Ki Slamet yang Melesat

Kami di sini bertiga.
Songko, Lihin, dan aku sendiri, Lon.

Kami baru bertemu di sini. Di tempuran kali. Persatuan tiga batang anak sungai tempat air bergulung deras dengan membuat pusaran dengan hawa yang menusuk tulang. Konon, di tempat seperti ini lah dedemit dan roh-roh alam bertemu. Sehingga kemudian banyak orang menganggap tempuran menjadi gerbang menuju alam gaib.

Kami sama-sama menggigil.
Songko, Lihin, dan aku saling berpandangan sejenak.
Ada banyak pikiran yang ingin saling menjatuhkan mengingat kami punya tujuan yang sama. Memburu sebuah pusaka kuno yang berjuluk Ki Slamet. Kami baru sadar jika bertujuan sama. Sebilah keris ingin benar kami miliki. Sebab ada yang memberikan saran demi sebuah kepentingan. Kemenangan atas ketakutan yang aku bawa sejak bertemu seorang dukun tua. Maka dengan penuh harap, kami tahan semua rasa dingin yang berderap di tiap lekuk tubuh-tubuh tua.

Songko yang kukenal dari sebuah percakapan singkat sejurus sebelum menceburkan diri tadi, adalah seorang pejabat di sebuah jawatan pemerintahan. Sebab dari tadi dia sering sekali ditelepon dari kantornya menanyakan beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan masyarakat.

"Ya, Berkas yang itu sudah saya sampaikan kepada Pak Bupati sendiri. Iya. Saya sendiri yang menyampaikan. Jadi kalau bisa jangan dihambat lagi soal dananya. Saya jamin. Besok pagi pasti Pak Bupati akan mengeluarkan instruksi. Pasti. Jadi tolong sekali lagi, soal dana itu bisa cepat dikeluarkan", demikian kata-kata yang terakhir dia ucapkan sebelum melakoni "tapa kungkum" ini. Songko segera menyusupkan telepon selularnya setelah ia matikan ke balik saku celana yang kemudian dilipat rapi.

Dia tersenyum ke arahku. Tatapannya seakan merendahkan. Memang aku mungkin yang paling miskin di antara tiga orang lelaki dewasa yang telanjang bulat di tempuran kali ini. Lihin, pada saat menuruni lembah sungai ini sempat bercerita bahwasanya dia menyengajakan diri melakukan ritual ini demi sebuah usaha mengelit dari kejaran penagih kredit bank. Dia seorang pengusaha.

"Gara-gara usahaku yang gagal, aku pun banting tulang untuk menutupi hutang-hutang. Gali lubang tutup lubang. Kamu pasti tahu sendiri kan? Orang-orang dari bank itu selalu membawa preman untuk menagih kredit. Kadang dalam sehari mereka bisa bolak-balik tiga kali. Pusing aku dibuatnya", Lihin mengeluh saat aku bertanya kenapa dia mau menjalankan ritual ini.

"Lalu kamu sendiri bagaimana?", tanyanya.

Kurasa pada saat aku menjelaskan bahwa aku harus bisa mendapatkan keris Ki Slamet ini, Songko telah mencuri dengar. Maka tak heran dia kemudian memandang rendah padaku. Hal seperti ini lah yang membuat aku nekad.

"Sudah hampir dua puluh tahun aku bekerja, sebagai pegawai tata usaha di sebuah percetakan ternama, dan hampir selama itu pula nasibku tidak berubah. Tidak pernah naik gaji. Tidak pernah naik jabatan. Masih pegawai biasa."
Songko kemudian menyela, "Kamu bodoh kali! Makanya tidak dipandang". Ketus.

Aku diam saja.
Mungkin saja dia benar. Aku bodoh. Tetapi yang aku tahu, aku adalah pegawai yang rajin. Tak ada cacat dan cela dalam pekerjaanku. Yang pasti, aku punya hati yang jujur.

Sambil menceburkan diri, Songko mengajukan sebuah penawaran kepadaku.
"Lon, kamu mau uang sejuta?"
Uang sebanyak itu memang kurang sedikit dari gajiku. Tapi cukup banyak untuk bisa meringankan beban hidup yang dirasa semakin kurang.
"Untuk apa?", tanyaku.
"Aku ingin tidak ada saingan untuk mendapatkan keris Ki Slamet ini". Singkat, tapi tajam. Dia ingin mengusirku dari arena pertandingan.
"Terimakasih, tapi aku lebih suka jika aku yang mendapatkannya", jawabku sambil memandang ke arah Lihin. Dia tampak kurang senang juga dengan tindakan Songko.

