K.D.R.T. ("Kerasan" di Ruang Tunggu)

"Kosong?"
Kata itu kuucapkan ketika aku bersama ibu dan bapak memasuki sebuah ruang tunggu praktek seorang psikiater terkemuka di ibukota. Ruangan itu "cozy" dengan sofa warna hijau-biru bergaya modern minimalis. Gaya tata ruang ala warga menengah yang tengah menyerap imajinasi saat mereka membangun tempat tinggal. Ruang itu memang kosong seperti isi kepalaku yang tidak mengerti mengapa aku, ibu, dan bapak pergi ke tempat seperti ini. Apakah lantaran hidup kami dikelilingi oleh peristiwa-peristiwa yang membuat pikiran kami terganggu? Atau sekedar menyiasati supaya kami semua bisa santai menghadapi hal itu semua? Aku hanya lah seorang anak lelaki yang merasa bising jika ibu dan bapak ada bersama-sama dalam satu ruang yang kami sebut rumah.

"Songko"
Bapak menyebut namaku. Dia dan ibu kemudian berbincang dengan seorang perempuan muda berseragam putih-putih. Mata bapak menatapku seakan aku adalah orang yang asing. Bahkan teramat asing. Memang bapak jarang sekali berada di antara aku dan ibu. Dia seorang pekerja keras. Aku pikir dia lebih suka dan mencintai pekerjaannya daripada keluarganya. Di rumah pun yang dibicarakan selalu saja pekerjaannya. Tak pernah ditanyakan soal pelajaranku, tak juga ditanyakan olehnya perasaan rindu ibu kepadanya. Sebagai anak lelaki aku tak mau mencontoh bapak. Aku tidak mau hidup ditekan oleh pekerjaan. Mungkin itu lah alasan bapak membenci aku. Bapak selalu mengingatkan kewajibanku jika aku besar nanti sebagai seorang lelaki. Tapi bapak lupa, lelaki juga harus belajar mencintai wanita. Ibu sering bercerita bahwa dia sering lupa bagaimana rasanya bapak mencintainya. Ibu memang tidak secantik perempuan muda yang berseragam putih-putih itu. Tubuhnya tidak langsing, dan kulitnya tidak lah putih. Namun banyak tetangga yang sering memuji bahwa ibu adalah tipe wanita yang pandai dalam hal memadu-padankan busana. Rasanya tanpa perlu gaun mahal pun ibu sudah kelihatan menarik.

"Songko, sini..."
Kali ini ibu yang memanggil namaku. Kata kerabatku, wajahku lebih banyak mirip dengan wajah ibu.
Tapi aku tak mau, sebab wajah ibu sering berubah warna. Kadang matanya hitam, kadang pipinya biru. Tak jarang pula bibirnya bengkak-bengkak. Ibu bilang bapak melakukan itu karena rasa sayang yang teramat dalam. Mungkin oleh sebab itu pula aku pun sering merasakan pukulan bapak di sekujur tubuhku. Tak terhitung beberapa kali warna kulit pahaku sama dengan warna pipi ibu. Telingaku hampir setiap minggu berwarna merah darah. Bapak suka sekali dengan warna merah. Aku rasa tak cukup warna merah yang terbias di mukanya karena minuman yang disesapnya. Padahal dia masih punya warna merah dari bara api yang menyala di ujung rokok. Aku pikir ibu seharusnya senang punya seorang suami yang berjiwa pelukis itu hingga tak perlu beli lukisan dengan coretan-coretan cat minyak tebal yang tak berbentuk seperti yang ada di dalam ruangan ini.

Mereka masih berbincang. Ada beberapa formulir yang tampaknya harus mereka isi dengan hati-hati. Aku tak suka melihatnya. Kertas dengan beberapa kata yang disambung dengan tanda titik dua dan selebihnya kosong. Aku lebih tertarik dengan majalah yang tersusun rapi di bawah meja dengan daun meja terbuat dari kaca. Majalah itu lebih meriah. Ada gambar wanita cantik dengan pose menantang dan baju yang indah. Seperti yang sering diceritakan ibu ketika mengajak aku jalan-jalan ke tempat perniagaan. Padahal ibu tidak pernah sekalipun membeli dan menggunakan gaun-gaun indah yang sangat diinginkannya. Katanya tidak bagus untuk tubuhnya. Padahal ibu memiliki postur yang bagus, tapi dia lebih sering menutupi rambut indahnya dengan pasmina atau kerudung hingga hampir saja tetangga tak mengenalinya. Yang aku tahu, ibu berusaha sembunyikan luka atau bekas memar di wajahnya, di punggung, atau di tangannya.

