Ketika Malam Menawarkan Purnama

"Laki-laki tak tahu malu!"

Umpatan itu kudengar saat aku mendayung sampanku mendekati dermaga. Aku jadi memandanginya, sang pengumpat itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia mengajakku bicara? Tetapi nampaknya tidak, sebab tatap matanya terus memandang ke arah cakrawala. Aku tak tahu apa atau siapa yang sebenarnya dia umpat waktu itu.

Rasanya sudah berhari-hari aku melihatnya di situ, di sebuah dermaga kecil di bibir pantai yang selalu basah oleh angin laut yang membawa butiran embun yang berasal dari kelincahan ikan pari yang menari-nari menghindari jala nelayan sepertiku. Dia selalu berdiri bagaikan tugu peringatan tsunami yang dipasangi alarm yang berbunyi ketika petugas pengawas pantai melihat gelombang yang sangat besar. Tetapi aku melihat dia bukanlah salah seorang dari pengawas pantai yang ditugaskan di dermaga kami. Dan anehnya, semakin hari ada kerinduan jika aku tidak mendapati dia berdiri di dermaga itu. Rindu? Ya, begitulah aku. Setidaknya kehadirannya di dermaga itu membuat ada yang ingin kutemukan terlebih dahulu sebelum aku mencapai ujung dermaga itu. Mungkin sebuah perasaan yang sama saat Christopher Colombus ketika meninggalkan Palos dan mulai menghitung masa pelayarannya lalu memandang cemas akan keselamatan Nina dan Pinta, kedua kapal tambahannya. Ah pikiranku mungkin terlalu kacau, sebab dia adalah penunggu sesuatu atau sesiapa di sebuah dermaga, sedangkan Colombus adalah pelayar dan petualang hebat.

Ada yang lupa kusebut, dia itu seorang wanita. Tinggi semampai dengan rambut lurus panjang hampir menyentuh buah pantatnya. Selalu terurai, tidak peduli hujan atau panas. Rupanya elok, hampir bisa dikatakan sempurna. Beberapa orang pemuda memandangnya dengan tatapan penuh nafsu, tetapi kemudian mereka berlalu karena menganggapnya gila. Pernah suatu waktu aku melihatnya sedang bicara dengan seekor camar yang sibuk menghancurkan ketam dengan paruhnya.

"Dendam kah kau dengannya? Sampai begitu tega kau hancurkan seluruh hidupnya. Aku tahu engkau adalah pemangsa. Tapi apakah benar dalam hatimu tidak pernah tersirat secuilpun rasa iba? Bagaimana jika kau melihat sarangmu diobrak-abrik oleh seekor ular lalu telur-telurmu diremas dan diremukkan untuk kemudian habis dihisap sarinya? Kau pun akan kecewa pada kehidupan ini bukan?", katanya sambil bersidekap tanpa mencoba mengusir camar yang terlalu sibuk menghabiskan rasa laparnya.

Dia lalu mengepakkan tangannya meniru gerakan burung camar yang terbang dan menukik di antara gelombang laut itu. Aku tersenyum melihatnya, anehnya dia tidak merasa terganggu dengan senyumanku itu. Dermaga kayu menjelma menjadi ruang teatrikal sebuah persembahan sendratari gratis yang cukup menghibur. Ketika camar masuk ke dalam air laut, dia menyudahi gerakannya dengan bersimpuh. Erat dan kuat seakan seekor lintah yang menyedot darah di ujung kaki. Aku menilainya sebuah kepasrahan. Iri hatiku ketika menyaksikan pemandangan tersebut, mungkin seharusnya seperti itulah gerakan sujudku ketika sembahyang. Mendekap erat perut bumi seperti seorang anak yang hendak menyusu kepada sang ibu. Lekat, tak ingin lepas.

Pada seekor ikan yang menggelepar di ujung kail pemancing dia berseru, "Teriakkanlah kebebasanmu sekarang! Dunia menjadi ruangan penuh ikatan, tak sadarkah kau sebelum kau melumat umpan yang terkail pada mata pancing engkau sesungguhnya sudah berikatan dengan takdir bahwa malam nanti hidupmu sudah berubah menjadi teman sepiring nasi hangat dan sesendok sambal terasi? Maka dari itu, sekaranglah kau teriak agar kebebasan mengenangmu sedemikian dekat!"