"Kalau kamu? Kamu mundur saja. Aku punya banyak proyek untuk bisa kamu kerjakan. Aku rasa bakal cukup sedikit demi sedikit melunasi kredit macet-mu".

Duh, Gusti. Apa semua pejabat bermental seperti dia? Menganggap masalah orang lain biasa saja. Mendewakan keinginan pribadinya.

Lihin diam saja. Tak banyak kata yang diucapkan semenjak menceburkan diri ke dalam air. Lelaki keturunan Tionghoa itu sepertinya menganggap angin lalu saja omong besar Songko. Tapi Songko masih mendesak.

"Bagaimana? Mau tidak?"

Lihin berdehem sebelum bicara.
"Lebih baik aku menghadap langsung ke Pak Bupati saja. Daripada terima proyek yang belum jelas dari anda. Karena waktu pilkada kemarin, utusan Pak Bupati datang ke kantor bapakku untuk minta dukungan."
"Lha, kamu ini punya bapak hebat koq tidak dimanfaatkan?"
"Pantang bagiku minta tolong pada bapakku untuk kali yang ketiga. Sudah lah, sebaiknya kamu diam saja."

Kami terdiam.
Segera memulai ritual. Rupa-rupa mantera segera saja berselancar di bibir kami. Intinya sama saja. Memanggil roh-roh alam agar mau dekat. Meminta tolong kepada mereka. Untuk menyampaikan keinginan kami kepada Yang Maha Esa. Sebab roh-roh alam berada di balik tabir yang kelihatan nyata. Lalu sebuah keinginan yang sebenarnya pun mulai dibaca. Keinginan memiliki senjata rahasia. Penangkal segala rasa takut yang mendekam di dada kami masing-masing.

Lambat laun alam mulai memasukkan hawa dingin ke dalam raga kami yang telanjang sebanyak mungkin. Angin dan air menggulungkan cekam terpilin sebagai pusaran menerpa pusar kami dan tubuh bagian bawah. Arus melimbungkan tegak tubuh kami. Antara dingin, basah, dan resah. Bercampur dengan dengungan nyamuk hutan dan tonggerek serta jangkrik. Semakin mengaduk-aduk perasaan paling primitif dari rasa takut. Bulu tengkuk mulai berdiri. Setiap ada suara angin yang menderu dirasakan bagai jubah kebesaran penunggu tempuran kali yang sedang berlalu. Dan gesekan ranting-ranting pohon pun terasa sangat mengganggu. Tapi kami mesti tahan. Tak boleh ada gentar kami rasakan. Semua demi sebuah hal gaib. Sebuah keris yang konon pernah raib.

Lamat-lamat kudengar suara orang merintih. Suara Lihin. Tampaknya ada yang ganjil sedang terjadi padanya. Aku tak mau membuka mataku. Takut dianggap gagal. Apapun yang terjadi, aku tak mau lari. Demikian tekad yang aku sembunyikan rapat di balik dada. Lalu kecipak air terdengar. Bunyi langkah di dalam aliran air. Berderap-derap. Makin lama makin kencang. Mungkin Lihin sudah tidak dapat tahan. Dan rintihan itu semakin jauh. Aku pun mengembangkan senyum. Satu orang sudah digulung.

Setelah itu senyap. Pikirku, tinggal aku dan Songko yang bertahan. Tapi aku sangat yakin bisa menang. Sebab tak ada hal-hal yang tampaknya akan bisa menakut-nakuti aku. Meskipun memang kurasakan banyak hal-hal yang aneh kurasakan. Ada suara orang tertawa. Ada suara kuda. Ada juga sentuhan benda-benda yang licin yang sangat mirip dengan kulit ular berkali-kali menyinggahi bagian-bagian tubuhku. Tapi tak ada pikiran bahwa itu adalah ular yang siap untuk mematuk diriku sewaktu-waktu.

Hampir tiga jam lamanya aku berendam. Kurasakan kulit-kulitku sudah mulai sangat kaku. Tebal seperti kulit badak. Hampir-hampir tak kurasa angin yang bersemilir. Apalagi gerusan arus. Mati rasa.

