Wednesday, September 13, 2006

Setetes Darah yang Tumpah Menjelang Siang

“Tuhan, dimana Engkau semalam?” *)
Ada keluh yang terdengar di sela-sela adzan subuh. Keluh yang tertelan gemuruh suara para pedagang sayuran yang berebut belanja di pasar tradisional. Seorang lelaki tampak berjalan lemah. Hampir-hampir kakinya tak bisa melangkah. Terseok-seok di los-los pasar yang gelap dan pengap.

”Tolong, tolong aku!”, jeritnya.
Ada yang diharap muncul di balik kegelapan.
”Aku tak ingin berbuat lagi! Cukup sekali saja”, teriaknya lagi. Para pedagang sayur yang sedang belanja terhenti. Teriakan lelaki itu membuat mereka terganggu. Dipikirnya ada lagi perkelahian antara dua kelompok preman. Mereka tercekam dan bersiap-siap.
”Orang gila!”
”Orang mabuk!”

Demikian lah yang dipikirkan oleh mereka terhadapnya. Sebab tak satupun dari mereka mengerti apa yang sedang terjadi padanya.

***

Dia seorang lelaki muda. Ada gelora gelisah senantiasa di jiwanya. Dilalangnya penjuru kota demi menyusun kotak imajinya saja. Sebelum akhirnya dicobanya untuk masuk pada sebuah lorong kelam.
”Sudah pernah ke sini, nak?”, tanya supir bajaj yang mengantarnya.
”Belum pernah pak”, jawabnya kikuk.
”Hati-hati saja. Sebaiknya pikirkan lagi”.
”Kenapa?”, ragu dia bertanya. Sebab pasti hasilnya adalah ceramah agama.
”Birahimu bisa menjadi pintu sebuah misteri yang tak bisa kau mengerti”.
”Oh”, hanya kata tak berarti yang akhirnya digumam.
Birahi? Apakah aku sedang birahi? Lalu misteri apa yang akan terjadi? Aku hanya ingin tahu saja. Masih ragu dia melangkah.
Ingin ditanya tentang bagaimana caranya pada supir bajaj itu. Ah, pasti sia-sia!
Dia berpikir sebaiknya langsung mencoba saja. Sebelum malam tutup usia.

***

Adalah gairah yang menyala-nyala. Telah mendorongnya masuk ke sebuah pintu yang di atasnya berpendar lampu dengan warna merah menyala. Tepat sudah! Jerit batinnya. Ada nada keriangan yang meletup. Tapi dia masih belum tahu harus bagaimana.

”Sini dong mas, jangan diam di situ”, celoteh manja terdengar dari seorang wanita.
”Eh, iya”, jawabnya ragu. Sangat lugu.
”Mau minum apa? Aku pesankan ya?”, pinta seorang lagi. Juga seorang wanita.
Inikah surga dunia? Lelaki menjadi raja. Dan segala hasratnya akan dipenuhi. Wanita-wanita di situ siap menjadi abdinya.

”Punya rokok kan, mas?”, ada yang bertanya sambil melingkarkan lengan di pinggangnya. Seorang wanita dengan raut wajah yang kelihatan pucat. Sepertinya sedang tidak enak badan. Cantik tetapi malam itu kelihatan sangat kuyu. Ada bau wangi berlebihan ketika dia mendekatkan badan.
”Eh, ada. Ini”, katanya sambil mengulurkan sebuah kotak rokok yang isinya tinggal setengah.

Sekejap saja. Tiga orang wanita dan seorang lelaki, sama-sama muda usia, menggelar sebuah pesta kecil. Ada botol minuman, gelas-gelas yang selalu haus, mulut-mulut yang bercerita, dan asap rokok serupa asap kemenyan di pekuburan raja-raja.

Dan dunia di matanya berubah. Malam itu serasa siang dengan jutaan bintang. Hangat, lembab, dan bergetar. Entah jantung siapa yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Yang jelas mereka berempat kemudian mulai menggerakkan badan mengikuti iramanya.