Orang-orang tertawa mendengar kata-katanya. Mereka semakin yakin bahwa dia itu tidak waras. Aku malah menangis, perkataannya seakan menyindirku yang terbelenggu oleh keadaan yang biasa dinamakan kemiskinan. Sementara ini, mungkin takdir hanya memperbolehkan aku membawa sepuluh ribu rupiah hasil penjualan ikan tadi yang sudah dikurangi dengan ongkos sewa perahu dan biaya bahan bakar.

Aku lesu dalam perjalananku pulang ke rumah, tempat istri dan anakku menunggu kabar gembira semalaman. Aku tahu dengan pasti, istriku pasti sudah banyak memanjatkan doa untuk keselamatan dan tentu saja hasil yang menggembirakan dari usahaku melaut. Dia pasti akan sedih jika mengetahui betapa susahnya aku dan teman-teman dalam mencari ikan akhir-akhir ini. Aku tidak bisa kenapa sebabnya, sebab aku hanyalah seorang nelayan bersampan kecil, itu pun sewaan.

Satu hal yang membuatku merasa terhibur saat - saat ini hanyalah dia, penunggu dermaga. Orang-orang menyebutnya demikian sebab sudah terlalu lama dia berada di situ. Kehadirannya seperti tanpa awal sebab tiba-tiba saja sewaktu hujan gerimis pertama dia sudah berada di sanan dan sepertinya tidak akan berakhir di awal musim semi nanti. Aku jadi berpikir, apakah dia adalah peri hujan yang didongengkan waktu aku masih kanak-kanak?

Aku mendengar dia kembali tertawa. Dalam tawanya dia sebut satu nama, Rasya. Entah kenapa aku langsung mengkaitkan nama itu dengan bahasa Arab yang aku kenal dan membentuk suatu wujud anjing besar bergigi tajam yang tinggal di dalam hutan yang tak pernah aku temui sebab aku ini seorang nelayan bukan penebang kayu. Rasya memang serigala artinya. Tetapi aku tidak tahu siapakah Rasya yang disebut oleh penunggu dermaga itu, sebab namaku pun Rasya. Apakah dia memanggilku?

Dengan ragu aku menatap ke arahnya, dia pun memandangku.
"Apa kabar?", tanyanya dengan mimik muka yang kaku. Kelihatan sangat lucu.
"Tidak begitu baik" jawabku ragu.
"Ah, duduklah sini dekatku, aku selalu ingin mendengar kabar sedih", katanya lagi sambil melambai ke arahku dan membuat isyarat untuk duduk di sampingnya. Lalu tangannya membersihkan debu di sekitar tempat dia duduk. Seperti menghormatiku dengan sedemikian tulus. Aku agak jengah dengan keramahan itu.
"Siapa Rasya yang kau sebut tadi?", kataku membuka kedok kaku yang terpasang dengan kuat di mimik wajah tuaku.

"Rasya? Apakah kamu keberatan aku menyebutkan nama itu?", tanyanya.
"Tidak, aku pun disebut begitu oleh ibuku."
"Betapa suatu kebetulan. Tapi aku tidak punya masalah dengan kau. Cuma aku sempat mendengar kau berkata tentang kabar yang tidak begitu baik. Dapatkah kau ceritakan padaku? Tentunya jika kau tidak berkeberatan", senyumnya masih menghiasi kata-katanya. Dan entah aku yang tersihir oleh senyuman itu maka dengan lancar seperti bergulirnya matahari senja itu ke akhir horizon aku pun bercerita tentang sebuah rasa putus asa.

"Alam kadang tak mau tahu!"

Sebuah umpatan yang tidak kuduga akan keluar sebagai kesimpulan intepretasinya atas deritaku yang aku ceritakan kepadanya. Aku pun kembali memandangi sang pengumpat dengan hati penuh pertanyaan. Kenapa dia selalu mengalihkan objek persoalan saat datang sebuah hal kepadanya?

