Ziarah

Sejak aku meninggalkan masa kelamku, aku mulai bertandang ke sini. Piknik batin di Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga untuk melarutkan aku pada aroma keagungan Tuhan yang Maha Kuasa. Setidaknya aku menyambangi rumahNya, merasakan keteduhan hadiratNya. Rasanya sudah sekian lama aku tidak merasakan keteduhan dalam hatiku. Masa lalu itu begitu kelam, penuh dengan tangisan dan dendam. Mendekati gerbangnya, semua pikiranku telah kosong, aku merasa sangat beruntung. Karena dengan segala kekosongan itu aku bisa mendengarkan semua suara dengan jelas.

Terdengar sayup-sayup suara paduan suara membacakan sebuah Litania. Kyrie eleison – Tuhan kasihanilah kami” begitu awalan setiap Litania; mengayun perasaanku turun karena aku mengingat dosa masa kelamku. Benar ya Tuhan, kasihanilah aku! Rutukku dalam kesedihan yang mendalam. Aku memang orang yang perlu dikasihani, demikian bathinku bicara.

Perlahan langkahku terus bergerak, semakin dekat ke arah pintu depannya. Di depan patung Bunda Maria aku tersungkur. Bagaimana tidak? Pada anakNya lah Allah bicara langsung kepada manusia; melalui dia aku mengenal Tuhan. Seperti tulisan pada bagian atas pintu itu berbunyi “Beatam Me Dicent Omnes Generationes" ; aku pun berpikir bahwa aku mungkin tidak termasuk orang-orang yang berbahagia sampai saat ini. Itulah kenapa akhir-akhir ini aku mulai melakukan perjalanan untuk menyambangi tempat-tempat seperti gereja ini. Mungkin suatu saat aku juga datang kepada tempat-tempat suci lain di bumi ini.

Aku terus melangkah, memandang getir pada sebuah pualam bertanda, tulisan ditengahnya membuatku merasa sangat kecil. Domino Optimo Maximo - Demi Tuhan yang Maha Baik dan Maha Besar. Dulu aku sering merasa Dia tidak cukup baik hingga membiarkan aku tenggelam dalam dunia yang gelap dan Dia juga tidak cukup besar hingga tidak dapat mengangkatku pada rumah penuh tawa. Setiap hari yang aku hadapi adalah kebengisan atau kematian, yang aku dengar setiap hari hanyalah caci dan makian. Sebenarnya aku rindu pada suara paduan suara dan terlebih suara FirmanNya; tetapi baru sekarang ini aku bisa jalan-jalan.

Ya, kepedihan membawa aku lebih jauh lagi mengenali rumah Tuhan kali ini. Aku ingin membuang jauh-jauh segala penderitaan. Kata orang bijak “Tuhan memberikan bahuNya untuk menopang semua bebanmu”, maka dari itu sekarang aku mencoba datang untuk memberikan bebanku padaNya. Ketika aku masuk, aku sedikit bingung, pada altar mana aku harus berdoa? Aku hanya menurutkan lilin-lilin yang menyala saja lah. Mungkin di situ lebih banyak terangNya yang akan aku terima. Aku membutuhkan terang untuk menghilangkan gelap dari otakku selama ini. Aku kembali berlutut sebelum melangkah lebih jauh lagi. Di samping itu aku juga berharap datangnya seorang pastor atau sesiapa saja untuk menunjukkan bagaimana seharusnya aku mengadukan persoalanku kepada Tuhan. Tetapi saat ini hanya diam dan beku yang aku rasakan; sekelebat aku melihat seseorang, tetapi langkahnya terlalu cepat untuk aku kejar. Aku kembali termanggu sebelum mencoba untuk berdoa.

Aku menoleh dan melihat sebuah bejana dari marmer, “Oh Tuhan siapakah yang bisa membasuh dosaku saat ini?” Percikan air suci, ah! Kenapa aku jadi mengingat cerita-cerita pengusiran roh jahat dengan air suci? Kenapa lalu aku pun menggigil mengingatnya? Aku merasa sangat ketakutan. “Oh Tuhan tolonglah aku, usir takutku ini!”

Mataku terus berputar, menghindari pandanganku pada bejana baptis. Aku melihat hal-hal yang lebih aneh lagi. Semua gambar Para Pemimpin Vikariat Apostolik Batavia dan Keuskupan Agung Jakarta seakan-akan menatapku dengan kesedihan yang mendalam. Ya Tuhan apakah ini gerangan? Aku merasa semua keindahan yang ingin aku rasakan lenyap dengan tiba-tiba. Aku segera berlari keluar ruangan. Lari, lari, terus berlari, rasanya sekarang aku ingin pergi saja secepatnya dari tempat itu.

