Monday, September 11, 2006

Dua Tetes Gerimis Terakhir

Ia, Nawangsih. Cucu Nawang Wulan. Bidadari yang rela bertelanjang dada untuk menyuburkan imajinasi anak manusia tentang bidadari, kahyangan dan para dewa. Ibunya, Nawang Sari, sering mendongengkan kisah pengorbanan dan kesetiaan para bidadari terhadap manusia. Dimana bidadari harus selalu menyembunyikan keceriaan karena manusia selalu tak sabar ingin mendapatkan rejeki yang dititipkan dewa pada selendang mereka yang berkibaran saat bidadari itu terbang. Bagi kebanyakan manusia, bidadari hanya dianggap sebagai pelangi yang hadir setelah gerimis. Namun tidak bagi Jaka Tarub. Diam-diam diurainya ujung pelangi, dan didapati pada sebuah telaga para bidadari itu mandi. Sebuah cerita yang sering diulang-ulang ibunya, sebelum Nawangsih pergi menjemput mimpinya.

Ia, Nawangsih. Cucu seorang bidadari yang dikenangnya lewat dongeng ibunya. Juga dari kesedihan yang dipancarkan oleh keluhan kakeknya Jaka Tarub. Manusia yang ingin menentang keajaiban alam. Hidupnya sebagai petani tak memuaskan keinginannya untuk melihat keganjilan yang alam berikan. Tak cukup puas hatinya melihat benih yang bertunas sebagai tanda kekuasaan dewa. Matanya diliarkan untuk menangkap keberadaan mahluk-mahluk dari surga. Salah satunya adalah bidadari Nawang Wulan yang punya kebiasaan mandi telanjang di sebuah telaga. Hingga lahirlah Nawang Sari, ibu dari Nawangsih. Dan buah dari sebuah peristiwa ajaib juga lah yang menjadikan Nawang Wulan menemukan selendangnya dan kembali menjelma sebagai seorang bidadari sejati. Lalu pergi ke kahyangan tempat dia harus mengabdi.

Hari ini, segala kisah tentang neneknya telah memenuhi segala ruas tulang di rongga dada. Nawangsih menangis sejadi-jadinya. Ia meluapkan kerinduan tanpa kata-kata, hanya air mata.
"Kenapa, nak?", tanya ibunya demi melihatnya menangis.
"Apakah nenek itu benar-benar ada?", tanyanya dengan air muka sembab oleh tangis.
"Benar. Nenek itu benar-benar ada".
"Bagaimana rupanya? Aku ingin bertemu dia".
"Ibu harus bicara dulu dengan kakekmu. Ibu dari dahulu tak pernah bisa bertemu lagi dengan nenek, karena kakek telah melanggar janjinya".
"Aku ingin bertemu nenek!", teriak Nawangsih. Lalu ia menangis lagi.
"Baiklah, ibu akan ke tempat kakek. Mudah-mudahan kakek mau meluluskan permintaanmu sebagai cucunya".

Berangkatlah Nawang Sari ke tempat Ki Jaka Tarub berada. Desa Tarub. Demikian dinamakan tempat itu bukan karena ramai orang memuja kepahlawanan Ki Jaka Tarub mengambil selendang bidadari, tetapi memang demikian lah namanya. Justru Jaka Tarub lah yang mengambil nama dari desanya. Nawang Sari setelah menikah diboyong suaminya ke desa lain. Demi memenuhi permintaan anaknya Nawang Sari pun berjalan seorang diri.

Siang itu tampak mendung. Ada awan hitam yang bergulung. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Nawang Sari kuatir sebab anaknya sangat takut pada bunyi petir. Suara yang menggelegar mirip suara Krisna yang sedang Triwikrama. Dia ragu-ragu untuk melanjutkan langkah.

Bagaimana ini? Kuteruskan saja perjalananku ke tempat ayah? Atau aku mesti pulang, sebab Nawangsih pasti ketakutan!
Dia pun berdiam diri. Sejenak termangu.

Ada kilat yang menyambar. Hujan sudah hampir tumpah di perjalanannya. Buru-buru dia mencari tempat berlindung. Sebuah dangau agak terpencil menjadi sasarannya. Dia pun berlari berpacu dengan gerimis.
Tiba-tiba.
"Ayah?"
Nawang Sari segera mengenali sosok lelaki tua yang sedang berteduh di dalam dangau itu.
"Nawang Sari?", tanya Ki Jaka Tarub dalam keterkejutan.
"Kamu mencariku?", tanyanya kemudian.
"Iya ayah. Nawangsih ingin sekali bertemu dengan ibu". Ada raut kecemasan di wajah Nawang Sari saat mengatakan hal itu.
"Bukannya kamu juga tahu sendiri, Nawang Sari. Tak mungkin bagiku untuk menemui ibumu. Sepanjang hidupmu bahkan dipenuhi oleh tangisan kerinduan kepadanya. Aku sudah bukan suaminya lagi di matanya". Ki Jaka Tarub menghela nafas.
"Apakah ibu memang benar-benar tidak memaafkan ayah?"
"Aku tak tahu. Yang jelas kamu sendiri sudah merasakan hidup tanda dia."
"Tak mengapa aku menjadi korban atas perceraianmu. Tapi sekarang anakku? Dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi!", Nawang Sari terisak.