Mungkin dia tak begitu menangkap ceritaku yang memang melompat-lompat seperti ikan di laut yang sekarang susah sekali untuk aku tangkap. Gaya bicaraku kah yang membuatnya demikian? Entah lah. Dan tiba-tiba ada yang melintasi pikiranku, sebuah pagar! Aku mungkin sedang berjarak dengan penikmat ceritaku ini, tapi sungguh aku tak ingin membuatnya merasa demikian. Maka dengan tegas aku tanyakan kepadanya, "Kenapa engkau mengumpat kepada alam?"

"Tak kau lihat bahwa matahari sekarang sudah hampir tertidur, sementara aku belum bisa dengan benar mencerna cerita sedihmu tadi. Dan kini aku pun terdesak dengan pikiran untuk mencari tempat untuk tidur", jawabnya dengan ekspresi yang tak bisa kukatakan.

"Sekiranya aku mempunyai rumah yang layak untuk bisa kau singgahi, maka aku tak akan segan untuk menawarimu menginap di sana", kataku datar. Tanpa alasan untuk sekedar berbasa-basi. Matanya berbinar. Aku pun tergetar, sudah lama aku tak melihat mata wanita yang begitu cemerlang hingga seakan muncul cahaya di kedalaman palung matanya yang langsung menusuk jantungku. Dan hampir runtuh bangunan penyangga jiwaku saat dia katakan betapa sudah lama dia ingin mendengarkan sebuah kata ajakan.

"Sudah berapa lama tak kau dengar kata itu?", kataku sambil menata dinding di hatiku yang tadi sempat limbung.
"Sejak sebuah perpisahan", jawabnya singkat. Mungkin ini adalah saat paling kritis bagi semua tanya sejak kulihat dia di tepian dermaga untuk kali yang pertama, jika saja aku bisa membuka pintunya dengan pertanyaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
"Perpisahan memang menyakitkan", kataku pelan. Hampir tak terdengar.
"Lebih menyakitkan mana dengan deritamu hari ini?", malah dia balik bertanya. Aku pun gelagapan. Kemudian kusadari bahwa aku tak layak berada dekat dengannya untuk sebuah permainan sederhana. Aku pun mulai beringsut untuk menghindar.
"Malam sudah datang, eh ..siapa namamu?"
"Senang berkenalan denganmu Rasya, aku lah Malam", dia mengulurkan tangan dan sekali lagi mengulas senyum.

Aku terbahak, betapa tidak? Aku seperti baru tersadar bahwa dia memang gila. Kenapa aku menanti sinar matanya padahal banyak kata yang sudah cukup menggambarkan kegilaannya? Tapi kemudian kulihat ada rinai gerimis yang mengalir dari kelopak matanya. Dia menangis, seakan bisa mengartikan cara tertawaku yang memang bermaksud menghina namanya.

"Maaf jika aku menyinggungmu, Malam", aku mencoba membayar tangisannya dengan sebuah permintaan maaf, lalu kulanjutkan dengan sebuah pertanyaan lain, "Namamu sungguh misterius untukku, sehingga aku mengira engkau bercanda. Kalau boleh tahu, siapa yang memberi nama itu untukmu?".

"Ah, kenapa harus ada malam untuk bisa menyebut namaku?", Malam pun mengeluh untuk sesuatu hal yang aku belum penuh. Aku segera berdiri, rasanya seperti tak ada yang bisa kupetik dari perkenalan senja ini. Lucu rasanya jika ada yang kemudian menertawakanku demi melihat senja ini telah membuat aku bertemu dengan Malam.

