Thursday, November 02, 2006

Mata Merah, Mati Marah

"Dia belum tidur-tidur juga?", Ibu bertanya padaku perihal bapak yang masih terjaga.
"Sepertinya dia memang tidak pernah tidur". Sudah lama aku selalu mendengar suaranya. Siang sampai siang lagi. Tak pernah berhenti.
"Kenapa ya dia berlaku seperti itu?"
"Ibu tidak tahu? Seluruh peristiwa yang terjadi, sepertinya menjadi urusannya"
"Yang pasti, dia telah lupa sesuatu!"
"Apa itu?"
"Tidur!"

Aku dan Ibu berdebat soal bapak yang mondar-mandir di depan televisi. Kegelisahan
senantiasa terpancar dari gerakan yang dibuatnya. Entah itu dari caranya melipat sarung, atau gerakan jemarinya yang mengepal dan membuka seperti memompa sesuatu. Aku cemas dengan hal itu. Sebab waktu aku hendak donor darah, suster di rumah sakit memintaku untuk mengepal dan membuka telapak tangan, katanya biar darahnya mengalir lancar. Aku cemas darah bapak akan terus menerus mengaliri sekujur tubuhnya bahkan meledakkan jantungnya sendiri.

"Mata bapak merah lho". Aku beranikan diri untuk menegurnya.
"Namanya juga kurang tidur, Yon. Aku juga merasakan mataku perih".
"Kenapa bapak tidak tidur saja?"
"Tidur? Aku tidak akan tidur lagi, Yon".
"Tiap orang perlu istirahat pak. Jangan paksakan diri!", protesku.
"Aku sudah banyak menghabiskan masa istirahatku. Sekarang saatnya berjaga-jaga!"
"Memang mau ada apa pak?", aku semakin tak mengerti.
"Kamu tidak akan tahu kalau tidak mengalami sendiri".
"Apa itu? Mimpi?"
"Bukan. Tetapi suara peringatan".
"Bapak tidak tahu siapa yang memperingatkan bapak?"

Bapak hanya menggeleng perlahan. Matanya tampak membara ada rasa sakit dan marah terpancar . Aku lihat urat-uratnya begitu nyata. Bapak seperti mayat berjalan.

Ibu membuat susu hangat. Katanya itu obat mujarab untuk orang insomnia. Segelas besar, biar bapak cepat "tepar". Dengan senyum manis, seperti biasanya, ibu mendekati bapak. Dipeluk dan dicium tangannya. Sebenarnya ibu dari beberapa hari lalu sudah mencoba meluluhkan penjagaan bapak yang terlalu. Dia tidak ingin suaminya menjadi orang yang aneh bagi kehidupan rumah tangga ini. Tapi sampai sekarang dia belum pernah bisa menjadikan bapak sebagai seorang yang wajar menurut pemikirannya.

"Minum dulu pak susunya. Mumpung masih hangat".
"Aku tidak sedang haus bu, nanti saja".
"Apa perlu aku buatkan kopi?"
"Tidak usah bu, aku cuma tidak bisa tidur saja. Tidak ada masalah besar".
"Itu masalah besar, pak", ibu mulai berterus terang memprotes bapak.
"Bapak tidak ingin aku jadi janda kan?"
"Ibu ini apa-apaan sih? Justru aku ini berjaga dari segala kemungkinan yang ada!", bapak mulai meninggi.
"Memangnya bapak dengar apa sih?"
"Suara peringatan untuk senantiasa berjaga-jaga".
"Bapak tidak tanyakan kembali siapa yang meminta?"
"Aku yakin itu suara suci". Datar bapak bicara.

Kali ini kami semua diam. Tak ada lagi yang mau untuk bicara. Dunia pun seperti menghentikan laju detik-detik jam tua di sudut ruangan. Aku hilang akal. Ibu pun demikian. Bapak tak dapat ditahan. Kemauannya sudah sedemikian keras. Kami hanya bingung bagaimana fisik bapak yang sudah tua itu mampu di “forsir” demikian.

+++

Mata ibu merah. Sudah seharian dia menangis. Kelopak matanya sembab hingga kurasakan hawa di dekatnya pun jadi lembab. Sekarang aku yang kena giliran jaga, sebab fisik ibu tampak lemah. Kematian Bapak, meskipun kami selalu mewaspadainya lantaran dia tidak mau tidur, terjadi dengan cara yang tidak pernah kami perkirakan. Saat itu kami sedang makan malam, dia tiba-tiba berdiri.
"Mau kemana pak?"
"Ada suara ketukan, kalian tidak dengar? Sepertinya ada tamu".
Aku dan ibu berpandangan. Kami tidak mendengar apa-apa.
Belum tegak dia berdiri, matanya terbelalak lebar dan tubuhnya kejang. Kami segera menghambur ke arahnya.
"Kenapa pak?", tanya kami bersamaan. Berulang-ulang.
"Kenapa kalian menipu aku?!", teriaknya.
Aku dan ibu kembali berpandangan. Siapa yang dibilang telah menipu bapak? Kami? Menipu apa?

