besok pagi pasti dia datang lagi. Dia yakin sekali. Sebab sudah berkali-kali petugas keamanannya mengusirnya tetapi anjing itu tetap datang kembali untuk meninggalkan setumpuk beraknya di depan pintu pagar.
Sekarang dia dan anjing itu berhadapan. Hampir tak ada jarak di antara keduanya. Anjing itu masih menatap ke matanya. Dia pun tak melepaskan sedikit juga perhatian dari gerak-gerik anjing itu. Dia memainkan tongkat, anjing menggerakkan ekor. Dia menyeringai, anjing itu menggeram. Keduanya saling mengancam.
“Ini rumahku! Pintu pagarku!” Teriaknya dalam hati. Dia mengira anjing itu pun berteriak, “Ini jambanku! Ruang renungku!” Ah, ruang renung! Dia berpikir anjing itu seperti seorang seniman yang membutuhkan sebuah ruangan khusus, waktu khusus untuk menunggu datangnya ide. Menggelikan, bisiknya.
Bagaimanapun, harus ada gerakan dari dia untuk lebih mengancam si anjing. Dia mengangkat tangan. Anjing itu merendahkan pundaknya. Sikap siap menerkam. Bagus, bagus. Akhirnya dia punya alasan untuk membunuh. Dia menurunkan tangannya dengan cepat, anjing itu dengan cepat pula memundurkan badannya. Dia kecewa. Dia harus merangsang anjing itu untuk menyerangnya. Harus!
Setiap pagi, ada mekanisme tubuh yang lucu pada diri seorang laki-laki. Penis akan menegang ketika udara pagi menjelang dan gerakannya tidak pernah dia pikirkan. Sekarang dia punya alasan untuk merangsang anjing itu menyerang! Dia pernah melihat dari kamera anjing itu lahap sekali mengunyah sepotong sosis. Dia tersenyum walaupun sekelebat dia membayangkan suatu peristiwa yang teramat tragis menimpanya. Tapi ini harus dilakukan! Setidaknya dicobanya. Apakah dia sudah kehilangan akal sehat? Entahlah. Yang terakhir aku lihat saat bersepeda pagi, akhirnya dia membuka resleting celananya.
Comments
om dedy sinting....
tokohnya aneh.