Wajah di sampul majalah itu wajah seorang gadis yang tersenyum lembut. Jauh dengan senyum ibu yang seakan dipaksakan. Apalagi dengan senyum bapak yang sok berwibawa. Ah, aku jadi ingin punya senyum khas ku sendiri. Tidak seperti bapak ataupun seperti ibu. Saat ini mereka sedang mengobral senyum kepada perempuan muda itu. Aku tahu pasti, itu senyum paling pura-pura. Menutupi semua kejadian yang sudah mengendap bertahun-tahun lamanya. Aku tak mau punya senyum pura-pura seperti itu. Ih, kenapa aku tersenyum sendiri? Kulihat bayangan senyum itu muncul di daun meja dari kaca di depanku. Aku pun merasa malu.

Entah mungkin karena aku tersenyum, perempuan muda berseragam putih-putih itu pun tersenyum ke arahku. Tak lama setelah itu, dia mengangguk pada bapak dan ibu yang juga rupanya tengah memperhatikan aku. Seperti model yang sedang menjalani sesi pemotretan untuk sampul sebuah majalah, aku mulai bergaya. Tatapan memperhatikan dengan tulus adalah suatu barang langka yang sudah lama aku dambakan. Mungkin karena kali ini aku merasa diperhatikan maka aku bertingkah lucu.

Aku seharusnya menjadi pusat perhatian di dalam rumahku sendiri apalagi sebagai anak lelaki pertama dan masih belum punya adik. Benarkah aku rindu untuk menjadi pusat perhatian? Di kelas, teman-temanku sering mencemooh aku. Sejak aku sering tidak masuk sekolah karena sakit yang tak tertahankan akibat disayang bapak, aku dijuluki anak sakit-sakitan. Banyak pelajaran yang tak bisa kukerjakan, aku terlalu susah untuk berpikir selain membayangkan kehidupan yang lebih menyenangkan. Aku adalah tontonan sekaligus bahan ejekan karena di tubuhku selalu ada luka dan aku dianggap murid yang bodoh.

Tapi apakah benar aku yang bodoh? Sebab yang kuinginkan adalah hal yang sangat sederhana untuk anak seusiaku. Bapak yang punya rasa sayang dan ibu yang selalu menjaga dan merawatku. Sederhana bukan? Ah, mungkin itu lah sebabnya bapak dan ibu pergi ke tempat praktek psikiater sekarang ini. Untuk memperbaiki diri. Jika tebakanku benar mulai besok aku benar-benar akan hidup dengan normal.

Bapak dan ibu pergi ke sebuah ruangan. Mungkin itu tempat konsultasinya. Syukurlah jika akhirnya Tuhan membukakan pikiran dan kesadaran bapak. Aku mulai membayangkan kehidupan yang indah setelah bapak berubah. Tanpa sadar kuulas sebuah senyum yang paling manis. Senyum yang tak akan pernah terjadi jika aku sadar bahwa yang kupikirkan itu masih belum menjadi kenyataan.

"Betul tidak kata saya, pak dokter? Anak itu memang harus disembuhkan!". Suara bapak mengagetkan lamunanku.
"Iya, dia suka senyum-senyum sendiri. Saya jadi ngeri", ibu menambahkan.
"Baiklah, saya mengerti keluhan ibu dan bapak. Tapi ada baiknya akan saya lakukan beberapa tes kepadanya", pria tua itu berkata. Lembut, tapi seperti terpaksa.

Aku menatap ketiga orang yang tengah mengerubutiku. Seorang anak lelaki berhadapan dengan tiga orang dewasa. Semuanya mempunyai pikirannya sendiri. Siapa yang harus mengerti? Apa yang harus kupahami?

Bapak, ibu, dan dokter itu berusaha menarik tanganku. Aku meronta. Tak mau aku dipaksa masuk pada suatu ruang yang tak ingin kumasuki. Aku sudah merasa cukup betah di ruang tunggu itu. Bahkan sangat betah.

Jakarta, November 2006.

Comments