Gerimis tidak mampu menghapuskan kesedihan bapak beranak itu. Sesekali petir membuat mereka semakin kuatir. Lalu hujan mengguyurkan tubuhnya di atas bumi.
"Tak ada cara lain?"
"Untuk menemuinya? Aku tak tahu cara apa lagi yang mampu meluluhkan hatinya."
"Sedemikian keraskah ibu kepadaku juga?"
"Baginya, yang telah terjadi hingga engkau lahir, adalah karma".
"Karma? Lantas siapakah yang telah menitipkan roh kepadaku? Reinkarnasi dari siapakah aku?", Nawang Sari sedikit meraung.
"Mungkin kamu harus mencari tahu soal itu". Lagi-lagi Ki Jaka Tarub menghela nafas. Berat. Sesak. Tak beda dari isak Nawang Sari yang kian kerap.
Lalu lanjutnya," Sebab aku pun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi saat itu".
Keduanya terdiam meski bukan oleh udara yang lembab. Sama-sama menangis. Hujan dan tangisan seperti sudah ditakdirkan untuk bersatu. Hujan habis, berganti gerimis.
"Aku ingin melihat pelangi", gumam Ki Jaka Tarub.
"Aku rindu ibu", Nawang Sari lirih berbisik.

Di rumahnya, Nawangsih baru bisa tersenyum. Setelah dari tadi perasaannya dipelintir oleh bunyi petir. Semenjak ibunya pergi dan awan hitam datang menutupi pandang, dia dicekam ketakutan. Sekarang, di balik jendela rumahnya dia bisa melihat tangga pelangi yang berjuntai. Ada banyak bidadari yang muncul bersama tangga pelangi. Seorang bidadari menari di tiap anak tangganya.
"Bidadari-bidadari, adakah yang tahu dimana nenekku sembunyi?", jeritnya kegirangan ketika dilihatnya mereka semakin nyata.
Bidadari-bidadari itu kemudian beterbangan. Serupa dengan kupu-kupu besar yang berseliweran di sekitar nyala lampu obor kala malam menjelang. Mereka bersembunyi di balik awan putih tipis yang turun. Kabut.

Nawangsih berlari keluar rumah. Tak dihiraunya gerimis dan kabut. Dia mencari kemana bidadari itu pergi.
"Jangan mendekat, anak manusia!", ada gertak yang didengar.
"Aku hanya ingin menemui nenekku. Dia seorang bidadari. Nawang Wulan namanya", ibanya pada suara yang menggertak.
"Kami takut padamu anak manusia", demikian jawab yang didengarnya.
"Aku hanya anak-anak", Nawangsih memulai tangisannya.
"Ibumu memang anak bidadari. Tetapi kamu anak manusia biasa, sebab darahmu hanya mengandung sedikit saja darah bidadari", masih saja suara itu terdengar keras.
"Kami tidak bisa bertemu lagi dengan manusia. Akan ada petaka bagi kami", lagi-lagi suara itu terdengar.
"Aku hanya ingin bertemu nenekku. Nawang Wulan", pintanya diselingi tangisan.
"Nawang Wulan sudah tidak pernah lagi bisa turun ke bumi. Dia tengah menjalani hukuman, karena cintanya pada kakekmu Jaka Tarub".

Nawangsih menangis keras.
Dia tahu dia tidak akan bisa memenuhi rasa rindunya. Meskipun itu sangat dekat. Dia sudah berbicara dengan para bidadari hari ini.
"Jika memang begitu adanya, titipkanlah salam cinta dan rinduku sebagai seorang cucu", pintanya pasrah.
Kabut itu tiba-tiba menghilang. Seiring dengan munculnya sinar matahari sore yang keemasan. Tangga pelangi tak ada lagi.

Dua tetes sisa gerimis menitik tepat di dahinya. Nawangsih mengusapnya dengan lembut. Seakan-akan dia telah merasakan kecupan mesra seorang nenek yang sangat mencintainya.

"Nawangsih!", dari jauh terdengar suara ibunya.
Lalu ada suara lain yang memanggil namanya juga. Suara kakek. Sudah lama sekali kakek tidak mengunjunginya. Setidaknya cukup bisa melampiaskan rindunya, meski tak sama.

"Kamu tidak apa-apa, nak?", tanya ibunya lembut.
"Tidak bu. Barusaja aku bicara dengan bidadari", jawabnya riang.
Nawang Sari dan Ki Jaka Tarub berpandangan. Mustahil.
"Kamu lihat rupanya?", desak Nawang Sari.
"Tidak bu. Mereka berbicara dalam kabut", Nawangsih memandang heran.
Nawang Sari kembali menatap ayahnya. Ki Jaka Tarub mengangguk.
"Mungkin tadi nenekmu datang, cucuku", katanya sambil mengusap kepala Nawangsih.
"Aku koq tidak melihatnya?", tanya Nawangsih.
"Dia sudah tidak mau melihat kita lagi", jawab ibunya.
Lalu Nawang Sari mengajak Nawangsih masuk ke dalam rumahnya. Dengan sukacita ditariknya tangan kakeknya untuk menambal rindunya. Bidadari memang bukan mahluk yang gampang dipegang tangannya, demikian kesimpulan di otak kecilnya. Lebih baik kerinduan itu dipajangnya untuk kakeknya, Ki Jaka Tarub, yang telah membuat sebuah legenda untuk kehadirannya.

Nun jauh di kahyangan, Nawang Wulan menitikkan air mata. Tak sengaja tadi dia lakukan itu semua. Menampik kerinduan seorang cucu. Berat betul rasanya. Dunia harus berubah, dulu dia telah menjadi korban. Meski bukan sebagai balas dendam, namun keadaanya sekarang haruslah berbeda dari dulu kala. Tugasnya sebagai bidadari telah dinodai, sekarang dia harus dalam sebuah penyucian. Diredamnya segala cinta dan rindu pada anak-cucu manusianya. Dan hanya bisa dicurahkan pada dua tetes gerimis terakhir saat hujan akan reda. Setidaknya sore ini, cucunya telah merasakan bahwa dia pun rindu padanya. Nawang Wulan sedikit lega.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home