”Sudah larut malam mas. Tentukanlah siapa yang akan kamu dekap dalam gelap”, ada sebuah kata perintah yang terselip dalam nada manja. Suci kah? Murni kah? Atau Dewi yang telah bicara.

***

”Kenapa kamu memilihku?”, mulut mungil pada wajah cantik yang kuyu itu bicara. Pemiliknya bernama Suci.
”Karena kamu paling cantik di antara mereka”, jawabnya.
”Dasar lelaki, memang sangat pemilih!”, ketus.
”Kamu tidak suka?”
”Aku sedang tidak enak badan!”
”Aku tidak ingin batal. Ini kali yang pertama untukku”.
”Serius?”
”Jangan tertawa. Tapi ini benar”.
”Kenapa kamu ingin melakukannya?”
”Ada baiknya kusimpan jawabannya sendiri. Dan sebaiknya kamu tunjukkan padaku bagaimana caranya. Sebab ini sudah hampir pagi”.
”Aku sedang tidak bisa tertawa”, lagi-lagi ketus.
Dan Suci pun mulai membuka tubuhnya.
”Jangan diam saja. Buka juga pakaianmu”.
Lelaki muda itu terdiam. Tubuhnya gemetar. Baru pertama kali ini dia melihat seorang wanita muda menelanjangi tubuhnya sendiri di depannya.

Di otaknya segera diingat bab anatomi tubuh manusia dari kitab pelajaran biologi. Ilustrasi yang sangat nyata daripada yang tergambar di lembaran kertas tua. Kemudian diingatnya kebaikan Tuhan. Betapa sempurnanya dia ciptakan mahluk yang bernama wanita. Terutama pada buah dada dan buah panggulnya.

Ugh! Kenapa aku bisa mengingat Tuhan dalam keadaan seperti ini? Mungkinkah Adam dan Hawa juga mengingatNya ketika tangan mereka menyentuh kulit buah terlarang itu? Aku lah Adam yang terangsang! Warna buah itu begitu menaikkan seleraku. Dan harumnya begitu memabukkan. Terbayang betapa lezat dan manisnya buah yang sedang kupandang. Segigit saja. Segigit saja lah. Lalu akan kukenang selama-lamanya.

”Koq belum dibuka bajunya?”
Kata-kata Suci mengaburkan lamunannya.
”I...Iya. Akan aku buka semuanya”. Dia pun membuka baju. Melepas ikat pinggang. Celana.
”Celana dalamnya juga dong?”, Lagi-lagi Suci memberi aba-aba.
”Aku ... Aku ...”, dia terbata.
Tubuhnya gemetar. Angin dini hari memang dingin. Tetapi Suci dari tadi telah membuat suhu di kamar itu semakin panas.
"Tapi, apa yang berdebar di dadaku, apakah juga ada di dada itu? Di dada itu?” **) Dia kembali terbata ketika bicara.
”Ada baiknya kamu rasakan sendiri. Sentuhlah!”, Suci mendekat.
Mereka pun merapat.
Saling mendekap.
Erat.

***

”Jangan berterimakasih. Sebab kamu menikmati” ***), kata Suci saat tuntas sebuah petualangan.
”Ya. Aku sangat dan harus menikmatinya. Sebab ini kali yang pertama”, jawab lelaki muda itu tersengal.
Tubuhnya masih bergetar. Bahkan lebih kencang dari tadi.
Hampir saja terucap kata terimakasih dari bibirnya. Kemudian teringat lagi. Wanita yang terbaring di sebelahnya tidak membutuhkan kata-kata.