Lalu terdengar suara berdebum. Keras sekali. Air memancar kemana-mana. Ke muka dan dada. Ada yang jatuh? Segera saja kubuka mata. Astaga!

Kulihat Lihin berdiri di atas sebuah batu. Memegang sebatang kayu. Ada darah menetes di batang kayu itu. Di mana Songko?

Lihin tersenyum menyeringai. Dia menatap tajam ke arahku. Di mana Songko?
Apa yang terjadi? Teriakku tercekat.

"Lon, sebaiknya kamu pulang. Sudah tak ada harapan. Aku yang akan mendapatkan Keris Ki Slamet", katanya dingin. Sedingin tatapannya.
Aku cuma bisa termanggu. Tak mampu menggerakkan bibir yang kaku.
Kulihat dia mengulur tangan. Aku hampir tak bisa menyambut. Tanganku kaku. Aku masih bingung. Di mana Songko?

Lihin membantu aku naik. Hampir pagi saat itu. Dia juga mengulurkan handuk kepadaku.
"Berkemaslah", katanya singkat selalu.
"Terimakasih. Tapi..."
"Sudah lah, kau sudah kalah. Aku sudah tahu dimana akan ku ambil keris pusaka itu. Kau tidak mendapatkan wangsitnya kan?"
"Wangsit?"

Lihin terkekeh. Menepuk pundakku dan berlalu.

"Di mana Songko?", tanyaku. Akhirnya.
"Dia sudah mati. Menemui takdirnya. Dia itu ular, sang pencuri dengar.�
"Kau membunuhnya?"
"Terpaksa"
"Apa yang terjadi?". Aku tahu dia sedang berdusta.

Lihin kemudian bercerita:
Tak beberapa lama setelah kami memulai tapa kungkum, Lihin mendengar seorang wanita berbisik padanya.
"Birahi lah. Aku telah lama menunggu pengantinku. Kepadanya lah Ki Slamet akan berbakti."
Lalu dia pun muncul. Wanita yang sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya hitam panjang. Menggunakan kain batik warna keemasan. Dan setiba di bibir sungai, dia membuka badan. Menghampiri Lihin dan menciumnya. Lihin tak tahan. Diajaknya dia menepi.
"
Tapi si culas Songko tak tinggal diam. Dipanggilnya beberapa pengawal. Orang-orang bersenjata tombak yang mengendarai kuda. Juga seekor ular besar yang dimintanya mengurung dirimu. Kamu tak sadar?"

Ah, tidak. Aku tak tahu semua itu. Apakah itu hanya ilusi? Lalu di mana Ki Slamet ? Dan si wanita, benarkah ada?

Lihin melanjutkan ceritanya :
Ketika dia sedang mencumbu wanita yang tak lain adalah pemilik sejati Ki Slamet, Songko dan para pengawalnya mengepung dia. Direbutnya si wanita dari pelukannya. Lihin disuguhi lusinan ujung tombak yang mengarah di bagian dadanya.
"Kau tak mendengar dia tertawa sedemikian kerasnya? Angkuhnya sungguh luar biasa."
Ah, tidak. Aku tak tahu semua itu. Apakah itu hanya ilusi? Lalu bagaimana Lihin bisa lolos? Dan si wanita, benarkah ada?

Lihin kembali bercerita padaku :
Songko membawa kabur wanita itu. Sambil berkata kepadaku bahwa lebih baik dia punya si empunya Ki Slamet, pasti lebih sakti.
"Jadi Songko menyimpan pemilik Ki Slamet. Dan kamu menyimpan Ki Slametnya?", tanyaku.
"Belum". Lagi-lagi jawaban singkat.
"Lalu?"
"Kulihat ada sesuatu yang melesat dari balik kemben sang wanita. Aku segera sadar bahwa itu Ki Slamet. Para pengawal Songko ingin merebutnya. Tapi mereka takut pada ular besar yang melilit tubuhmu."

Ah, tidak. Aku tak percaya semua itu. Apakah itu hanya ilusi untuknya? Lalu mana para pengawal dan ular itu? Dan Ki Slamet, benarkah ada?

"Para pengawal sudah pergi. Ular besar tadi kubunuh dengan batang kayu ini. Dan Ki Slamet, ada dalam tubuhmu", Lihin menjelaskan dengan cukup rinci namun tetap singkat.
"Lalu?"

Jakarta. 06. September.06

Comments