Ada Bibir Norah Jones di Cangkir Kopiku

Saat kulihat hari berganti, kuberharap dapat terbang tinggi¹

Jam mungil di lingkar lenganku menunjukkan pukul 17.30. Dan lamat-lamat kudengar alunan lagu “Don’t Know Why” yang dibawakan Norah Jones dalam sebuah kotaklagu yang dimainkan seseorang. Sore yang cerah, bisikku pada jendela kafe tempatku bekerja. Mudah-mudahan akan tetap cerah sampai malam nanti. Cuaca saat ini sangat tak mudah ditebak. Sebentar panas, sebentar hujan. Dua hari yang lalu, aku merasa sedang diberkati.sebab saat pulang kerja kemarin dihadiahi hujan yang begitu deras mengguyur. Dan karena hujan itu, aku bertemu dengannya.

Dia mengaku dirinya sebagai penulis. Pekerjaan yang sulit kataku, tetapi dia bilang sebaliknya, pekerjaanku sebagai pelayan justru pekerjaan yang mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Contohnya adalah soal sebuah senyuman.

“Bagaimana bisa kamu memasang senyuman di bibirmu padahal mungkin dalam hatimu sedang gelisah atau marah?”

Ah, dasar penulis. Bisa saja dia membuat perkataan seperti itu. Tapi dia mungkin lupa bahwa aku adalah pelayan yang setiap hari berhadapan dengan pelanggan atau tamu yang macam-macam maunya. Jadi aku harus bisa menahan perasaanku atas segala bentuk rayuan. Sekedar menjaga diri. Maklumlah hidup di kota besar harus pandai-pandai menahan diri dari godaan. Banyak predikat mudah ditempelkan kepada pekerja perempuan, terutama yang pulang tengah malam sepertiku.

Kami berdiri di teras kafe. Sebenarnya, aku bisa saja masuk kembali ke dalam tetapi entah karena sudah merasa bosan dengan suasananya atau memang kali ini aku ingin melihat butiran-butiran air yang turun dari langit maka aku tidak melakukannya. Namun bukan maksudku untuk menemani dia yang entah sejak kapan berdiri di teras kafe ini.

“Anda menulis puisi juga?” Aku sama sekali tidak ingin melanjutkan pembicaraan dari sudut pertanyaannya tadi. Aku hanya berpikir jika dia mampu membuat kalimat yang seperti tadi semestinya dia bisa menulis puisi.

“Penyair, maksudmu?” Dia balik bertanya. Sesekali dia menghembuskan asap rokok dari bibirnya. Aku teringat ketika sepupuku menikah, keluarganya menyewa seorang pawang hujan. Agar tidak turun hujan pawang hujan selalu merokok dan menghembuskan asap rokoknya ke langit. Tanpa sadar, aku menutup hidungku. Dan mungkin dia segera maklum hingga pada kali selanjutnya dia tak menghembuskan asap rokok ke arahku.

“Aku tidak tahu bedanya penyair dan penulis puisi. Tapi apakah anda menulis puisi juga?”

“Tidak. Penyair dan penulis puisi tidak ada bedanya. Aku tidak menulis puisi.”

“Tapi anda bisa membuat kalimat yang indah tadi,” sergahku.

“Puisi tidak sekedar berbahasa indah,” dia berhenti bicara sebentar dan membuat gerakan tangan yang aku tangkap sepertinya dia sedang ingin menanyakan namaku.

“Indah,” sahutku datar.

Dia tersenyum dan mengulurkan tangan hendak menjabat tanganku. Padahal kedua tanganku sedang kupergunakan mendekap lenganku yang mulai kedinginan. Mulutnya nyaris terbuka namun aku segera berkata yang sekiranya dapat mengatupkan kembali kedua bibirnya.

“Jangan bilang kalau namanya seindah orangnya, ya?”

Dia tersenyum lebar. Geliginya tampak berderet putih ditimpa sinar lampu papan iklan. Lalu senyumnya pun berubah menjadi sebuah derai tawa panjang. Menghangatkan suasana malam.

“Hampir saja saya bilang begitu, tetapi sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa namamu sederhana namun punya makna yang kuat.” Matanya seperti punya daya hentak di dadaku. Sorot matanya berbinar setiap dia mengucapkan kata. Dan jantung di dadaku berdetak lebih kencang setiap kulihat matanya. Hingga rasanya lebih baik aku segera melompat melintasi langit dan hujan dan meninggalkan dirinya sendiri di teras kafe ini.

Biarkan aku bersimpuh di pasir, menangkup tangisan dengan tangan²

Dia menghisap rokoknya kembali sebelum terbatuk dan membuang puntungnya secara sembarangan ke tengah badan jalan yang basah oleh genangan air hujan. Dari saku jaketnya, dikeluarkan selembar saputangan. Ada selembar foto yang terjatuh berbarengan dengan tercabutnya saputangan itu. Aku berusaha membantu menangkapnya tetapi kalah sigap dengan tangannya. Yang mengherankan dia langsung menyerahkan foto itu di telapak tanganku yang tadi gagal menangkapnya.