Aku berlari tak tentu arah, seakan-akan aku sedang dikejar oleh puluhan anjing gembala jerman! Nafasku tersengal-sengal. “Tempat berlindung! Tempat berlindung!” hanya itu yang ada di dalam kepalaku waktu itu. Lalu aku melihat Gua Maria! Mungkin aku bisa berlindung di belakang patung Bunda Maria. Tanpa berpikir panjang segera kuarahkan diriku menyelinap. Rasa dingin segera menyelimuti tubuhku, aku menggigil kembali. Gigiku gemeretuk menyebut namaNya.

Kuamati patung putih pualam dengan balutan jubah biru yang sedang tersenyum. Tersenyum? Benarkah itu senyuman? Aku melihat sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang begitu lekat. Tuhan, sungguh Sang Bunda tersenyum, hatiku merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di dadaku. Aku hampir saja terlena dengan kehangatan yang terus menjalar masuk ke dalam sumsum tulang-tulangku. Aku merasakan damai kasihNya? Yang jelas aku merasa bahagia, setidaknya aku merasa misiku untuk ziarah ke rumah Tuhan ini mempunyai makna.

Tidak! Tidak! Ini bukan hangat! Ini panas! Bahkan sangat panas! Aku merasakan bahwa tubuhku melekat dalam kedinginan pualam patung Bunda Maria, namun pada saat itu juga aku merasakan di dalam tubuhku ada panas yang luar biasa membakarku! Aku kepanasan sampai rasanya tubuhku meleleh – menempel mengotori patung itu. Aku berontak dan berteriak-teriak histeris. Rasanya sungguh sangat tidak adil! Bagaimana Dia menghukumku? Padahal aku ke sini untuk mencariNya.

Panas ini sungguh menyiksa, mataku sampai tidak bisa terbuka lagi. Kemudian dalam gelap aku melihat dosa-dosaku diputar kembali. Seperti bioskop saja, ah bukan! Seperti teater IMAX yang 3 Dimensi? Bukan juga! Lebih mirip dengan wahana baru di Ancol. Sinema 4 dimensi. Karena aku merasakan betapa dekatnya aku terlibat di dalamnya. Dosa-dosaku ditampakkan dengan gamblangnya. Adegan mencopet tas seorang ibu, memukuli pengamen kecil karena pulang tanpa hasil, menzinahi seorang gadis belia yang aku bius dengan kecubung, menghirup bubuk-bubuk putih bersama teman-teman yang tertawa terbahak-bahak, dan yang lebih menyakitkan adalah istriku yang marah-marah aku tempeleng hingga pingsan. Bahkan nyaris kubacok anakku sendiri karena ikut-ikutan mencoba melerai pertengkaran aku dan istriku.

Aku pusing kepala. Aku sudah lama hendak bertaubat dengan kehidupanku sebagai preman, tapi malah selalu saja aku kena masalah yang berhubungan dengan uang. Padahal aku sudah sakit-sakitan, tidak bisa lagi aku berobat, tidak bisa lagi aku berdagang, bahkan untuk mengemispun aku tidak bisa menengadahkan tangan. Aku tenggelam dalam labirin seuntai kata frustasi.

Tadi malam, dengan niat yang membara, aku memutuskan untuk pulang. Menghilangkan semua beban. Pikirku, lebih baik istri dan anakku tidak lagi menanggung seorang yang tua dan berpenyakitan. Biarlah mereka bisa hidup tenang tanpa aku dan masalahku. Aku hanyalah beban sekarang ini untuk mereka, bukan lagi tulang punggung keluarga. Menjelang pagi kusayat nadiku menggunakan parang.

Pagi tadi, aku ingat Tuhan. Aku sangat ingin menjenguk rumahNya. Karena itulah aku ke sini untuk berziarah. Melihat rumah Tuhan yang dulu biasanya aku pandangi dari Stasiun Gambir, waktu aku masih dihargai di situ. Hanya Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga lah yang aku tahu dari dulu sebagai tempat dimana Tuhan berada. Yang pasti, sudah terlalu lama aku merindu.

Kebayoran baru 20 Juni 2006

Comments