Tadi, sebelum permainan itu terjadi, aku lah adalah raja baginya. Setelah ini, aku hanya lah deretan angka di dalam pikirannya.
”Apa yang kamu pikirkan?”, Suci memancingnya. Sebab dari tadi dia tak berkata-kata. Memujinya pun tidak.
”Aku tiba-tiba teringat dosa”, jawabnya sambil duduk mencakung di tepi ranjang.
Tubuh cantik Suci pun ikut mengejang.
”Jangan bicara dosa di tempat ini!”, Suci menjerit kecil. Protes pada ucapannya.
Lalu dia melanjutkan lagi, ”Sebaiknya, mulai sekarang kau ceritakan pada dunia dunia para serigala. Pemangsa rembulan yang tak pernah sadar hidupnya telah dirampas malam”.
Suci berdiri. Pergi ke kamar mandi tinggalkan si lelaki sendiri.
”Jangan lupa uang pembayarannya!”, teriaknya dari balik pintu kamar mandi.

Lelaki muda masih terdiam. Sebuah pintu misteri telah dikuaknya sendiri dengan berani. Dari baliknya, muncul sejumlah kata.

”Kamu telah menang!”
”Kamu sudah dewasa!”
”Kamu telah melewati satu fase kehidupan!”
”Tuhan pasti malu melihatmu!”
”Sekarang kau tahu prakteknya setelah sekian lama hanya tahu dari buku-buku tua”

Kata-kata itu menyerangnya kembali sebagai kata tanya yang menusuk hati.
”Kamu menang dari apa?”
”Apakah arti kedewasaan?”
”Adakah hal lain yang telah aku lewatkan dalam hidupku?”
”Apakah kamu tidak merasa takut pada Tuhan?”
”Sekarang buat apa praktek itu kamu ketahui?”

Dia hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang bisa dia bantahkan, tak juga dijawabkan. Tubuhnya berkeluh. Basah. Dia betul-betul resah. Dirogohnya saku celana. Diraihnya dompetnya. Astaga! Kurang!

Kali ini dia benar-benar tak bisa bicara. Dihitungnya kembali uang yang ada di dompetnya. Benar ternyata hitungannya. Ongkos bajaj. Tiga bungkus rokok. Empat botol bir. Serta tips untuk Murni dan Dewi.Kali ini dia benar-benar tak bisa bicara. Dihitungnya kembali uang yang ada di dompetnya. Benar ternyata hitungannya. Ongkos bajaj. Tiga bungkus rokok. Empat botol bir. Serta tips untuk Murni dan Dewi.

Tangan dan kakinya gemetar. Dan semakin gemetar pada saat pintu kamar mandi terbuka. Ada harum yang semerbak. Suci kelihatan sudah tidak kuyu lagi. Suci tersenyum dan mengecup pipinya.
”Asal kamu tahu, aku juga tadi menikmatinya”.
Kemudian tangan Suci meraih tangannya, tepat pada lembaran-lembaran uang yang sedang digenggam.

***

Di depan rumah bordil, ada darah yang tertumpah. Lelaki muda itu dikeroyok oleh empat orang preman penjaga keamanan. Lalu dalam keadaan setengah pingsan, dia diseret hingga ke sebuah tempat sampah dekat pasar.

Hari sudah menjelang siang saat didengarnya sebuah suara. Dipikirnya suara itu berasal dari orang yang melihat dia terkapar.

”Hari ini telah kutebuskan dosamu pada orang-orang yang telah memperingatkanmu semalam. Tetapi kepada Tuhan, kamu sendiri yang harus bertanggungjawab”.

Dia pun mendekatkan diri pada asal suara itu. Ternyata suara itu berasal di dekat telinganya, di atas tanah yang masih basah. Setetes darah yang tumpah telah mengungkit sebuah risalah.

Jakarta, 13 September 2006.

(* = Sajak Hasan Aspahani “Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia” – adegan IV)
(** = Sajak Hasan Aspahani “Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia” – adegan II)
(*** = Sajak Hasan Aspahani “Setelah Sebuah Persetubuhan” –/4/)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home