“Tak ada rahasia. Ini foto kekasihku.” Sebelum aku sempat memandangi wajah di dalam lembaran foto itu, dia meralat ucapannya. “Mantan.”

Hanya ada “o” panjang keluar dari antara kedua bibirku sambil aku menajamkan pandangan agar wajah di dalam foto itu terlihat jelas dalam suasana malam berhujan.

“Cantik. Kenapa putus?”

Aku bertanya asal saja.

Karena tak ada jawaban maka kuulangi lagi.

“Dia memutuskan ikatan?”

Masih diam.

“Atau…”

Waktu kulirik dia masih menutup mulutnya dengan saputangan. Mungkin karena parah sakit batuknya, ada dahak bernoda darah di dalam lipatan saputangannya. Dan dia tak mau orang lain tahu. Termasuk mantan kekasihnya.

“Sudah berobat?” Aku kembali memberanikan diri bertanya kepadanya. Dia hanya mengangguk. Punggungnya ikut bergerak. Tak lama kemudian dia melipat saputangannya dan memasukkan kembali ke saku jaketnya.

“Mana?” Tangannya diulur meminta kembali foto yang tadi diberikan kepadaku.

“Kau masih mau mengenangnya?” Kuulurkan juga foto tadi. Sebenarnya aku ragu untuk bersinggungan dengan tangannya mengingat soal batuk tadi. Akibatnya tanganku sedikit gemetar.

“Aku ingin menjawab satu persatu pertanyaanmu.”

Aku hanya menghela nafas panjang. Sepertinya malam akan semakin panjang bagi kami di teras kafe ini. Apalagi hujan belum kunjung reda.


Tetapi kau tetap di dalam hatiku, selamanya³

“Dia tak pernah ada untukku,” ujarnya kembali memulai pembicaraan yang terhenti.

“Apakah itu bukan alasanmu saja?”

“Kami dulu satu jurusan di sebuah fakultas dan saling mencintai. Aku menulis sedangkan dia aktif di pementasan drama. Kami banyak diskusi tentang apa saja setiap bertemu. Dia seorang wanita yang cerdas, semakin hari semakin kagum aku padanya. Hingga akhirnya setelah lulus kuliah aku masih menulis sedangkan dia selain menjadi juru bicara sebuah organisasi juga menjabat PR sebuah perusahaan.”

“Jadi dia meninggalkanmu?”

Kali ini dia yang menghela nafas panjang. Merogoh kembali saku tempat dia menyimpan foto tadi, mengeluarkan kembali foto itu dan tanpa dilihatnya diremasnya menjadi sebuah bola kertas.

“Tidak, aku yang meninggalkannya,” dia berkata sedikit teriak sambil melemparkan jauh-jauh bola kertas dari tangannya.

“Aku tidak mengerti,” aku berkata datar sebagaimana aku juga tidak mengerti kenapa harus ada pembicaraan seperti ini.

“Aku merasa dia sudah menjauh dariku. Di pikirannya tak ada lagi aku. Tak ada lagi waktu untuk bisa berdiskusi panjang dengannya lagi. Dan dia pun sama sepertimu tadi waktu kamu bertanya – Sudah berobat? – dia sudah bukan lagi dia yang kukenal dulu. Lalu terpikir begitu saja, aku harus memutuskan menjauh darinya.”

“Apakah kau yakin dia sudah melupakanmu?”

“Entahlah, tapi aku yang merasa sudah hampir bisa melupakannya.”

Hujan sudah reda. Dia merapatkan jaketnya dan sepertinya bersiap melangkah. Aku pun melakukan hal yang sama, merapatkan peluk jaket di badanku. Yang aku heran, dia sepertinya tak lagi memperdulikan keberadaanku, langsung melangkah menerjang sisa gerimis.

“Hei! Siapa namamu?” Aku berteriak antara sebal melihat tingkahnya itu dan penasaran.

Dia berbalik dan menatapku. Kurasakan pandangan matanya kembali membuat irama hentakan di dalam dadaku.

“Besok sore, menjelang matahari tenggelam, aku akan datang ke kafe-mu,” di bibirnya terulas satu senyuman manis. Entah apa maksud senyum itu.

Itulah sebabnya sekarang aku memandangi jalanan dari jendela kafe. Mengharapkan seseorang, dengan seulas senyum yang penuh arti dan sorot mata yang menghentak di dadaku, datang kembali.


Jakarta, Juli 2007.

¹-²-³ = Terjemahan bebas dari petikan lirik “Don’t Know Why – Norah Jones

Comments