"Mau kemana Rasya? Bukankah serigala selalu menunggu bulan untuk bisa berteriak? Sebentar lagi dia datang, dan jika itu tiba teriakkanlah penderitaanmu. Melolonglah sebagaimana seekor serigala yang tak pernah puaskan rindu pada purnama yang mungkin bisa melepas kutuknya menjadi manusia biasa.", katanya tiba-tiba.
"Aku mau pulang, sudah malam. Anak-istriku perlu makan", letih dan malasku bercampur sebagai jawaban.
"Kau tak mau hidupmu berubah ? Selamanya tetap menjadi manusia miskin dengan cara merayapi perut laut itu?"
"Apakah benar ceritamu itu? Bahwa sebentar lagi akan ada keajaiban?"
"Asal kamu mau melakukan syaratnya saja"
"Kenapa harus ada pengorbanan untuk setiap rasa kemenangan?"
"Seorang atlit pun berlatih lebih dari sehari demi sebuah perlombaan tahunan yang diadakan hanya sehari saja"
"Jadi…?"
Aku melihat tangannya menjulur di hadapanku. Aku tak tahu apa maksudnya. Tapi yang terjadi kemudian adalah sebuah pelukan.
"Dengan tubuhku, kau bisa memandang purnama. Melolonglah ketika melihatnya, dan hidupmu pasti akan lebih mudah mulai hari ini", ada nafas yang menderu menegakkan kudukku saat dia bicara.
"Apakah ini berarti…"
Telunjuknya menutup bibirku, meskipun jika tidak ditutup aku masih tidak bisa mengatakan ke arah mana pembicaraannya.

"Malam kenapa ada engkau saat seperti ini?"

Umpatan itu keluar dari mulut dan hatiku. Jujur saja aku bingung. Dia wanita yang cantik dan kesepian. Aku lelaki yang kalah perang. Keduanya butuh sebuah hiburan. Apakah lalu bercinta akan menjadi ritual ? Sedemikian gampangkah kita melepaskan kelamin tanpa menungganginya dengan hati dan kesadaran? Tuhan selayaknya hadir pada saat-saat yang genting dengan membawa sejumlah teguran.

"Kau sadar akan apa yang kau ucapkan?", tanyaku sekaligus untuk mencoba menentang keinginanku juga.
"Sebentar lagi, dermaga ini agak gelap dan sepi. Tidak banyak mata yang menuju ke arah sini. Akan kutunjukkan jejak rembulan yang tadi malam sudah kutelan bulat-bulat di dalam hidupku", kata Malam meyakinkan.
"Lalu kau inginkan apa dari diriku sebagai pengorbanan?", sesuatu yang tak pantas kutanyakan padanya.
"Rupanya engkau belum mencerna betul ucapanku, serigala. Jika engkau ingin menjadi manusia kembali, kau harus mampu menantang purnama. Jika purnama kalah, maka malam pun punah. Aku ingin memunahkan namaku yang begitu kelam", dengan isak yang masih tersisa dia mengatakan teorinya.
"Aku ini manusia, dan kau juga. Kita bukan sesuatu yang absurd!", tukasku. Ingin segera kuselesaikan segala teka-teki yang terjadi dari kisah ini.
"Aku sadar itu, dan hasrat adalah bagian dari kehidupan jasad seorang manusia bukan?", katanya setengah bertanya. Dia membimbing tanganku menelusuri lekuk tubuhnya. Perlahan dan semakin perlahan kami menarikan ritual pemanggilan purnama di tepian dermaga.

"Dimanakah purnama yang kau sembunyikan?", tanyaku dengan nada putus asa, sebab kurasa dia sudah mendustaiku dalam setiap tarikan nafasnya. Malam pun membentangkan tubuhnya. Polos tanpa noda. Ada banyak bintang yang terbayang di titik air mata dan keringatnya.

Dia menatapku lekat. Tak bicara. Laut kurasa diam. Malam (malam yang sesungguhnya) diam. Ada erangan tertahan. Rupanya dia mengejan. Kurasakan cengkeraman yang kuat di kedua bahuku. Hampir mengaduh aku dibuatnya.

Malam pingsan. Aku sedikit terhibur, mungkin sudah saatnya aku lepas darinya. Tapi tidak. Ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Bentuknya bulat dan bersinar redup dalam genangan darah. Ah, darah? Kubuka kaos bututku lantas kugunakan sebagai pembersih darah yang menutupi permukaan benda bulat yang keluar dari tubuhnya. Ada sinar yang semakin terang. Persis seperti purnama. Ah, tidak!

Tanpa sadar aku melolong seperti seekor serigala karena aku kalut pada keadaan malam itu. Lalu beramai orang datang menangkapku dan menyematkan sebuah berita untuk koran pagi "Nelayan miskin membunuh orang gila untuk sebuah berlian"

Jakarta, 25 Agustus 2006.

Comments