Sebelum semua itu terjawab, tubuh bapak limbunng. Tangan kami cepat menangkap tubuhnya sebelum dia terjatuh.

Saat itu, Bapak kelihatan dalam keadaan marah sekali. Tetapi kami tak pernah bisa mengerti sampai hari ini apa yang telah membuatnya begitu marah. Tak berapa lama, dia sudah tak bernyawa. Ibu pun meraung sejadinya. Aku mengguguk menahan sengguk. Dalam hati berkecamuk. Pertanyaan kami tak pernah lagi bisa dijawab. Aku pun menaruh dendam. Entah pada siapa. Yang jelas bukan pada Tuhan yang di tanganNya sudah digenggam nyawa bapak untuk dibawa pulang. Ah, aku tak mau berpikiran sejauh itu, malam ini biar aku tenangkan ibu sebelum melapor ke ketua RT dan mengabari tetangga.

Mata ibu masih merah, bahkan setelah wajahnya memucat putih, mata itu semakin kelihatan merah. Seperti api yang sedang membakar langit malam. Menyala-nyala. Aku sampai harus menundukkan pandangan jika dekat dengannya.

"Bu, sudah malam. Tidurlah…", pintaku.
Ibu hanya menggeleng pelan.
"Kasihan bapak, dia tidur sendiri di kuburnya yang sunyi"
Aku bergidik mendengarnya. Kumohon pada Tuhan agar ibu bisa bertahan.
"Bapak sudah pulang ke rumah yang tenang. Ibu harus ikhlaskan dia", kucoba untuk menenangkan pikirannya. Meskipun aku tahu ibu takkan pernah bisa tenang. Ada hal yang ingin dia sampaikan kepada bapak dengan caranya sendiri. Sebagai anak, aku tak harus mengetahuinya.

Akhirnya sebelum malam tergelincir di kaki fajar, dia sudah tertidur. Meskipun tak begitu pulas. Matanya masih bergerak-gerak meski sudah tertangkup pelupuk. Aku pergi ke kamarku sendiri. Sekedar merebahkan penat yang sudah sangat berat menggelayut di punggungku. Sejak tadi malam aku bekerja keras mengurus pemakaman bapak.

+++

Kamar ini masih kukenal. Bahkan sepertinya tidak pernah lepas dari pandanganku sejak dulu. Warna dindingnya yang hijau muda (bapak dulu yang memilihkan catnya; katanya warna hijau muda itu warna seorang remaja yang tumbuh dengan berbagai harapan) sekarang sudah tampak kusam dan berlumut di sana-sini. Ada bau pengap. Sepertinya jendela dengan kisi-kisi dari kayu itu sudah lama tak pernah dibuka. Bau apek dari celana, jaket jins, dan kaus oblong warna hitam yang menggantung menyeruak semenjak pintu kamar ini terkuak.

Ada yang sudah lama pergi? Aku tak ingin diam lama di kamar itu. Rasanya hawa di dalam kamar itu begitu dingin untuk tubuhku yang kurasakan kian rapuh. Pikiranku kembali melayang pada beberapa masa silam.

Pada sebuah rumah mungil. Hasil jerih payah seorang guru – bapakku - yang hanya punya keinginan sederhana. Mempunyai rumah tangga yang bahagia. Menjadi imam di dalam majelis kecil bernama keluarga. Dengan penuh rasa tanggungjawab dipeliharanya kami dari segala dampak buruk pergaulan ibu kota. Namun pada akhirnya, dia sendiri mengalah pada nasib yang tidak menentu. Alih-alih mencari tambahan penghasilan keluarga, dia terlibat pemalsuan dokumen kelulusan seorang pejabat. Maka, sekitar empat tahun lebih dia terpaksa meninggalkan seorang istri yang cantik dan anak yang berangkat remaja. Keduanya menganggap bapak sebagai seorang penipu.

Selama di penjara bapak tak pernah tahu, istri cantiknya pernah dengan sangat terpaksa ikut rapat di suatu villa di daerah Puncak dengan ketua yayasan pendidikan tempatnya bekerja demi sebuah permohonan pembebasan uang pendidikan anak tunggal mereka. Dan bapak juga tak pernah tahu anak remajanya merasa rumah mungil tempat tinggalnya seperti neraka belaka.

Tapi kemudian - entah apa itu namanya - karena kesadaran atau hanya sekedar menghibur bapak sebagai orang yang kalah perang, aku dan ibu menutup rapat semua peristiwa yang telah berlalu di belakangnya. Hingga beberapa hari sebelum kematiannya bapak merasa mendengar suara-suara yang mengingatkan dirinya untuk senantiasa berjaga-jaga.

+++

Sebelum pintu kamar kututup, ada yang berbisik lirih dari dalam kamar itu. Aku terbelalak menatap pada kaca jendela. Ada bayangan di sana. Bayangan dari masa kelam yang ibu dan aku sembunyikan. Mungkin dia lah yang membisikkan rahasia kami kepada bapak.

Jakarta, Oktober - November 2006.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home